Pembangunan
Infrastruktur dan Konektivitas
Atantya H Mulyanto ; Pengamat Kebijakan Publik
|
KORAN
TEMPO, 15 November 2014
Presiden Joko Widodo menyampaikan paparan yang memukau para pemimpin
dunia dan CEO yang hadir dalam APEC CEO Summit di Beijing, Cina. Intisari
pidato Presiden adalah isu infrastruktur dan konektivitas. Infrastruktur
adalah kata kunci kemajuan suatu bangsa. Sebab, pembangunan infrastruktur
akan menimbulkan efek bangkitan dan tarikan bagi aktivitas perekonomian
lainnya.
Terdapat sejumlah tantangan pembangunan infrastruktur di Indonesia
(Dardak, 2013). Pertama, sebaran penduduk, luas wilayah, dan kondisi geografis.
Kedua, paradigma "pembangunan cepat" yang mengedepankan sasaran
fisik semata sering kali mengorbankan kualitas infrastruktur.
Ketiga, di bidang sumber daya air, sebagian daerah aliran sungai (DAS)
telah rusak, yaitu 62 DAS dari jumlah total 470 DAS, sehingga mengakibatkan
penurunan fungsi daerah tangkapan dan resapan air. Saat ini jaringan irigasi
yang terbangun mencapai 6,77 juta hektare (1,67 juta ha belum berfungsi), dan
jaringan irigasi rawa 1,8 juta ha untuk mendukung Program Ketahanan Pangan
Nasional. Namun ada masalah lain berupa alih fungsi lahan pertanian sekitar
35 ribu ha per tahun.
Keempat, di bidang jalan, jaringan jalan nasional 37 persen dalam
kondisi baik, 44 persen sedang, 8 persen rusak ringan, kurang dari 11 persen
rusak berat, atau 81 persen dalam kondisi mantap dan 19 persen tidak mantap.
Di samping keterbatasan dana, ada masalah kurangnya keandalan jalan yang
disebabkan ketidakdisiplinan pengguna jalan, seperti kendaraan dengan muatan
berlebih dan masih perlu ditingkatkannya kompetensi pelaksana proyek.
Kelima, terkait dengan konektivitas, di bidang pelabuhan, Indonesia
sebagai salah satu negara maritim terbesar di dunia masih sangat tertinggal
dibanding negara lain dalam ketersediaan pelabuhan dan industri pendukungnya,
termasuk galangan kapal.
Isu konektivitas juga menjadi visi pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Terjemahannya adalah, dengan membangun infrastruktur pelabuhan yang dapat
menghubungkan seluruh wilayah Indonesia, pasokan dan distribusi logistik
barang dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Pelabuhan yang dimaksud
adalah pelabuhan laut dalam (deep sea port). Dengan demikian, kapal-kapal
besar berkapasitas 3.000-4.000 TEUS dapat bersandar.
Namun RAPBN 2015 dipastikan tidak menyediakan ruang fiskal yang cukup untuk
pembangunan program tol laut. Karena itu, Presiden Jokowi menegaskan bahwa
program andalannya tersebut bakal dibangun tanpa anggaran negara.
Lalu, dari mana sumber pendanaan program tersebut? Pertama, pembangunan
program diserahkan ke beberapa BUMN (Pelindo, IPC, dan sebagainya). Kedua,
investasi diserahkan ke investor lokal. Terakhir, menyerahkan ke investor
luar negeri. Investasi dapat menggunakan skema PPP (public private partnership).
Pada kesimpulannya, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan, pemerintah harus memiliki kebijakan pembangunan infrastruktur
komprehensif yang meliputi, pertama, pendayagunaan sumber daya air untuk
pemenuhan kebutuhan air baku dengan membangun reservoir tampungan air baku,
penanganan konservasi, dan pengendalian banjir. Untuk mendukung kedaulatan
pangan, jumlah waduk harus lebih banyak lagi. Saat ini di Indonesia terdapat
236 bendungan besar dan kecil dan lebih dari 19 ribu jaringan irigasi yang
mengairi area sawah sekitar 4,8 juta ha. Sebanyak 11 waduk ditargetkan mulai
dibangun pada akhir 2014. Pada 2014-2019, minimal ada 20 bendungan lagi
sehingga mampu menambah ketersediaan air 14 miliar meter kubik.
Kedua, bidang infrastruktur jalan pembangunan difokuskan untuk
mendukung penyusunan cetak biru transportasi sistem jaringan multimoda yang
sesuai dengan cetak biru sistem logistik nasional, keterpaduan antar-moda
transportasi seperti jaringan jalan KA, bandar udara, dan pelabuhan laut.
Ketiga, bidang infrastruktur permukiman meliputi perbaikan kualitas
rumah tinggal masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), penyediaan sarana dan
prasarana umum air minum pada kawasan kumuh, permukiman nelayan, serta
pembangunan infrastruktur permukiman untuk mendukung sektor perikanan dan
agrobisnis.
Rumah tapak (landed
house) untuk MBR harus ditingkatkan kualitasnya agar tercipta kehidupan
yang lebih sehat. Kegiatan lain adalah pengembangan kawasan-kawasan
agropolitan (desa pertanian maju) maupun minapolitan (desa nelayan maju),
serta mendukung revitalisasi kawasan untuk pengembangan pariwisata. Dengan
demikian, kawasan agropolitan dan minapolitan dapat menjadi embrio bagi
munculnya kota-kota berbasis agro yang lebih tertata pada masa mendatang.
Jadi, defisit pasokan rumah (backlog)
yang saat ini diperkirakan mencapai 15 juta dapat teratasi secara bertahap.
Seluruh dimensi pembangunan tersebut harus dilaksanakan secara lintas
sektoral, komprehensif, dan terstruktur antar-kementerian dan lembaga, agar
tercipta Indonesia incorporated
yang menjadi cita-cita kita semua, bangsa Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar