|
SEJURUS Pramono Edhie Wibowo (PEW) dilantik menjadi
Pangkostrad, pada November 2009 dalam acara Apa Kabar Indonesia Pagi di TV One,
saya memprediksi bahwa yang bersangkutan akan dinominasikan Cikeas sebagai
capres atau cawapres setelah menduduki posisi KSAD atau Panglima TNI. Prediksi
saya jadi kenyataan. Mungkin atas dasar itu seorang wartawan media asing
bergengsi datang ke saya bertanya bagaimana skenario 9 Juli 2014. Karena
wawancara itu diterbitkan media tersebut untuk pelanggan eksklusifnya, skenario
2014 saya kira tak ada salahnya disampaikan terbuka.
Melihat dinamika ekonomi politik internasional, regional,
dan nasional, terdapat lima skenario politik yang akan mewarnai perebutan kursi
RI-1. Pertama, strategi dan pengaruh negara adidaya tentang capres/cawapres
yang dikehendakinya. Dalam catat an saya, sejak pertengahan tahun lalu melalui
iklan dan kegiatan tanggung jawab sosial korporasi, iklan kegiatan sosok tertentu,
dan penjaringan pendapat masyarakat tentang beberapa tokoh, negara adidaya itu
telah ‘memasarkan’ tokoh-tokoh tertentu. Pada saat yang sama, tokoh-tokoh yang
tidak masuk ‘dipasarkan’ melalui industrialisasi survei didekati dengan beragam
cara.
Mereka diajak bicara tentang kebutuhan Indonesia seolah
orang-orang asing itu, atau pemasar kepentingan asing itu lebih mengetahui
tentang Indonesia. Pendekatan ini tentu tidak dilakukan sendiri.
Lembaga-lembaga keuangan multilateral pun bersinergi demi kehadiran our man in Jakarta. Mudah ditebak kenapa
mereka demikian, yakni kepentingan ekonomi sebagaimana Bung Karno menyatakan
bahwa soal penjajahan adalah soal untung rugi ekonomi. Menariknya skenario
pertama ini karena acap kali media massa terseret (sadar atau tidak, ada kepentingan
bisnis atau tidak) dalam memasarkan tokoh-tokoh yang mereka kehendaki.
Sebagaimana peristiwa 2004 dan 2009, media berhasil membentuk opini publik
tentang siapa yang pantas dan memenuhi syarat jadi pemimpin.
Kedua, partai mencalonkan sendiri tokohnya dengan
mempertimbangkan elektabilitas. Persoalan ini belum tuntas disebabkan ambang
batas suara untuk pencalonan presiden belum diputuskan DPR. Tetapi bisa diduga
partai-partai apa yang akan berkoalisi jika perolehan suara mereka pada
pemilihan legislatif tidak memenuhi syarat ambang batas pencalonan presiden.
PD, misalnya, akan lebih nyaman berkoalisi dengan PAN dan PKB. Sementara PDIP
dan PG berkeyakinan mampu mencalonkan sendiri tokohnya walau mereka membuka
diri untuk berkoalisi.
Pernyataan PDIP dalam rakernas mengarah ke dua bentuk itu.
Demikian juga pernyataan Aburizal Bakrie. Yang jelas dengan ramainya baliho
para capres di berbagai daerah dan gencarnya iklan-iklan tokoh berselubung
ragam hal di televisi, radio, dan media cetak, skenario kedua ini bertujuan
peningkatan daya tawar para tokoh kepada masyarakat dan kepada sesama capres
lainnya. Intinya, kalaupun tidak dapat kursi nomor satu atau nomor dua, kursi
menteri sudah harus lebih pasti.
Kondisi seperti Partai Hanura dan Partai Gerindra pada
2009-2014 adalah contoh yang patut dihindari, menurut skenario ini. Yang juga
penting, skenario kedua ini tetap dipengaruhi pihak asing untuk kursi-kursi
menteri tertentu. Dalam catatan saya, merujuk pada pengalaman dan pengetahuan
politik, terdapat tujuh kursi kementerian yang signifikan dipengaruhi asing,
yakni Kementerian Keuangan, ESDM, Perdagangan, Perindustrian, Kehutanan,
Pertahanan, dan Kementerian Luar Negeri. Sebenarnya mereka juga peduli dengan
Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian. Namun, selama yang duduk di
dua pos kementerian ini mudah didekati, mereka akan merasa nyaman. Ini berarti
koalisi atau tidak koalisinya para partai lagi-lagi dipengaruhi pihak asing.
Ketiga ialah koalisi nasionalis sekuler dengan nasionalis
pragmatis. Skenario ini terlihat pada upaya mendampingkan ARB dengan Jokowi,
ARB dengan PEW, atau Jokowi dengan PEW, atau ARB dengan PEW. Yang jelas, media
massa dan lembaga survei mengarahkan publik kepada Jokowi, entah sebagai capres
atau cawapres.
Keempat, koalisi nasionalis dengan partai islamisme. Skenario
ini berpandangan pada pentingnya kaum nasionalis bergandeng tangan dengan
partai islamisme yang nasionalis seperti PKB, PPP, dan PBB. Pasangan Jokowi
dengan Mahfud MD, misalnya, dipandang cukup menarik. Sementara me nyandingkan
Jokowi dengan Jusuf Kala juga tidak kalah penting dengan rgumen tentang
kelebihan Jusuf Kala dalam bidang ekonomi dan penga laman se bagai Wakil
Presiden 2004-2009.
Kelima, koalisi partai Islamisme. Koalisi ini hampir tidak
mungkin karena sulitnya menyatukan kelompok islam sen diri. Akan tetapi, patut
dipertimbangkan jika ditemukan tokoh Islam yang mampu menyatukan mereka.
Dari semua skenario itu, sebenarnya model demokrasi Barat
yang diimpor ke Indonesia ditentukan oleh lima hal: (1) lembaga survei (pembuat
jajak pendapat), (2) biro iklan beserta public
relations, para pelobi dan lembaga swadaya masyarakat, (3) media massa, (4)
partai politik, dan (5) pemodal. Oleh Joe Klein, penulis kolom politik di
majalah Time sejak 1964 dan kini menjadi tangan kanan Rupert Murdoch, kelima
hal itu yang membuat demokrasi Barat menjadi semu.
Saya menyebutnya, kelima hal itu yang membuktikan bahwa
demokrasi Barat ditentukan oleh para bandar, pemilik modal, sehingga
keberlakuan neoliberal adalah sebuah keniscayaan. Jika demikian, pendapat Amien
Rais bahwa politik di Indonesia masih dominan tentang orang memang tak bisa
dimungkiri. Namun, politik praktis sendiri selalu memasalahkan siapa berkuasa
apa, bukan apa dikuasai siapa.
Dalam hal ini, pendekatan kuantitatif lembaga survei dan
cara bersikap media massa cetak tidak bisa diabaikan, tetapi bukan hal utama
guna mengendalikan dan mendidik masyarakat. Yang jelas kerja nyata lebih
penting ketimbang menjaga dan mengembangkan citra dan kata-kata.
Dalam perspektif itulah lima skenario tidak bersifat
limitatif, tapi justru alternatif dan kumulatif. Maka persoalannya menjadi,
apakah Pemilu 2014 akan mengulang substansi Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 yang
berujung pada semunya otoritas kekuasaan dalam keberpihakan pada penegakan
harkat martabat bangsa dan dalam upaya ekonomi menolong diri sendiri (self help economics).
Jika melihat kebijakan dan kondisi ekonomi bangsa
akhir-akhir ini, agaknya 2014 belum menyingkirkan awan penjajahan ekonomi
kecuali pemimpinnya memang teguh, tangguh, dan teduh dalam menegakkan amanat
konstitusi. Akankah demikian? Kita akan lihat dan saksikan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar