Minggu, 02 Maret 2014

Cokro : Pemimpin 2014?

Cokro : Pemimpin 2014?

Garin Nugroho  ;   Sutradara Film, Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS,  02 Februari 2014
                                                                                                                      
                                                                                         
                                                      
Tahun 1919, di tengah letusan Gunung Kelud, Cokroaminoto yang dikenal dengan sebutan Yang Utama memaksakan diri dari Surabaya dengan mobil menembus Kota Blitar yang dipenuhi hujan abu yang dahsyat. Sebuah tindakan yang sangat berani. Namun, keberanian Cokro haruslah mendapatkan maknanya terhadap kelahiran bangsa ini. Cokro bertindak karena khawatir terhadap nasib salah satu muridnya yang berlibur ke rumah orangtuanya. Murid tersebut adalah Soekarno yang masih remaja. Soekarno ternyata selamat. Murid kesayangan Cokro tersebut kemudian menjadi proklamator negeri ini.

Haruslah dicatat, Cokroaminoto yang sering juga disebut ”Guru Bangsa” tercatat sebagai guru dengan murid-murid yang menjadi pelaku utama dinamika kemerdekaan Indonesia. Ia menjadi guru dari beragam ideologi yang tumbuh pada awal abad ke-20, mulai dari agama, nasionalis, hingga sosialis. Sebutlah Samaun yang kemudian melahirkan Partai Komunis Indonesia, Kartosuwirjo yang membangun politiknya lewat DI/TII, dan Soekarno lewat PNI.

Peristiwa gunung meletus terasa menjadi penanda sejarah hidup Cokro. Guru Bangsa ini dilahirkan di seputar meletusnya Gunung Krakatau (1883). Inilah salah satu letusan terdahsyat di dunia. Kekuatannya mencapai 10.000 kali bom atom yang meluluhlantakkan Nagasaki-Hiroshima, dampaknya membentang dari Samudra Hindia hingga pantai timur Afrika, mendorong dua kali tsunami yang dahsyat. Korban resmi tercatat 35.000, tetapi diperkirakan mencapai 120.000 manusia, banyak dari mereka terapung hingga melintasi samudra. Oleh karena itu, kelahiran Cokro oleh masyarakat dimitoskan sebagai lahirnya ratu adil sesuai ramalan Joyoboyo.

Makna apa di balik kisah bencana di atas? Apakah meletusnya Gunung Kelud sekarang ini mengisyaratkan ditemukannya pemimpin baru yang mampu menjawab tantangan zaman baru pasca 2014?

Apakah yang perlu dicatat dari seorang Cokro, pemimpin Islam yang sering disebut sebagai raja tanpa mahkota, karena kemampuannya membangun organisasi terbesar di Asia di permulaan abad ke-20, justru ketika manusia Indonesia abad itu belum mengenal kekuatan organisasi dan organisasi lebih sebagai milik elite, bahkan juga belum mengenal kebangsaan?

Sesungguhnya ada lima keutamaan yang dibangun oleh Cokro. Keutamaan pertama adalah kemampuan menemukan sumber daya kepemimpinan muda dengan karakter serta gagasan melebihi zamannya (15-20 tahun).

Keutamaan kedua, kemampuan mentransformasi daya hidup pengetahuan lewat dialog pada generasi pemimpin baru secara demokratis. Keutamaan ketiga, kemampuan panduan komunikasi untuk menyebarkan spirit pelaksanaan gagasan, baik lewat orasi maupun media komunikasi zamannya, saat itu adalah koran. Keutamaan keempat adalah kemampuan mengajarkan strategi politik lewat beragam siasat di tengah beragam konflik lokal hingga global yang kompleks. Strategi dan siasat ini bertujuan agar kemajuan global mendorong kemajuan lokal dan sebaliknya. Jangan heran Cokro dikenal dengan semboyan, ”Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat”.

Keutamaan kelima adalah kemampuan menghidupkan kekuatan organisasi yang sah secara hukum sebagai roda penggerak cita-cita. Oleh karena itu, meski Serikat Islam yang dipimpin Cokro senantiasa keberlakuan hukumnya dipersempit Pemerintah Hindia Belanda, Cokro menjalankan siasat agar organisasi Serikat Islam, meski hanya di cabang, mendapat pengesahan hukum. Dengan cara itu, Cokro mampu menjalankan gagasannya dalam syarat hukum internasional sebagai daya hidup globalisme baru abad itu.

Ketika menulis catatan ini, saya berdiri di gerbang sekolah dasar semasa kecil di Yogya. Sekolah itu bernama Islamiyah-H0S Cokroaminoto. Melewati SD masa kecil, saya melihat begitu banyak iklan pemilu legislatif di baliho. Kemudian, ketika abu Kelud terus menerpa, saya minum jamu yang tak jauh dari SD Islamiyah. Saya melihat televisi yang meliput bencana, mencerminkan kekacauan organisasi berbangsa yang tak mampu mengelola serta mengomunikasikan panduan bencana. Saya bertanya ulang kepada diri: Mampukah pemilu menjadi guru bangsa lahirnya pemimpin dengan lima keutamaan Cokro?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar