Seperti “tagline” sebuah iklan permen: ramai rasanya. Harapan sekaligus rasa cemas berkelindan jadi satu seusai mendengar pengumunan nama- nama menteri dan wakil menteri Kabinet Indonesia Maju (KIM).
Perasaan campur-baur ini tak hanya terkait personel yang dipilih tetapi juga pilihan kebijakan yang hendak dijadikan ‘panglima’ pembangunan.
Benang merah dari perasaan campur-baur itu berhulu pada kesan masih kentalnya aroma politik transaksional (baca: bagi-bagi kursi) dalam proses pembentukan KIM. Pengangkatan wakil menteri (wamen) dari unsur organisasi relawan yang sebelumnya sempat ‘ngambek’ menjadi penanda karikaturalnya. Pun, bergabungnya Gerindra juga perlu ditempatkan pada konteks ini. Dan, karenanya tak layak diglorifikasi sebagai wujud sikap kenegarawanan Prabowo ataupun Jokowi, misalnya.
Yang perlu ditempatkan pada konteksnya, ‘bagi-bagi kursi’ (kabinet) merupakan output dari proses tawar-menawar dalam pembentukan kabinet koalisi. Dalam sistem presidensial multi-partai, kabinet koalisi tak terhindarkan kecuali jika partai pengusung Presiden menguasai kursi mayoritas di legislatif dan atau bersedia menetapkan strategi ad-hoc (koalisi temporer) di legislatif (Martinez-Gallardo,2011).
Dalam kasus Pilpres 2019, kabinet koalisi menjadi keniscayaan karena sistem pemilu yang mendorong terbentuknya koalisi sebelum pemilu dilangsungkan. Konsekuensi dari tetap diberlakukannya presidential threshold (bahkan menggunakan basis suara dari pemilu sebelumnya) yang memaksa seorang capres bernegosiasi kekuasaan dengan partai untuk dapat memenuhi prasyarat ambang batas dukungan.
Tawar-menawar dalam pembentukan kabinet koalisi menjadi sesuatu yang bisa dianggap normal jika yang dikedepankan adalah ikhwal isu-kebijakan (policy seeker), dan bukannya soal jumlah kursi atau posisi dalam kabinet (office seeker).
Seperti dinyatakan Cheibub dkk (2004), politik tawar menawar perlu dibedakan antara sebagai tujuan akhir dan secara metode. Dalam kasus pembentukan KIM, yang mengemuka ke permukaan sejauh ini lebih terlihat sebagai berburu jabatan publik sebagaimana terlihat dengan jelas pada kasus organisasi relawan yang ‘ngambek’ dan juga pada banyaknya jumlah wamen yang diangkat tatkala pada kesempatan lain Jokowi berbicara soal kebutuhan melakukan perampingan birokrasi.
Dalam konteks ini, sebaliknya, pilihan pelibatan Gerindra ke dalam KIM cenderung bisa dimengerti, meski tak selalu harus dibenarkan secara politik. Tanpa Gerindra, KIM baru mencapai level apa yang disebut dengan istilah ambang batas kemenangan koalisi (minimal winning coalition). Secara teoretik, ambang batas ini memungkinkan partai kecil ‘menyandera’ Presiden (Raile dkk, 2009). Dalam kasus KIM, ancaman itu bukan datang dari partai kecil seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tapi partai menengah seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) atau Nasdem, misalnya. Dus, kehadiran Gerindra dapat dimengerti sebagai sebuah strategi cadangan yang diperlukan. Tapi, pilihan ini tentu saja juga punya konsekuensi politis lainnya.
Tantangan eksternal
Singkatnya, proses pembentukan KIM tidak cukup diterima meski juga tak mendapat penolakan yang kuat. Ini tak lepas dari modal politik yang dimiliki Jokowi. Mengacu pada Survei Litbang Kompas terbaru, 73,3 persen menilai citra dirinya baik. Pada saat awal berkuasa, yang menyatakan baik mencapai 89,9 persen. Meski tinggi, hanya saja Jokowi perlu mencermati adanya tren penurunan yang konsisten terjadi sejak 1,5 tahun terakhir. Dari sisi kinerja, survei Kompas juga menunjukkan adanya tren penurunan kepuasan, dari 72 persen pada April 2018 menjadi 59 persen pada Oktober 2019 (Kompas, 18/10/2019).
Karena itu, secara eksternal, ada sejumlah tantangan atau pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan dan atau ditunjukkan KIM dalam 100 hari pertamanya. Benang merahnya: memulihkan kepercayaan dan atau menumbuhkan harapan.
Pertama, menangani kegundahan pendukungnya sendiri. Bergabungnya Prabowo dan ‘hilangnya’ tradisi yang biasanya menempatkan NU di posisi menteri agama serta Muhammadiyah di menteri pendidikan. menjadi pemicu pro dan kontra di sebagian kalangan pendukung Jokowi. Sebelumnya, sebagian pendukung Jokowi (terutama para aktivis) sudah mengalami kegundahan ketika Jokowi tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengeluarkan perppu untuk menganulir revisi UU KPK, belum lagi terkait kontroversi RUU KUHP yang akan ditentukan nasibnya dalam waktu dekat. Pada titik ini, dipertahankannya Menkumham petahana tak ubahnya menjadi tamparan telak bagi mereka.
Tantangan kedua terkait radikalisme. KIM perlu menjelaskan strategi penanganannya secara holistik. Dan, ini perlu dimulai dengan membangun tipologi radikalisme dan pendekatan penanganannya seturut tipologi itu. Hal ini penting untuk membangun kepercayaan bahwa yang sedang ditangani adalah gerakan radikal yang mengedepankan cara-cara kekerasaan dan atau punya tujuan menggubah dasar negara, bukannya hendak memberangus ekspresi keberagamaan (berjenggot, bercadar, celana cingkrang, dan lainnya) yang berpotensi kian membelah masyarakat secara horizontal.
Senapas dengan itu, tantangan ketiga bagaimana menjelaskan formula kebijakan yang menjadikan investasi sebagai panglima pembangunan. Sekurangnya berkenaan dengan tiga isu-kebijakan berikut ini: (a) potensi pengebirian kebebasan, penerabasan hukum dan pengabaian HAM; (b) kemungkinan mengorbankan kebutuhan untuk pembiayaan kebijakan sosial (misal: dana kesehatan) atau keharusan penggunaan dana publik secara lebih berhati-hati (misal: dana haji); dan; (c) memberi keyakinan bahwa aliran dana investasi asing tetap dalam koridor kepentingan nasional. Dalam artian ini, perlindungan terhadap produk dan industri lokal tetap dikedepankan.
Keempat, KIM memiliki kewajiban utama menegaskan posisi dan komitmennya terkait sejumah isu-kebijakan yang merupakan warisan dari kabinet sebelumnya. Beberapa di antaranya: keberlangsungan BPJS, peguatan kelembagaan KPK, tindak lanjut RUU yang ditunda penetapannya dan juga sikapnya terhadap beberapa RUU bermasalah (misalnya: UU ITE) maupun RUU yang krusial namun terpinggirkan (contohnya RUU Perlindungan Data Pribadi).
Kelima, KIM perlu menjelaskan formulasi kebijakannya untuk menjawab kemungkinan terjadinya resesi/perlambatan pertumbuhan ekonomi di level global melalui penjabaran strategi dari semua kementerian yang terkait. Hal ini dibutuhkan untuk membangun trust dihadapan para investor, pelaku pasar dan masyarakat yang cenderung merespons positif atas dipertahankannya Sri Mulyani Indrawati, akan tetapi bertanya-tanya mengenai munculnya nama kader partai yang memimpin beberapa kementerian bidang ekonomi lainnya.
Tantangan internal
Secara internal, tantangan utama yang dihadapi Jokowi selaku nakhoda utama KIM adalah mengelola koalisi. Dalam hal ini, memastikan stabilitas KIM sejauh dimungkinkan namun tetap memerhatikan kinerjanya. Terkait ini, sekurangnya ada empat tantangan yang perlu dikelola dengan cermat.
Pertama, perlakuan yang adil. Parpol yang merasa tak diperlakukan adil punya kans untuk sewaktu-waktu keluar dari kabinet (Altman, 2000) atau sekurang-kurangnya mengabaikan disiplin koalisi di tingkatan legislatif. Dari proses pembentukannya, benih-benih ketidakpuasan sudah tertanam di tubuh KIM. Nasdem, misalnya, secara tak langsung sempat mengirimkan sinyal “ketidakbahagian”-nya selama proses pembentukan kabinet. Di samping itu, juga perlu digarisbawahi ketidakpuasan NU dan secara lebih implisit kegusaran Muhammadiyah terkait posisi kementerian yang selama ini selalu diisi kader dari kedua ormas tersebut.
Kedua, soliditas kabinet koalisi juga dipengaruhi besaran koalisi. Semakin besar koalisinya, semakin mudah menjadi tidak solid. Ketidaksolidan ini akan semakin potensial jika jarak ideologi antar partainya juga cukup bervariasi dan atau sekurang-kurangnya ada perbedaan pilihan terkait satu atau beberapa isu kebijakan. Bergabungnya Gerindra membuat koalisi pengusung Jokowi-Ma’ruf Amin menjadi (bertambah) tambun. Ini masih diimbuhi dengan parpol non-kursi di legislatif.
Besarnya partai membuat alokasi distribusi kekuasaan menjadi lebih susah dan atau mahal. Karenanya, semakin mungkin partai merasa diperlakukan tak adil. Situasinya akan tambah runyam apabila terbentuk ‘pengkubuan’ secara internal, seperti munculnya istilah ‘kubu Teuku Umar’ dan ‘kubu Gondangdia’ yang sempat ramai dibicarakan beberapa waktu lalu.
Ketiga, soliditas kabinet koalisi juga dipengaruhi faksionalisasi di internal partai koalisi. Faksionalisasi penting diperhatikan karena bisa mempengaruhi kedisiplinan berkoalisi di legislatif. Dalam konteks KIM, potensi gangguan dari faksionalisasi ini terutama bersumber dari partai yang faksionalisasinya kuat seperti Golkar dan dalam derajat yang lebih rendah di PKB maupun PPP.
Keempat, soliditas kabinet koalisi juga dipengaruhi kedekatan waktu dengan pemilu. Dan, dalam konteks periode kedua, situasinya jadi tambah runyam. Sebab, partai-partai akan lebih kritis mengevaluasi keberadaan mereka dalam koalisi. Jika dinilai biaya politiknya lebih besar daripada manfaat politis maupun ekonominya, partai sangat mungkin menjadi ‘anak nakal’ untuk mempertahankan basis pemilihnya atau malah memilih keluar dari koalisi.
Dihadapkan pada tantangan-tantangan ini, Jokowi perlu menyiapkan strategi antisipasi yang relevan. Yang paling pokok dan perlu dituntaskan di 100 hari pertamanya adalah membangun kesepakatan koalisi yang formal. Pesannya pada sidang kabinet perdana (hanya ada visi presiden-wapres dan kerja kabinet adalah kerja tim) masih bersifat simbolik. Pesan politik tersebut perlu diolah ulang menjadi seperangkat aturan main, indikator kinerja dan konsekuensi politiknya. Indikator kinerja ini terkait target pencapaian masing-masing kementerian, baik itu berupa program prioritas maupun program reguler.
Indikator ini harus dipublikasikan sejak awal sehingga publik pun bisa memonitoring. Transparansi ini juga bermanfaat untuk mengeliminasi potensi ‘drama politik’yang tidak lucu seperti seolah-olah “jadi korban” ketika seorang menteri diganti di tengah jalan karena gagal mencapai target kinerja, misalnya.
Selain itu, kesepakatan koalisi ini juga perlu mengatur mekanisme resolusi konflik yang mungkin terjadi baik pada tataran antar partai koalisi. Konflik ini antara lain bisa terjadi karena perbedaan isu-kebijakan tertentu. Bagaimanapun, partai punya batas-batas tertentu untuk tak terlalu jauh dari preferensi pemilih tradisionalnya. Terlalu mahal secara politik jika kesenjangan pada satu-dua isu kebijakan tertentu menyebabkan kabinet terbelah dan atau harus dirombak ulang. Meski demikian, Presiden juga tak perlu sungkan menggunakan sarana perombakan kabinet jika menteri tak unjuk kinerja dan bahkan membentuk ulang koalisi jika soliditasnya sudah begitu buruk atau malah jadi beban secara politik.
Yang tak kalah pentingnya, aturan main di internal kabinet perlu diformalkan dan bahkan diketahui publik. Belajar dari pengalaman kabinet sebelumnya, perlu ada tata laksana antar menteri koordinator, antara menteri koordinator dengan kementerian teknis yang dibawahinya dan juga antara menteri dengan wamen. Pada dua hal pertama yang disebut, isu kuncinya adalah sinergi dan kolaborasi karena kecenderungan ego-sektoral masih tinggi dan atau merasa memiliki back up politik yang lebih kuat. Untuk yang terakhir, isu kuncinya adalah menghindari kemungkinan terjadinya ‘matahari kembar’di kementerian dan atau kemungkinan terisolasinya salah satu dari mereka (entah menteri atau wamennya).
Kesepakatan koalisi barulah pedoman awal. Kunci keberhasilan pengelolaan kabinet koalisi juga sangat dipengaruhi bagaimana Jokowi mengelola perangkat eksekutif yang dimilikinya. Seperti diingatkan Araujo dkk (2008), manajemen koalisi bersifat hari demi hari. Dalam hal ini, presiden dapat melakukan transfer politik (misalnya jabatan publik lainnya atau dukungan di pilkada), transfer finansial (contohnya: pork barrel) ataupun pemberian konsesi politik sebagai alatnya melakukan tawar-menawar untuk memastikan stabilitas pemerintah. Stabilitas pemerintah itu penting. Meski demikian, sebagai publik kita perlu memastikan stabilitas itu tak ditebus dengan biaya tinggi, entah itu berupa pemborosan keuangan negara dan pengebirian atas proses demokrasi, misalnya. ***