Menimbang
Penarikan Dana Pemda di BPD
Paul Sutaryono ; Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President
BNI,
Anggota Pengawas
Yayasan Bina Swadaya & Alumnus MM UGM
|
KORAN
SINDO, 15 November 2014
|
Kini mencuat di permukaan rencana Kementerian Keuangan dan Bank
Indonesia (BI) untuk menarik dana menganggur milik pemerintah daerah (pemda)
di bank pembangunan daerah (BPD).
Tentu saja rencana itu membuat BPD berkeringat dingin lantaran dapat
membuat kering likuiditas. Bagaimana sebaiknya? Rencana bak petir di siang
bolong itu bertujuan untuk menarik dana pemda ke pusat untuk dikumpulkan
dalam rekening khusus yang bertajuk treasury
single account (TSA). Melalui sistem ini, saldo kas pemda di BPD yang
menganggur alias tidak terpakai akan otomatis masuk ke dalam akun BI demi
efisiensi.
Aneka
Pertimbangan
Kalau demikian, faktor apa yang patut dipertimbangkan dalam
melaksanakan rencana itu? Pertama, menetapkan kriteria dana menganggur (idle fund). Menurut Ketua Umum
Asosisasi BPD (Asbanda) Eko Budiwiyono, saat ini rata-rata dana pemda yang
mengendap di satu BPD bisa mencapai 60% hingga 70% dari total dana pihak
ketiga (DPK) yang dimiliki BPD.
Bahkan di beberapa BPD tertentu, dana pemda setempat bisa mencapai 80%
dari total DPK BPD yang bersangkutan (Harian
Kontan, 20 Oktober 2014). Wah ! Untuk itu, Kementerian Keuangan, BI, dan
Asbanda perlu duduk bersama untuk membahas rencana itu.
Salah satu topik yang layak dibahas adalah menentukan kriteria dana
menganggur misalnya deposito berjangka dan berapa tenor (jangka waktu)-nya.
Langkah itu bertujuan final untuk menekan resistensi. Karena selama ini
regulator hampir selalu melempar dulu isu ke publik, kemudian baru mengadakan
perundingan dengan asosiasi perbankan.
Sebagai contoh, ketika pemerintah menyatakan bahwa Bank Mandiri akan
melakukan akuisisi terhadap BTN. Pola demikian sudah saatnya diubah dengan
berunding dulu dengan asosiasi perbankan. Kedua, membawa risiko pada
likuiditas. Sudah barang tentu rencana itu akan membahayakan likuiditas BPD
ke depan, karena saat ini pun BPD sudah mengalami kesulitan likuiditas.
Apa buktinya? Memang betul BPD masih mampu meningkatkan penyaluran
kredit 14,34% dari Rp252,78 triliun per Agustus 2013 menjadi Rp289,02 triliun
per Agustus 2014. Namun, dana pihak ketiga (DPK) “hanya” tumbuh 9,32% dari
Rp322,12 triliun menjadi Rp352,14 triliun pada periode yang sama.
Hal ini menyiratkan pertanda bahwa BPD mengalami kesulitan dalam
menghimpun DPK alias likuiditas semakin ketat. Pertumbuhan kredit dan DPK
yang tidak seimbang itu mendorong loan
to deposit ratio (LDR) melaju cukup signifikan dari 78,47% menjadi 82,07%
di tengah rasio LDR yang ideal 78-92% sebagaimana ditetapkan oleh BI. Rasio
LDR BPD itu masih lebih rendah daripada rata-rata industri 90,63% per Agustus
2014.
Artinya, pengucuran kredit BPD masih terkendali dengan baik. Padahal
kedepan hingga 2015, likuiditas perbankan nasional masih terancam kemarau
panjang. Tengok saja, bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed telah memutuskan untuk menghentikan stimulus keuangan ke
pasar keuangan setempat.
Bahkan, The Fed berencana
untuk menaikkan suku bunga yang kini 0,25% mengingat ekonomi AS terus
membaik. Hal ditandai dengan penurunan tingkat pengangguran. Kenaikan suku
bunga itu akan terjadi paling cepat pada semester I/2015. Cepat atau lambat,
hal itu akan mendorong uang panas di pasar keuangan nasional akan kembali ke
AS (sudden reversal).
Akibatnya, nilai tukar rupiah terancam melemah. Nah, ketika BI
menanggapi gejala itu dengan menaikkan suku bunga acuan BI Rate di atas
posisi sekarang ini 7,5%, likuiditas perbankan akan makin gersang. Ringkas
tutur, regulator wajib mempertimbangkan ancaman tersebut sebelum melaksanakan
penarikan dana pemda di BPD.
Ketiga, mendorong kenaikan modal dari sumber lain. Ratarata dana pemda
yang mengendap di satu BPD bisa mencapai 60-70% dari total DPK itu sungguh
memprihatinkan. Hal itu menunjukkan bahwa BPD bersangkutan tidak mampu
memanfaatkan asetnya dengan cantik.
Lihat saja imbal hasil aset (return
on assets/ROA) BPD tampak menurun dari 3,27% per Agustus 2013 menjadi
2,69% per Agustus 2014 sekalipun masih di atas ambang batas 1,5%. Namun, hal
itu menunjukkan bahwa kualitas aset (assets quality) menurun. Bukan hanya itu.
Kalau sebagian besar dana menganggur itu milik pemda, itu berarti pemda
setempat kurang mampu melakukan pembangunan di daerahnya. Hal itu ditengarai
dengan penyerapan anggaran yang tidak optimal. Pada umumnya, penyerapan
anggaran baru marak pada akhir tahun.
Adalah tugas pemerintah pusat untuk mendorong pemda untuk memanfaatkan
anggaran seoptimal mungkin. Dengan bahasa lebih bening, bila terdapat dana
menganggur yang sedemikian tinggi itu bukan semata-mata kesalahan BPD.
Namun, itu sekaligus sebagai tantangan BPD untuk mampu membuat aset
makin berkualitas dengan mengucurkan dana lebih banyak ke kredit produktif,
yakni modal kerja dan investasi daripada konsumsi. Di sisi lain, kini saatnya
BPD menggenjot modal lebih tinggi lagi selain dari dana pemda.
Modal kuat sebagai elemen penting dalam mewujudkan cita-cita BPD untuk
menjadi jawara di daerahnya (regional
champion). Oleh karena itu, ketika rencana penarikan dana pemda di BPD
itu menjadi kenyataan, BPD tidak akan mengalami risiko likuiditas yang
berarti.
Keempat , mengerek tingkat efisiensi. Selain itu, BPD pun wajib
menaikkan tingkat efisiensi yang tercermin pada rasio beban operasional
terhadap pendapatan operasional (BOPO). Statistik Perbankan Indonesia,
Agustus 2014 yang terbit 16 Oktober 2014 mencatat BOPO BPD menipis dari
71,66% per Agustus 2013 menjadi 77,87% per Agustus 2014 meskipun lebih baik
daripada rata-rata industri 76,37%.
Padahal, BPD sudah selayaknya justru mampu menggenjot tingkat efisiensi
karena efisiensi tinggi merupakan salah satu kunci dalam memenangi era
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang efektif akhir 2015. Berbekal aneka
pertimbangan demikian, rencana penarikan dana pemda di BPD dapat terlaksana
dengan lancar. Namun, likuiditas BPD juga tetap perkasa untuk mampu bersaing
dalam era yang sarat persaingan sengit itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar