Minggu, 02 Maret 2014

Haji Cuciwang

Haji Cuciwang

Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO,  02 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Semasa kecil, pada tahun 1950-an, saya dan dua adik laki-laki saya suka bermain ”Tepuk Haji”, yaitu kalau kami sedang jalan bertiga (atau berdua), siapa yang paling dulu melihat orang bertopi haji boleh memukul pantat yang lain, sembari berseru, ”Haji!” Yang kena tepuk pantatnya tidak boleh marah walaupun dalam hati mendongkol sekali.

Matanya langsung melotot dan mencari orang bertopi haji (dulu identik dengan pak haji) lain untuk membalas dendam. Yang jalan kaki, yang bersepeda, atau naik delman, tetapi biasanya tidak ada lagi yang dicari itu karena memang haji pada masa itu masih termasuk jenis manusia yang dilindungi (saking langkanya). Apalagi di kota kecil seperti Tegal, Jawa Tengah. Memang, untuk naik haji pada masa itu bukan hal yang gampang. Belum ada pesawat udara yang mengangkut jamaah haji berkloter-kloter. Waktu itu, kalau mau haji, ya naik kapal laut.

Singgah dulu di Banda Aceh sebagai pelabuhan terakhir sebelum memasuki Samudera Hindia untuk langsung ke Tanah Suci (karena itulah Aceh disebut Serambi Mekkah). Waktunya lama sekali, sampai beberapa bulan, dan biayanya mahal. Karena itu, hanya mereka yang ilmu agamanya sudah sangat tinggi, punya niat yang sangat kuat, dan punya banyak tabungan sajalah yang akan mampu untuk berangkat haji.

Dengan begitu, akhirnya haji memang sangat dimuliakan dalam pandangan masyarakat Indonesia. Haji adalah ulama (orang berilmu agama yang tinggi), sedangkan hampir setiap haji selalu memakai topi haji (putih), akhirnya orang mengasosiasikan bahwa topi haji identik dengan hajinya itu sendiri. Lain hal dengan zaman sekarang, yang bisa saya namakan sebagai era inflasi haji (bukan moneter saja yang bisa inflasi). Untuk naik haji, pemerintah mengupayakan berbagai cara untuk memudahkan jamaah calon haji.

Selain penerbanganpenerbangan kloter, disiapkan juga asrama haji, tabungan haji, manasik haji (sehingga orang yang paling awam agama pun bisa berhaji), dan sebagainya. ONH (ongkos naik haji) memang naik setiap tahun, tetapi masih tetap terjangkau juga oleh masyarakat biasa. Apalagi sekarang ada Haji Abidin (atas biaya dinas), Haji Bansos (bantuan sosial), Haji UBH (undian berhadiah), bahkan Haji Cuciwang alias Haji Gratifikasi. Akibat itu, wajarlah kalau sekarang banyak Haji Tomat (berangkat tobat, pulang kumat).

Karena itu, sekarang permainan ”Tepuk Haji” sudah tidak bisa dimainkan lagi. Apalagi sekarang topi haji dijual bebas di pelataran-pelataran masjid untuk dipakai salat Jumat. Tetapi, yang lebih serius dari itu adalah kuota haji, walaupun terus-menerus dinaikkan setiap tahun, tidak bisa mengejar demand masyarakat untuk naik haji sehingga sekarang orang yang mau berhaji bisa mengantre bertahun-tahun (masih untung kalau tiba gilirannya, yang bersangkutan masih hidup).

Gejala inflasi haji ini di satu sisi bisa dianggap baik karena merupakan refleksi dari pemahaman agama masyarakat yang makin meningkat. Sayangnya, peningkatan pemahaman akan agama ini (pada aras kognitif) tidak disertai dengan aplikasi ajaran agama yang benar (pada aras perilaku). Dengan begitu, KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di Indonesia bukan mereda, malah makin menjadi-jadi dan menurut sebuah penelitian oleh George Washington University (2011), Indonesia menjadi negara yang ke-140 yang mempraktikkan nilai-nilai Islam (negara islami nomor satu: Selandia Baru).

Betapa tidak. Seusai sebuah rapat akbar yang digelar oleh sebuah partai politik di Gelora Bung Karno (Senayan), yang dihadiri oleh hampir 100.000 orang baru-baru ini, langsung tampak sampah berceceran, kebanyakan plastik-plastik bekas botol minuman dan kemasan makanan. Padahal saya yakin 90% dari massa adalah muslim. Ke mana larinya hadis yang berbunyi ”Kebersihan pangkal iman?”. Lalu, apa yang ”hilang” dari perilaku keberagamaan kita di Indonesia?

Dalam Islam (dan dalam agama Samawi lainnya) pada hakikatnya ada dua sisi yang tidak dapat dipisahkan yaitu hablun min-allah (hubungan dengan Allah) dan hablun minannas (hubungan dengan sesama manusia). Hubungan vertikal dengan Allah diperlukan agar manusia bisa masuk surga, sedangkan hubungan horizontal dengan sesama manusia diperlukan agar kita bisa membangun dunia yang rahmatan lil ‘alamin (penuh rahmat, damai, dan sejahtera).

Setiap kali seorang muslim/ muslimah melakukan kewajibannya untuk Allah (salat, puasa, haji, dan sebagainya), di samping pahala yang akan diterima kelak, ada utang yang harus dibayar di dunia ini yaitu selalu menghargai sesama manusia, melindungi alam, bersedekah, menghindari pertikaian, hidup rukun bergolong-golongan, dan sebagainya. Kalau utang ini tidak dilunaskan, pahala yang sudah dicatat dalam buku tabungan bank akhirat bisa dicoret oleh malaikat.

Begitu kata guru agama saya di SMP (sekolah menengah pertama). Tetapi, justru orang sekarang makin berlomba mencari hadiah pahala akhirat saja dengan melupakan manfaat di dunia. Selain berlomba-lomba naik haji atau umrah, banyak ibu juga yang berlomba-lomba tampil dengan gelung jilbab yang mahal dan cantik dan bermunculanlah berbagai taushiyah di masjid-masjid, di perumahan, atau di media massa. Maka itu, lahir ustaz-ustaz muda, biasanya dengan wajah tampan, pandai mengutip Alquran dan Hadis, pandai beretorika dalam berkhotbah, dan bersuara emas bagaikan juara Indonesian Idol.

Ustaz-ustaz berumur sekitar 30 tahunan ini disukai oleh umat dan sering masuk infotainment yang menyebabkan tarif mereka makin lama makin mahal. Bahkan ada yang menolak undangan untuk bertaushiyah karena tarif yang disanggupi panitia tidak sesuai standar sang ulama muda. Tidak mengherankan jika ustaz-ustaz ini, dalam usianya yang masih belia itu, sudah mampu membeli rumah mewah, mobil yang mahal, dan motor gede. Tetapi, juga tidak perlu heran jika kelakuan beberapa ustaz itu membuat alis mata kita terangkat sebelah.

Ada ustaz yang menggelapkan uang jamaah, ada ustaz yang berpraktik kurang senonoh pada klien wanitanya, ada ustaz yang menginjak seorang anggota jamaah di depan umat, dan sebagainya. Lalu, apa bedanya ustaz-ustaz muda rahimahumullah ini dari para selebritas infotainment lain yang sering bikin heboh di infotainment?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar