Pendidikan
Politik Televisi
Danang Sangga Buwana ;
Komisioner KPI Pusat
|
REPUBLIKA,
14 Maret 2014
|
Kualitas demokrasi diukur dari
derajat partisipasi rakyat dalam perhelatan peralihan kepemimpinan. Tahun
ini, pemilihan umum (pemilu) membuka perguliran demokrasi lima tahunan, akan
diuji kualitasnya melalui partisipasi pemilih. Rendahnya partisipasi berdampak
pada rendahnya legitimasi politik.
Masalahnya, dari waktu ke waktu golongan
putih (golput) kian meningkat.
Secara kalkulatif sejak 15 tahun
terakhir, persentase golput tak beranjak turun. Data KPU menyebut, pada
Pemilu 1999 angka golput sebesar 10,21 persen, Pemi lu 2004 menjadi 23,34
persen, dan terus meningkat menjadi 39,1 persen pada Pemilu 2009. Kondisi
serupa juga terjadi pada setiap perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada) di
berbagai daerah semenjak digelar secara langsung.
Aksi golput dapat dipahami
sebagai kulminasi kekecewaan atas tata kelola pemerintahan, sistem politik,
dan sistem hukum yang tak kunjung mampu mengimplementasi cita-cita
kesejahteraan bersama. Elite parpol harus berbenah, penyelenggara pemilu
selayaknya bergegas, semua elemen bangsa ini mestinya membangun optimisme,
dan rakyat niscaya diyakinkan bahwa perbaikan nasib anak bangsa akan
berbanding lurus dengan partisipasi politik.
Pilar demokrasi
Sebagai pilar demokrasi,
televisi berandil memberikan pendidikan politik. Lembaga penyiaran ini
mengemban kewajiban mencerdaskan bangsa. Televisi "peminjam"
frekuensi publik wajib mematuhi amanat Pasal 36 UU Penyiaran No 32/2002. Bahwa
isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, dan man faat membentuk
intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan
dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.
Mandatori tersebut diwujudkan
melalui "pendidikan politik" melalui peningkatan kualitas program
tayangan. Pendidikan politik dapat dilakukan melalui beragam acara yang mampu
meningkatkan kesadaran partisipatif pemirsa terhadap pemilu. Ia juga dapat
diwujudkan melalui beragam iklan layanan masyarakat (ILM), misalnya, tentang
cara mencoblos yang benar dan segala bentuk teknis menekan angka golput.
Pendidikan politik juga dapat diimplementasikan melalui tayangan stimulatif
atas apresiasi kritis publik terhadap pemilu.
Tak hanya melalui iklan, upaya
televisi memberikan pendidikan politik dapat dilakukan melalui siaran jurnalistik
(talk show, feature, investigasi, dan berita) yang menyuguhkan pentingnya
suksesi pemilu agar berjalan lancar, aman, dan jurdil (jujur-adil). Ketidakberhasilan
media menekan angka golput akan menjadi catatan buruk sejarah demokrasi. Tak
hanya itu, golput mendedahkan praktik demokrasi yang perlu dikoreksi. Sebaliknya,
keberhasilan televisi memerankan diri menekan angka golput berarti pula
keberhasilan pilar demokrasi dalam memerankan dua fungsi penting.
Pertama, fungsi antisipatif
terhadap delegitimasi politik. Pemilu akan terdelegitimasi oleh banyaknya
aksi abstain ter hadap pilihan calon pemimpin. Maknanya, jika golput
meningkat, mayoritas rakyat belum menginginkan calon pemimpinnya. Rakyat
memang sudah jenuh dengan janji dan retorika politik.
Na mun, tak semua calon wakil
rakyat berperilaku korup. Masih banyak calon pemimpin berintegritas. Dan,
televisi layak menyuguhkan program tayangan yang mampu menstimulasi optimisme
publik terhadap tatanan politik. Televisi patut memberikan angin segar bahwa
bangsa ini sedang membutuhkan konsolidasi, bukan euforia demokrasi.
Kedua, secara afirmatif pendidikan
politik televisi dapat dimaknai sebagai upaya mengeliminasi pembangkangan
sipil secara halus (soft civil
disobedient).
Fakta bahwa golput bukan sekadar
simbol penolakan politik, melainkan dapat terkategori pembangkangan halus
dari aspek ketidaktaatan masif dan apatisme terhadap transisi demokrasi
pascareformasi yang tak kunjung terkonsolidasi secara baik. Melalui program
inspiratif dan mengajak kebersamaan membangun bangsa melalui partisipasi publik,
televisi berperan meningkatkan partisipasi pemilih. Tak hanya melalui iklan
pemilu dan berita, tayangan inspiratif berbasis kebangsaan dapat diselipkan
melalui program hiburan.
Masyarakat tentunya berharap
pemilu menjadi rahim bagi lahirnya para pemimpin transformasional dalam kekuasaan
eksekutif dan legislatif yang setia pada hukum, jujur, dan terbuka. Rakyat
rindu pemimpin yang benar-benar tulus berpihak pada kepentingan rakyat melalui
visi percepatan kesejahteraan. Bukan kesejahteraan sebagai pemanis bibir belaka.
Karena, selama ini ia diwiridkan demi sebuah citra dan ekspektasi politik
semata. Sementara korupsi, kolusi, dan nepotisme bukan hilang, melainkan kian
merajalela. Memulihkan kepercayaan rakyat kepada elite dan lembaga politik
adalah pekerjaan rumah yang berat. Kita berharap bangsa ini akan mendapatkan
calon pemimpin amanah, tulus, transformasional, dan berani menghadapi segala
risiko demi menyejahterakan rakyat.
Last but
not least, televisi sebagai pilar demokrasi juga tak
selayaknya hanya menayangkan program siaran yang justru mengikis spirit
nasionalisme, mengumbar kejelekan, dan mengolok-olok bangsa sendiri. Sudah
saatnya televisi mengajarkan kepada pemirsa bagaimana menjadi warga negara
beradab, santun, optimistis, dan percaya kepada para calon pemimpin bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar