Apresiasi
Sastra
Mustafa Ismail ; Pegiat
Kebudayaan
|
KORAN
TEMPO, 06 September 2014
Muhibah sastra ke beberapa sekolah di Aceh
baru-baru ini memberi gambaran miris bagi saya. Ternyata tidak banyak siswa
yang mengenal sastrawan Indonesia. Hanya sedikit yang mengenal Taufik Ismail,
Sutardji Calzoum Bahri, Hamid Jabbar, Sitor Situmorang, KH Mustofa Bisri, dan
lain-lain. Apalagi nama-nama yang lebih muda dan belum tercatat dalam buku
ajar sekolah.
Lebih miris lagi, mereka tidak kenal nama-nama
sastrawan dari daerah mereka sendiri. Bahkan mereka tidak mengenal sastrawan
sufi, Hamzah Fansuri, yang oleh Profesor A. Teeuw disebut "Sang Pemula Puisi Indonesia".
Mereka juga tidak kenal Teungku Chik Pantee Kulu yang digelari penyair perang
karena puisi-puisinya mampu membangkitkan semangat perlawanan rakyat Aceh
terhadap penjajah Belanda.
Dari tiga SMA di tiga kabupaten yang kami
kunjungi lewat kegiatan Sastrawan
Saweue Sikula yang dinisiasi Balai
Bahasa Banda Aceh itu, dua sekolah memperlihatkan apresiasi sangat minim
terhadap sastra. Hanya satu sekolah, yakni di Takengon, Aceh Tengah, yang
menggembirakan. Sebagian dari mereka sangat antusias dan akrab dengan sastra.
Bahkan, akhir acara ditutup dengan aksi baca puisi sejumlah siswa.
Sekilas ini hal biasa saja. Apalagi sastra
memang tidak menjadi pelajaran utama di sekolah-sekolah. Ia bagian dari
pelajaran bahasa Indonesia. Maka sebagian besar guru pun-seperti disinyalir
peneliti sastra di Balai itu, Ibrahim Sembiring-adalah guru bahasa Indonesia.
Akibatnya, mereka lebih memberi tekanan pada pelajaran bahasa, sesuai dengan
keahlian mereka, ketimbang sastra.
Akibatnya, sastra menjadi "nomor
sekian". Logikanya, jika mereka mengikuti perkembangan sastra, tentulah
hal itu sudah disampaikan kepada para siswa. Sebagai ujung tombak pendidikan,
guru menjadi penentu penguasaan materi tertentu oleh siswa. Bahkan menjadi
penentu apakah siswa menyenangi pelajaran tertentu.
Jika guru tidak menguasai bahan, selain tidak
bisa membuat siswa menambah pengetahuan, ia juga tidak akan berhasil
mendorong siswanya untuk "mencintai" pelajaran itu. Ungkapan
"tak kenal maka tak sayang" berlaku di mana pun. Ini belum bicara
kreativitas mengajar-yang mampu membuat siswa merasa menyerap materi
pelajaran dengan riang gembira.
Maka, dalam konteks pelajaran sastra, perlu
ada terobosan. Salah satu alternatifnya adalah melibatkan sastrawan lokal.
Sastrawan setempat, yang berdomisili di sebuah kota/kabupaten, diintensifkan
menjadi guru sastra tamu secara terjadwal di sekolah-sekolah terdekatnya.
Dengan demikian, siswa dapat menimba
pengetahuan dan pengalaman dari sumber utama. Para sastrawan itu tentu tidak
hanya mengajarkan menulis, misalnya puisi dan prosa, tapi juga memberi
perspektif tentang sastra, termasuk perkembangannya. Walhasil, para siswa
bisa terus memperbaharui pengetahuan dan informasi mereka tentang sastra.
Keuntungannya ganda: mereka terampil menulis sastra sekaligus melek terhadap
perkembangan sastra.
Selama ini memang ada program sastrawan masuk
sekolah yang diadakan baik oleh lembaga pemerintah maupun komunitas sastra.
Namun kegiatan itu tidak menyentuh banyak sekolah, sporadis, dan hanya
berlangsung sesekali. Tapi, jika sastrawan menjadi pengajar sastra tamu,
proses pengenalan dan berakrab-akrab dengan sastra akan berkelanjutan. Dari
situlah motivasi untuk membaca dan mencintai sastra akan tumbuh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar