Minggu, 04 Agustus 2013

Tawa dan Duka Parpol Mendua

Tawa dan Duka Parpol Mendua
Edy Supratno ;  Anggota KPU Kudus, Jawa Tengah
          JAWA POS, 03 Agustus 2013



POLEMIK dukungan partai politik (parpol) mendua yang terjadi saat tahap pencalonan gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur selesai sudah. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah memutuskan untuk memberi sanksi berupa peringatan kepada Andry Dewanto Ahmad selaku ketua KPU Jatim. DKPP juga memberi sanksi pemberhentian sementara kepada tiga anggota KPU Jatim, yakni Najib Hamid, Agung Nugroho, dan Agus Mahfud Fauzi. Pemberhentian itu dilakukan sampai KPU Jatim kembali merevisi keputusannya yang membatalkan keikutsertaan Khofifah Indar Pawaransa dan Herman Suwandi Sumawiredja pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jatim 2013.

Jika kita mengikuti berita-berita media massa, dukungan parpol yang mendua itu hampir terjadi pada setiap pilkada. Walau persoalan itu sudah diatur Peraturan KPU RI, rupanya harus didukung oleh aturan lain agar persoalan tersebut tidak terulang terus. 

Regulasi KPU yang mengatur pencalonan kepala daerah setidaknya telah beberapa kali diubah, bahkan diganti. Penyesuaian itu menjawab beberapa persoalan yang terjadi di tingkat daerah. Misalnya, Peraturan KPU Nomor 13/2010 diubah menjadi Peraturan KPU Nomor 6/2011. Umur peraturan tersebut pendek karena diganti dengan Peraturan KPU Nomor 9/2012. 

Di peraturan itu KPU berusaha mengantisipasi beberapa hal yang bisa dijadikan celah parpol untuk bongkar pasang pengurus, dukungan parpol terhadap calon, penggantian calon, penggantian pengurus, serta adanya kepengurusan partai ganda. Pasal 61 Peraturan KPU Nomor 9/2012 menyebutkan, "KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota meminta keputusan dewan pimpinan pusat partai politik dan/atau dewan pimpinan daerah/wilayah partai politik atau sebutan lain kepada dewan pimpinan partai politik setempat mengenai kepengurusan partai politik yang dinyatakan sah, sebelum masa pendaftaran bakal pasangan calon."

Jika parpol sudah menyetor keputusan tentang kepengurusan, sesuai dengan pasal 66 ayat (1), KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota dilarang menerima perubahan kepengurusan partai politik sejak pendaftaran bakal pasangan calon. Langkah itu bertujuan membatasi parpol membongkar pasang kepengurusan. Lalu, bagaimana jika terjadi kepengurusan ganda? Solusinya tidak terlalu sulit. KPU minta kepastian kepada pengurus tingkat pusat partai yang bersangkutan.

Terhadap partai politik atau gabungan partai politik yang memberi dukungan kepada lebih dari satu pasangan calon, KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota hanya menerima satu pasangan calon yang didaftarkan oleh pimpinan partai politik atau gabungan partai politik yang sah. Bagaimana jika kepengurusan yang sah ternyata memberi dukungan mendua? Pasal 66 ayat (3) sudah mengatur dengan cukup jelas, yaitu KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota hanya menerima satu pasangan calon yang lebih awal didaftarkan. 

Secara teori, apa yang diatur dalam peraturan KPU RI itu sudah sangat jelas dan mudah dioperasikan. Tetapi, pada praktiknya, permasalahan di lapangan cukup kompleks. Hal itu bermula dari kandidat berebut rekomendasi parpol. Dalam rebutan tersebut, persaingan sangat ketat dan pemainnya banyak.

Persaingan itu bisa jadi melibatkan calon satu dengan calon lain dalam satu parpol atau calon satu dengan calon lain dengan lain parpol. Bisa juga persaingan itu terjadi antara parpol satu dan parpol lain, juga sering terjadi persaingan antara pengurus dalam parpol yang sama terhadap calon yang sama atau calon yang berbeda.

KPU Disalahkan 

Ada dukungan parpol yang mendua dalam Pilkada Kudus 2013 beberapa bulan lalu. Walau tidak persis, modus yang digunakan di beberapa parpol itu hampir sama, yaitu "mengutak-atik" SK kepengurusan. Misalnya, ada SK tingkat kabupaten yang "dibuat" ganda. Kepengurusan yang satu mendukung calon A, kepengurusan lain mendukung calon B. Saat KPU mengklarifikasi ke pengurus tingkat DPP, menurut DPP kepengurusan keduanya sah. 

"Lho, kok bisa demikian?" tanya kami.

"Ini partai-partai gue, mengapa lu yang bingung?" katanya enteng. 

Berikutnya, ada juga DPP yang mencabut SK kepengurusan tingkat kabupaten dan mengganti dengan yang baru, kemudian mendukung calon lain. Anehnya, nama-nama dalam kepengurusan baru itu tidak dikenal sama sekali, baik oleh KPU atau pengurus lama. Tetapi uniknya, SK kepengurusan tersebut ditandatangani oleh nama pengurus DPP yang sama dan berstempel. Surat yang dikirim via pos itu disertai "ancaman" akan membawa KPU ke DKPP jika surat tidak diindahkan. 

Agaknya DKPP dijadikan alat untuk menakut-nakuti penyelenggara pemilu. Juga, memang banyak anggota KPU yang dipecat DKPP. Padahal, sangat mungkin dukungan mendua itu disengaja oleh parpol untuk motif-motif tertentu. Selama ini, rumor yang beredar menyebutkan, rekomendasi itu bagai barang dagangan. Jika satu rekomendasi bermahar puluhan atau ratusan juta rupiah, jumlah tersebut akan fantastis bila dikalikan jumlah kabupaten/kota yang ada di Indonesia.

Kurang beruntungnya, dalam persoalan dukungan mendua, selama ini yang dipersalahkan hanya penyelenggara pemilu. Rata-rata anggota KPU "tersungkur" pada tahap pencalonan karena divonis tidak netral. Padahal, pangkal persoalannya ada pada pengurus parpol itu sendiri.

Selain penyelengara pemilu, korban berikutnya adalah calon. Misalnya yang terjadi di Kudus. Menjelang malam penutupan pendaftaran, sepasang kandidat bupati ditelepon pengurus parpol dan dikabari bahwa rekomendasi jatuh padanya. Dengan sukacita dia ke KPU diiringi rombongan rebana. Pada saat bersamaan kandidat lain juga ditelepon dengan isi berita yang sama. Setelah surat rekomendasi itu benar-benar di tangan, ternyata kandidat yang datang dengan diiringi rebana tersebut harus gigit jari. Benar-benar dipermalukan di depan umum oleh parpol.

Sudah saatnya aturan pencalonan lebih diperketat. Parpol yang terbukti memiliki dukungan ganda/mendua wajib diberi sanksi berat. Jangan seperti selama ini, yang dituntut beretika hanya penyelenggara pemilu, sementara pesertanya tidak. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar