|
Kebijakan pragmatis impor bahan pangan yang notabene
bersumber dari sektor pertanian tidak bisa diteruskan dalam jangka panjang.
Ketergantungan terhadap produk hortikultura impor harus
dikaji ulang secara mendalam. Singkat kata, harus segera dicarikan upaya taktis
untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan dari sumber domestik.
Penyelesaian di sisi hilir dengan cara membuka keran impor
tidak bisa dilakukan terus-menerus. Harus ada kesadaran baru untuk kembali
menjadi sebuah negara dengan kemandirian pangan yang tangguh. Kuncinya,
penyelesaian persoalan sektor pertanian di sisi hulu harus menjadi perhatian
serius pemerintah.
Sejauh persoalan di hulu tidak pernah diselesaikan sama
sekali maka selamanya bangsa ini akan menjadi importir bahan pangan untuk
seterusnya. Sungguh memprihatinkan! Maka penting bagi pemerintah untuk concern
mencermati dan menganalisis data.
Dengan menganalisis data, perencanaan ke depan akan menjadi
lebih baik. Penyelesaian masalah menjadi lebih proaktif, antisipatif, dan
komprehensif ketimbang reaktif seperti yang terjadi selama ini.
Setidaknya ada tiga masalah besar yang harus secepatnya
dituntaskan pemerintah. Pertama, soal berkurangnya jumlah petani atau rumah
tangga usaha pertanian. Kedua, soal menyusutnya lahan pertanian, termasuk
persawahan. Ketiga, relatif lemahnya dukungan sektor keuangan terhadap sektor
pertanian.
Degradasi Sektor Pertanian
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan dalam kurun waktu
sepuluh tahun terakhir sejak 2003-2013 terjadi penurunan jumlah rumah tangga
usaha pertanian di Indonesia. Namun, menariknya penurunan tersebut diikuti
dengan peningkatan produksi pertanian. Sektor pertanian ini meliputi tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan termasuk
jasa pertanian.
Menurut data sementara pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013,
jumlah rumah tangga usaha pertanian menurun 5,04 juta dari 31,17 pertanian pada
2003 menjadi 26,13 juta rumah tangga pada 2013. Atau terjadi penurunan
rata-rata 1,75 juta rumah tangga per tahun.
Rumah tangga usaha pertanian adalah rumah tangga yang salah
satu atau lebih anggota rumah tangga mengelola usaha pertanian. Meski terjadi
penurunan, produksi padi justru meningkat dari 52,14 juta ton pada 2003 menjadi
69,27 juta ton pada 2013 atau tumbuh 3,29 persen per tahun.
Produksi jagung juga naik dari 10,89 juta ton pada 2003
menjadi 18,84 juta ton atau tumbuh 7,16 persen per tahun. Sumbangan pertanian
pada Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat dari 14,3 persen pada 2004 menjadi
15,04 persen pada 2013.
Di sisi lain, Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas)
mencatat terjadi penurunan persentase penduduk lima belas tahun ke atas yang
bekerja di sektor pertanian. Pada 2004 penduduk lima belas tahun ke atas yang
bekerja di sektor pertanian menurun dari 40,61 juta orang atau 43,33 persen,
menjadi 39,96 juta orang tahun 2013 atau 35,05 persen.
Fenomena tersebut tentu disebabkan peralihan profesi dari
sektor pertanian ke sektor lainnya, seperti industri, perdagangan, rumah makan,
jasa kemasyarakatan, jasa sosial, dan perorangan. Dengan kondisi ini, sulit
bagi pemerintah bisa kembali merealisasikan swasembada dan kemandirian pangan.
Peningkatan produksi dan berkurangnya angkatan kerja sektor
pertanian tersebut disebabkan faktor pemanfaatan teknologi. Memang di dalam
ekonomi, negara semakin maju itu pada umumnya akan bergeser dari sektor primer
ke sektor sekunder dan tersier.
Masalahnya, bagaimana supaya produktivitas 26 juta rumah
tangga usaha pertanian yang ada bisa dioptimalkan dengan yield (imbal hasil) bisa ditingkatkan
lagi melalui teknologi dan infrastruktur pertanian yang lebih baik?
Yang juga patut dicermati, telah terjadi pergeseran rumah
tangga usaha tani dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa. Dominasi Pulau Jawa 57,48
persen rumah tangga usaha pertanian pada 2003, menurun menjadi 51,38 persen
pada 2013.
Kendala yang dihadapi petani saat ini yakni modal terbatas
akibat masih minimnya akses petani terhadap lembaga keuangan. Ditambah lagi,
petani kerap diidentikkan dengan tenaga kerja kurang berpendidikan atau
berpendidikan rendah. Ini menyebabkan tenaga kerja keluarga petani memilih
melakukan urbanisasi ke kota hanya sekadar untuk menaikkan status sosial.
Alhasil, perpindahan penduduk dari desa ke perkotaan
menghambat potensi-potensi ekonomi berbasis pertanian di pedesaan. Oleh karena
itu, pemerintah harus membuat kebijakan yang propetani. Diantaranya mengatur
Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang menarik bagi petani.
Kalau ingin berpegang pada kedaulatan pangan maka
penguasaan lahan itu menjadi strategi penting. Hasil Sensus Pertanian 2013 yang
dirilis 2 September 2013 lalu masih akan dilengkapi dengan pendataan pendapatan
usaha pertanian dan struktur ongkos usaha tani.
Pada akhir 2013, BPS akan merilis perkembangan luas lahan
pertanian, alih fungsi lahan, hingga jumlah petani gurem atau petani yang
menjalankan usaha pertanian dengan luas lahan terbatas. BPS mengambil sampel
420.000 rumah tangga usaha pertanian dengan tenaga pencacah sebanyak 245,4 ribu
orang.
Cetak Sawah
Melengkapi perbaikan kebijakan di sektor pertanian di atas
maka yang lebih konkret adalah terus mengupayakan pencetakan lahan pertanian
baru. Fungsi lahan pertanian tidak boleh lagi digantikan fungsi lainnya. Dalam
hal ini peran pemerintah pusat dan daerah untuk mengedukasi warga masyarakat
terkait fungsi lahan menjadi penting.
Penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) di setiap
propinsi/kabupaten/kotamadya menjadi penting sebagai patokan. Dengan adanya
RTRW yang tersusun rapi, pemanfaatan lahan bisa diatur sedemikian rupa.
Tidak boleh ada pemanfaatan lahan untuk sektor pertanian
dialihfungsikan ke sektor nonpertanian. Penambahan areal sekolah, public
utilities, permukiman, dan areal kegiatan ekonomi ditata sesuai dengan
peruntukan lahannya.
Dengan mengacu kepada RTRW yang baik, luas lahan pertanian
tidak akan cepat susut. Pemerintah setempat pun wajib memberikan jaminan kepada
warganya untuk tetap bekerja di sektor pertanian dengan terhormat.
Subsidi pupuk dan benih unggul atas beban APBN/APBD bisa
diberikan kepada mereka guna merangsang komunitas petani di daerah tidak hijrah
ke kota untuk sekadar alih status profesi.
Pembenahan sektor pertanian secara komprehensif tersebut
akan memperbaiki persepsi lembaga pembiayaan untuk mulai menjangkau mereka.
Pelaku sektor pertanian yang tadinya dinilai unbankable
dan tidak fisibel akan berubah menjadi bankable
dan fisibel. Hal ini akan mendongkrak serapan kredit sektor pertanian yang
selama ini terkalahkan sektor manufaktur dan sektor PHR (perdagangan, hotel dan
restoran).
Sebagai negara kepulauan agraris yang luas dengan sumber
daya alam melimpah disertai kesuburan tanah, sudah selayaknya sektor pertanian
mendapat perhatian lebih baik dari seluruh pihak yang berkepentingan, terutama
Kementerian Pertanian. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar