Debut
Internasional Jokowi
Chusnan Maghribi ; Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
|
SUARA
MERDEKA, 15 November 2014
KETIKA berlangsung kampanye pemilihan presiden Juni-Juli 2014 sejumlah
pihak meragukan kemampuan diplomasi luar negeri capres Joko Widodo (Jokowi).
Juru bicara tim kampanye capres Prabowo Subianto, Tanthowi Yahya, misalnya
pernah menyinyalir dan mengatakan salah satu kelemahan Jokowi ada pada
diplomasi luar negeri.
Jokowi tidak mempunyai kemampuan berbahasa asing (Inggris) yang bagus
dan tidak memiliki bekal diplomasi memadai. Betulkah sinyalemen tersebut?
Mari kita buktikan pada pertengahan November 2014. Sepanjang sepekan itu
(10-16 November) Presiden Jokowi menjalani diplomasi maraton. Momen itu bisa
dikatakan sebagai debut diplomasi internasionalnya sebagai presiden.
Tanggal 10-11 November Jokowi menghadiri KTT Ke-26 di Beijing-Tiongkok.
Di forum multilateral APEC Jokowi dijadwalkan menghadiri pertemuan puncak
APEC pada 11 November, serta mengadakan pertemuan bilateral dengan sejumlah
kepala pemerintahan/negara anggota APEC guna membicarakan kerja sama
bilateral. Di luar itu Presiden Jokowi mendapat kehormatan luar biasa
prestisius, yaitu menjadi pembicara di forum CEO Summit.
Jokowi menyampaikan visi-misi ekonomi Indonesia 5 tahun ke depan kepada
petinggi sejumlah perusahaan top dunia. Di forum CEO Summit hanya ada tiga
pemimpin anggota APEC yang diberi kesempatan berpidato, yakni Presiden
Tiongkok Xi Jinping, Presiden AS Barack Hussein Obama, dan Jokowi. Pemberian
penghormatan kepada Jokowi itu atas kehendak pemerintah Tiongkok selaku tuan
rumah.
Penghormatan tersebut tentu menunjukkan betapa kuat magnet dan pesona
Presiden Jokowi khususnya bagi para pemimpin angggota APEC. Kuatnya daya
tarik Jokowi disinggung oleh Alexander Feldman (Ketua Kamar Dagang dan
Industri AS) Oktober lalu. Feldman mengatakan, ”sekarang ini seluruh dunia sedang penasaran dengan Presiden Jokowi,
dan pemimpin dunia tengah menanti ingin bertemu dengannya.”
Juga disinggung oleh Mathew P Goldman (Penasihat Centre of Security Issues Studies/CSIS Washington) yang
mengatakan, ”semua mata pemimpin dunia
kini ingin melihat performa diplomasi Presiden Jokowi secara netral”.
Jadi, betapa ”wow” perhatian publik dunia terhadap tampilan personal
Presiden Jokowi. Tentu, diharapkan tak kalah ’’wow’’ tampilannya di panggung diplomasi global umumnya. Maka,
sangat lah logis kalau sejumlah kalangan melihat Presiden Jokowi berpotensi
kuat menjadi ”bintang” khususnya di forum multilateral APEC di Beijing.
Tema
Reformasi
Apakah fakta seperti itu relevan jika dinilai bahwa Jokowi tidak
memiliki bekal diplomasi memadai? Tentu tidak relevan. Daya pikat kuat
Presiden Jokowi seperti itu diperkirakan bisa berlanjut di KTT Ke-25 ASEAN di
Naypyidaw-Myanmar pada 12- 13 November ataupun di forum G-20 di Brisbane
Australia pada 15-16 November 2014.
Di KTT ASEAN, Jokowi dijadwalkan mengikuti banyak KTT, di antaranya KTT
ASEAN plus Tiga (KTT10 negara anggota ASEAN dengan Jepang, Tiongkok, dan
Korsel), East Asia Summit
(melibatkan 13 negara tadi plus Australia, India, dan Selandia Baru), serta
KTTASEAN dengan mitra-mitra dialog semisal AS, Kanada, Rusia, dan Uni Eropa
(UE).
Rangkaian KTT tersebut akan digelar pada hari pertama sebanyak lima
konferensi dan hari kedua sebanyak empat konferensi. Selain menghadiri
rangkaian KTT tadi, Jokowi akan menyaksikan launching ASEAN Institute of Green Economy dan ASEAN Communication
Master Plan. Di luar itu semua delegasi Indonesia di forum ASEAN
mengangkat isu virus ebola yang tengah mewabah di jagat.
Indonesia ingin menggalang kepedulian segenap anggota ASEAN guna
menyegah penyebarluasan ebola di Asia Tenggara khususnya. Di forum multilateral
G-20 di Brisbane, Jokowi juga mendapat penghormatan luar biasa prestisius.
Di KTT G-20 nanti Jokowi didaulat berpidato mengenai reformasi ekonomi
dan birokrasi di hadapan 20 pemimpin negara/pemerintahan dari 20 negara
anggota yang mewakili lima benua itu. Jokowi diminta berbicara secara khusus
mengenai pengalamannya dalam mereformasi ekonomi dan birokrasi terutama saat
menjabat Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta.
Agaknya kesuksesannya memimpin Solo dan Jakarta terutama dalam soal
reformasi ekonomi dan birokrasi hendak dijadikan referensi pelajaran penting
dan berharga oleh pemimpin negara anggota G- 20 termasuk Obama dari AS dan
Putin dari Rusia. Realitas ini tentu memperkuat kesahihan jawaban bahwa
sinyalemen Tanthowi Yahya sekitar lima bulan lalu tidaklah relevan dan tidak
benar. Hanya saja memang disadari debut diplomasi internasional Jokowi ini
memikul tanggung jawab sangat tidak ringan dan memuat persoalan kompleks.
Salah satu tantangan krusial yang mesti diatasi oleh Jokowi adalah
bagaimana agar dari debut diplomasi internasionalnya itu ia sukses membawa
pulang hasil konkret berupa misalnya kesepakatannya dengan para pemimpin
anggota APEC, ASEAN, G-20, maupun perusahaan-perusahaan global untuk berperan
aktif dan konstruktif dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar