Kesadaran
Semu Memilih Pemimpin
Indra Tranggono ;
Pemerhati Kebudayaan, Sastrawan
|
KOMPAS,
15 Maret 2014
|
BAGI
publik, kesadaran tertinggi dalam memilih pemimpin merupakan kemampuan
mengenali, mempelajari, memahami, menyukai, dan mencintai. Namun, ketika
proses normal itu tak terjadi, publik pun cenderung menggunakan ilmu gambling.
Tanpa
diancam dengan ”fatwa haram” dari otoritas agama, publik telah tahu dan
sadar: politik golput merugikan demokrasi. Namun, apakah para penyelenggara
negara, otoritas agama, dan parpol juga sadar bahwa jago-jago caleg dan
capres yang maju dalam Pemilu 2014 ini adalah pilihan terbaik atau layak,
sehingga publik tidak harus golput?
Ukuran layak berbasis pada kualitas kepribadian (dimensi etik) dan
kualitas kinerja (dimensi etos) yang mencakup kemampuan
kecakapan/keterampilan.
Jika
syarat di atas tak terpenuhi, Pemilu 2014 tak lebih dari pengulangan
pemilu-pemilu sebelumnya di era reformasi, yang hasilnya mengecewakan.
Pemimpin yang dihasilkan tak lebih dari tokoh-tokoh salon: sibuk bergincu dan
berparfum tanpa mau mengenal bau keringat rakyat dan lumpur penderitaannya.
Mereka hanya bisa ”gembelengan”
(berlagak hero) di depan kamera tapi ciut nyalinya dalam memperjuangkan
aspirasi publik.
Konfirmasi aspirasi
Kesadaran
memilih pemimpin diawali pembacaan atas sosok pemimpin. Di sini, sosok
pemimpin dihadirkan sebagai ”teks” besar dan terbuka yang dibaca secara
kritis. Publik mengonfirmasikan aspirasinya terhadap sosok pemimpin. Semakin
konfirmasi itu menemukan jawaban yang diharapkan, makin besar kemungkinan
publik menjatuhkan pilihan. Ini bisa berlangsung bila sosok pemimpin memiliki
tabungan nilai kebaikan yang dihasilkan dari kerja bermakna sosial.
Kriteria
pemimpin yang baik pun dirumuskan, misalnya (1) dapat dipercaya, (2) memiliki
kemampuan baik intelektual (visioner), teknis ataupun manajerial, (3)
berkomitmen secara sosial/berjiwa kerakyatan, dan (4) berintegritas.
Ruang
ingatan publik cenderung belum kaya
atas data-data pemimpin ideal macam itu. Bukan dalam pengertian konsep,
melainkan realitas. Publik tidak memiliki referensi banyak tentang sosok
manusia yang layak jadi pemimpin ideal. Mereka hanya mengenal tokoh-tokoh itu
melalui media. Pengenalan yang berjarak sosial, geografis, dan psikologis ini
sejatinya tidak menjadi modal yang memadai untuk menentukan pilihan.
Celakanya,
dalam relasi tak otentik itu publik didorong memilih caleg dan capres. Untuk
capres, mereka tahu beberapa nama karena popularitasnya. Namun, umumnya
mereka tak tahu persis kinerjanya, kecuali pengetahuan yang
sepenggal-penggal. Misalnya capres-capres tertentu adalah mantan jenderal,
politisi (ketua partai), dan pengusaha. Hasil kerja sosial mereka yang
bermakna bagi publik umumnya tidak diketahui secara detail.
Lebih
parah lagi pengetahuan publik terhadap calon-calon anggota DPR, DPRD, dan
DPD. Mereka lebih banyak tahu dari poster, baliho, selebaran, dan iklan-
iklan. Beberapa caleg yang populer, seperti pesohor, memang dikenal karena
sering muncul di media massa. Namun, publik tak memiliki pengetahuan yang
lengkap atas kinerjanya sebagai politikus. Ini bisa dipahami karena para
pesohor itu ”jadi” politikus tak melalui sejarah yang panjang, tetapi dadakan
karena punya uang dan popularitas. Padahal, popularitas tidak selalu
berbanding lurus dengan kapasitas.
Entitas kesepian
Selain
dalam Pemilu 1955, di mana parpol-parpol secara otentik menjadi wahana
perjuangan politik publik, sesungguhnya publik tak mengenal calon-calon
pemimpin bangsa secara detail dan otentik. Realitas tokoh yang mereka terima
dan kenali adalah realitas bentukan media.
Akhirnya
publik cenderung menggunakan ilmu gambling, sambil berdoa pilihannya tidak
meleset. Pemilu 2014 pun tak lebih dari ritus politik rutin yang tragis:
publik sudah bisa membayangkan kemalangan nasib politiknya. Publik tak lebih
dari entitas kesepian yang selalu ditinggalkan para calon penguasa, setelah ”bulan
madu” politik selama lima menit itu berlalu.
Seharusnya
kenyataan pahit di atas disadari parpol sebagai garda depan demokrasi. Dari
parpollah sejatinya segalanya diawali. Maka, mestinya parpol hadir sebagai
lembaga sosial-politik-budaya yang gigih bekerja menggembleng kader-kader
yang kelak maju dalam pileg dan pilpres. Lahirnya calon-calon pemimpin ini
bisa mengurangi kecenderungan dominasi para petualang politik berduit, yang
membajak pemilu untuk kepentingan kekuasaan dan modal.
Benarkah
parpol sudah bekerja menyelenggarakan pendidikan politik bagi kader ataupun
publik? Mereka sudah lama mengidap mentalitas instan sehingga hanya bekerja
menjelang pemilu. Mereka mengira dirinya sosok Bandung Bondowoso (tokoh
legenda yang mampu membangun candi dalam semalam): seolah masa depan bangsa
bisa disulap dalam proses cepat. Tragis.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar