Minggu, 29 Desember 2019

Hukuman Mati dan Efek Jera untuk Koruptor

Hukuman Mati dan Efek Jera untuk Koruptor

Oleh :  EMERSON YUNTHO

KOMPAS, 23 Desember 2019


Wacana hukuman mati untuk koruptor kembali muncul saat Presiden Jokowi menghadiri peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di SMK 57 Jakarta, 9 Desember lalu. Presiden menyatakan hukuman mati untuk koruptor bisa saja diterapkan jika itu jadi kehendak rakyat.

Pernyataan ini tentu saja menimbulkan pro-kontra sejumlah kalangan. Pihak yang mendukung berargumentasi hukuman mati mampu membuat jera koruptor. Sedangkan yang menolak menyebutkan  hukuman mati merupakan pelanggaran HAM, khususnya hak untuk hidup (right to life).

Ancaman hukuman mati bagi koruptor secara normatif sesungguhnya sudah diatur sejak 1999. Tepatnya setelah disahkannya UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tipikor). Pasal 2 Ayat 2 menyebutkan hukuman mati dapat dijatuhkan bila negara dalam keadaan bahaya, bencana nasional, krisis ekonomi dan moneter maupun pengulangan tindak pidana korupsi.

Meski telah 20 tahun UU ini berlaku, hingga kini belum ada satupun koruptor dihukum mati. Hukuman mati nyaris dijatuhkan ke Dicky Iskandar Dinata dalam kasus korupsi pembobolan Bank BNI Rp 1,7 triliun. Pada 2006, jaksa menuntut Dicky hukuman mati namun ditolak hakim PN Jaksel dan hanya menjatuhkan 20 tahun penjara.

Hukuman maksimal yang pernah dijatuhkan pada koruptor di Indonesia adalah hukuman seumur hidup.  Namun ini sedikit sekali diterapkan dan tercatat hanya delapan koruptor yang pernah dihukum penjara seumur hidup. Salah satunya Akil Mochtar, mantan ketua Mahkamah Konstitusi yang terbukti menerima suap dalam sejumlah kasus penanganan sengketa hasil pilkada.

Alih-alih menerapkan hukuman mati, dalam praktiknya vonis untuk koruptor masih sangat ringan dan tak memberikan efek jera. Data Indonesia Corruption Watch tahun 2018 menyebutkan rata-rata hukuman untuk terdakwa korupsi sangat minim, 2 tahun 5 bulan penjara. Vonis yang tergolong rendah juga diperburuk adanya sejumlah keputusan pengurangan masa hukuman melalui pemberian remisi dan grasi.

Tak efektif

Terlepas dari kemarahan masyarakat terhadap pelaku korupsi, muncul pertanyaan apakah hukuman mati solusi tepat dalam pemberantasan korupsi dan mampu memberikan efek jera?

Hingga kini belum ada pembuktian ilmiah yang menunjukkan hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu termasuk korupsi. Penelitian PBB tahun 1998 dan 2005 tentang hubungan hukuman mati dan angka pembunuhan justru memberikan kesimpulan hukuman mati tak bawa pengaruh apapun pada tindak pidana pembunuhan, dari hukuman lain seperti hukuman seumur hidup.

Penelitian itu menyebutkan  maraknya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lain tak semata-mata disebabkan ketiadaan hukuman mati, namun oleh masalah struktural lainnya seperti kemiskinan dan aparat hukum atau negara yang korup.

China yang sering kali menjadi acuan penerapan hukuman mati untuk koruptor, faktanya belum berhasil memperbaiki peringkat korupsinya yang juga tergolong rendah. Pada 2018, Transparency International yang berpusat di Berlin menempatkan China di peringkat 87 dari 180 negara dengan skor indeks persepsi korupsi 39, dari skor terendah nol (terkorup) dan tertinggi 100 (bersih).

Meski Presiden China Xi Jinping sejak enam tahun lalu telah menyatakan perang melawan korupsi dan menghukum mati banyak pelaku namun praktik ini ternyata juga belum sepenuhnya hilang dari negeri itu.

Beberapa negara di wilayah Skandinavia seperti Finlandia dan Norwegia juga mampu membuktikan diri sebagai negara yang bersih dari korupsi tanpa harus menerapkan hukuman mati. Kunci keberhasilan mereka adalah adanya dukungan dan kesadaran yang kuat dari pemerintah, parlemen, penegak hukum dan masyarakat.

Polemik hukuman mati untuk koruptor sudah saatnya diakhiri. Sesungguhnya ada banyak cara memberikan efek jera bagi koruptor tanpa hukuman mati. Misalnya dengan memiskinkan atau perampasan aset koruptor, memperketat kebijakan pengurangan hukuman melalui pemberian remisi atau pembebasan bersyarat maupun grasi terhadap terpidana korupsi dan melarang pemberian fasilitas istimewa untuk koruptor selama mendekam di penjara.

Cara lainnya, pencabutan hak politik untuk koruptor yang berstatus pejabat publik atau politisi agar tak dapat menjabat lagi dan menjatuhkan tuntutan atau hukuman penjara maksimal.

Dukungan semua pihak mutlak diperlukan agar cara-cara menjerakan koruptor itu dapat terlaksana. Pemerintah, penegak hukum dan KPK harus bekerja sama. Lembaga anti korupsi seperti KPK sebaiknya diperkuat bukan justru diperlemah atau dibubarkan.  Upaya pemidanaan atau penindakan perkara korupsi juga harus berjalan simultan dengan upaya pencegahan dan pengembalian aset hasil korupsi (asset recovery) ke negara.


Emerson Yuntho, Wakil Direktur Visi Integritas

1 komentar:

  1. AJO_QQ poker
    kami dari agen poker terpercaya dan terbaik di tahun ini
    Deposit dan Withdraw hanya 15.000 anda sudah dapat bermain
    di sini kami menyediakan 9 permainan dalam 1 aplikasi
    - play aduQ
    - bandar poker
    - play bandarQ
    - capsa sunsun
    - play domino
    - play poker
    - sakong
    -bandar 66
    -perang baccarat (new game )
    Dapatkan Berbagai Bonus Menarik..!!
    PROMO MENARIK
    di sini tempat nya Player Vs Player ( 100% No Robot) Anda Menang berapapun Kami
    Bayar tanpa Maksimal Withdraw dan Tidak ada batas maksimal
    withdraw dalam 1 hari.Bisa bermain di Android dan IOS,Sistem pembagian Kartu
    menggunakan teknologi yang mutakhir dengan sistem Random
    Permanent (acak) |
    Whatshapp : +855969190856

    BalasHapus