Megawati
dan Deklarasi Marunda
Sukardi Rinakit ; Peneliti Senior
Soegeng Sarjadi Syndicate
|
KOMPAS,
15 Maret 2014
|
SAYA
terharu dengan jiwa besar Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI-P. Kini terbukti sudah bahwa Megawati memang anak biologis
dan ideologis Bung Karno. Bukan kekuasaan untuk diri sendiri yang direngkuh,
melainkan nasib bangsa Indonesia.
Sebagai
ibu, demi harapan terwujudnya Indonesia Raya, Megawati selama ini bekerja
dalam diam. Ia membesut para kader muda PDI-P, mengonsolidasi partai, serta
menerima kritikan dan ejekan lawan politik tanpa berkata-kata. Hingga Jumat
14 Maret 2014, ia akhirnya mengeluarkan perintah harian yang berwibawa dan
terasa sakral karena ditulis dengan tangan.
”Saya Ketua Umum Partai Demokrat Indonesia
Perjuangan. Kepada seluruh rakyat Indonesia yang mempunyai mata hati keadilan
dan kejujuran di mana pun kalian berada! Dukung Bapak Joko Widodo sebagai
capres dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Jaga dan amankan jalannya
pemilu legislatif–terutama di TPS-TPS dan proses penghitungan yang berjalan
dari segala bentuk kecurangan dan intimidasi, teguh dan tegarkan hati dalam
mengawal demokrasi di Republik Indonesia tercinta.”
Makna kultural
Perintah
harian itu segera disambut oleh rakyat dengan kegembiraan dan rasa syukur.
Keikhlasan Megawati menggendong dan menuntun Joko Widodo alias Jokowi untuk
menyeberang jalan dengan selamat membuktikan bahwa sebagai pribadi Megawati
memang sudah ”duduk” (resolved).
Ia
ibarat bunga bakung dan matahari, selalu meneduhi dan memberi energi bagi
terwujudnya Indonesia Raya yang ditegakkan dengan ketiga pilar Trisakti Bung
Karno (berdaulat secara politik, berdikari di bidang ekonomi, dan
berkepribadian dalam kebudayaan).
Dengan
konstruksi seperti itu, ambisi politik Megawati sejatinya bukan lagi sekadar
urusan kontestasi kekuasaan dan hak-hak istimewa politik dan ekonomi,
melainkan menyaksikan rakyat Indonesia bisa mesem (tersenyum). Cukup pangan, sandang, papan, serta biaya
pendidikan dan kesehatan yang terjangkau. Apalagi jika rakyat bisa gemuyu (tertawa).
Maknanya,
selain kebutuhan dasar tersebut, mereka juga mempunyai tabungan dan bisa
piknik. Pendeknya, dalam batas-batas tertentu, secara teoretis Megawati boleh
disebut sudah post-materialist.
Sementara
itu, di rumah panggung yang dulunya milik si Pitung di Marunda, Jakarta
Utara, Jokowi, yang mendapat mandat dari Megawati Soekarnoputri, dengan
santun mendeklarasikan diri sebagai calon presiden dari PDI-P.
Secara
kultural, Deklarasi Marunda tersebut penuh makna. Salah satunya adalah
kuatnya narasi perjuangan untuk menegakkan keadilan, membebaskan diri dari
kemiskinan dan ketakutan, serta menggalang keberanian dan optimisme bersama.
Ini
berkaitan dengan kondisi Marunda yang selama ini terbelit kekumuhan dan
suara-suara kemiskinan. Jokowi berkehendak bukan saja membebaskan beban berat
mereka, melainkan juga seluruh bangsa Indonesia.
Komunikasi
politik kultural
Merenungkan
hal tersebut, saya teringat kata-kata Emak, 18 Agustus 2013. Katanya, pada
saat yang tepat, Megawati pasti akan mengumumkan Jokowi sebagai calon
presiden. Sejatinya, Megawati perasaannya halus dan bisa membaca ”tanah punya
mau” (gerak sejarah).
Lebih
dari itu, Emak juga mengatakan, menurut gugon
tuhon (kepercayaan) orang-orang tua dulu, Raja Jayabaya dari Kerajaan
Kadiri pernah menulis dalam bukunya yang berjudul Musasar.
Salah
satu isinya: ”Pada suatu masa nanti
bekas kerajaan Majapahit akan lebih adil dan makmur apabila dipimpin oleh
anak yang lahir di dekat Gunung Lawu, rumahnya pinggir sungai, masa kecilnya
susah tukang cari kayu, badannya kurus seperti Kresna, wataknya keras kepala
seperti Baladewa, kalau memakai baju tidak pantas, ada tahi lalat di pipi
kanannya, dan mempunyai pasukan yang tidak kelihatan”.
Mendengar
cerita itu, saya langsung tertawa. Tanpa berpikir pun, mudah ditebak,
ilustrasi tersebut mirip dengan Jokowi. Agar Emak tidak tersinggung, penulis
menahan tawa dan pura-pura batuk.
Meski
penulis menekuni pendekatan budaya politik, sejauh ini bangunan teoretisnya
berpijak pada sejarah kampung dan bukan gugon
tuhon. Preferensi politik masyarakat ditentukan oleh lingkungan tempat
dia dibesarkan. Mereka yang tumbuh di lingkungan pertanian padi, misalnya,
mempunyai preferensi politik berbeda dengan mereka yang tumbuh di perkebunan
tebu.
Alam
bawah sadar masyarakat yang tumbuh di lingkungan pertanian padi secara umum
lebih percaya pada klenik. Mungkin karena terlalu banyak upacara tradisional
di sini.
Sebaliknya,
mereka yang tumbuh di perkebunan tebu lebih terikat pada ideologi. Ini bisa
dilihat dari sejarah republik di mana pemberontakan komunis umumnya terjadi
di daerah perkebunan, terutama perkebunan tebu. Konflik kelas antara petani
dan pihak pabrik (tebu) menjadi medan sosialisasi ideologi kritis bagi mereka
yang tumbuh di lingkungan tersebut.
Akan
tetapi, setelah Deklarasi Marunda ini saya berpikir dari kacamata komunikasi
politik kultural. Jika ibu saya saja meyakini gugon tuhon itu, berapa banyak
orang Jawa yang juga mempercayainya?
Terlepas
dari kontroversi yang mungkin timbul, apabila hal itu dikapitalisasi secara
tepat, ia bisa menjadi mesin optimisme. Orang akan bersedia bekerja keras,
prihatin, hidup sederhana, membangun, dan bergotong-royong mengikuti panduan
Jokowi.
Hormat saya kepada Megawati Soekarnoputri! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar