Meningkatkan
Ketahanan Energi
Herman Agustiawan, ANGGOTA DEWAN ENERGI NASIONAL RI
SUMBER : KOMPAS, 14 Maret 2012
Indonesia kerap disebut negara kaya sumber
daya alam, termasuk energi. Jika ditinjau dari keanekaragaman jenis sumber daya
energinya, mungkin sebutan itu ada benarnya. Namun, sebutan itu terkadang
mengecoh: benarkah Indonesia kaya energi?
Hingga saat ini, Indonesia memiliki cadangan
terbukti (proven reserve) minyak bumi sekitar 4 miliar barel, gas bumi 104 tcf,
dan batubara 21 miliar ton. Laju produksi minyak saat ini sekitar 900.000 barel
per hari (bph), gas sekitar 1,5 juta barel setara minyak (bsm), dan batubara
340 juta ton. Sementara konsumsi domestik minyak sekitar 1,3 juta bph, gas
750.000 bsm, dan batubara 67 juta ton.
Selama ini, jika produksi berlebih,
kelebihannya diekspor seperti yang terjadi pada batubara dan gas. Sebaliknya,
jika produksi kurang, kekurangannya diimpor, seperti pada crude dan produk
lainnya. Minyak bagian pemerintah (government entitlement) sebagian besar digunakan
untuk kilang domestik. Ekspor minyak (kalau memang ada) jumlahnya hanya sedikit
dan biasanya terjadi jika spesifikasinya tidak cocok untuk kilang domestik.
Rentan Energi
Pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi,
mulai dari eksplorasi hingga eksploitasi, butuh waktu sekitar delapan tahun.
Ini belum termasuk penyediaan infrastruktur pengolahan, penampungan,
pendistribusian, dan lain sebagainya.
Lantas, apakah Indonesia rentan energi?
Sebagai ilustrasi, konsumsi energi primer per kapita kita pada 2006 sekitar 0,6
ton setara minyak (tsm; 1 tsm > 1.100 liter setara minyak/lsm). Artinya,
setiap individu hanya mengonsumsi energi primer (minyak, gas, batubara, dan
sebagainya) rata-rata 660 lsm per tahun atau 1,81 lsm per hari. Sementara di
negara maju, konsumsi energi primer per kapitanya mencapai 4,7 tsm, seperti
Jepang 4,04 tsm, Korea Selatan 4,27 tsm, bahkan Singapura 5,55 tsm. Begitu pun
dengan konsumsi listrik per kapita yang hingga kini masih sangat rendah, 591
kWh per tahun (1 orang > 1,62 kWh per hari). Bandingkan, misalnya, dengan
Thailand (2.080 kWh), Malaysia (3.499 kWh), dan Singapura (8.185 kWh).
Selama kurun waktu 1998-2008 nyaris tidak ada
pembangkit listrik yang dibangun. Demikian halnya dengan kilang minyak, hampir
tidak ada penambahan kapasitas. Baru sekitar tiga tahun terakhir sejak proyek
percepatan 10.000 MW tahap pertama mulai ada pembangunan PLTU batubara. Jadi,
tidak heran jika konsumsi energi per kapita Indonesia masih sangat rendah
dibandingkan dengan negara-negara maju, bahkan di Asia sekalipun. Jika konsumsi
energi per kapita kita demikian rendah, masih pantaskah Indonesia berpredikat
kaya energi?
Faktor pendukung ketahanan energi suatu
bangsa, antara lain, ketersediaan, daya beli, infrastruktur, dan acceptability
(penerimaan masyarakat, lingkungan). Keempat faktor ini mencerminkan ”daya
tahan” (resilience) terhadap berbagai gangguan, baik dari dalam maupun luar
negeri.
Untuk kemudahan pemahaman, misalnya produksi
kita 1 juta bph atau 365 juta barel per tahun, berarti dengan cadangan 4 miliar
barel, minyak kita akan habis sekitar 11 tahun. Namun, jangan lupa, konsumsi
kita sekitar 1,3 juta bph dan cenderung meningkat seiring pertumbuhan penduduk
dan ekonomi, terutama penambahan jumlah kendaraan bermotor.
Ini berarti akan ada selisih yang semakin
”jomplang” antara produksi dan konsumsi. Pertanyaannya, bagaimana kalau
produksi menurun terus alias tidak tetap 1 juta bph setiap tahunnya? Maka,
peningkatan konsumsi akan mengakibatkan kelangkaan pasokan crude dan bahan
bakar minyak (BBM) yang sangat dahsyat.
Terkait konflik di Timur Tengah, di mana Iran
mengancam akan menutup Selat Hormuz sebagai balasan embargo minyaknya oleh
negara-negara Barat, jika ini benar terjadi, pasokan crude dan produk dari
Timur Tengah ke sejumlah negara pengimpor—termasuk Indonesia—akan terganggu.
Sebab, Selat Hormuz merupakan jalur pengapalan sekitar 20 persen crude (17 juta
bph), 30 persen LNG (130 mmscfd), dan sekitar 2 juta bph produk lainnya.
Bagi negara dengan ketahanan energi yang
kokoh, persoalan ini relatif mudah diatasi karena telah memiliki ”cadangan
minyak strategis” . Umumnya negara-negara maju telah memiliki cadangan selama
90-120 hari impor. Bagaimana dengan Indonesia?
Dari uraian di atas jelas bahwa Indonesia
masuk dalam kategori rentan energi. Hingga kini Indonesia masih belum memiliki
”cadangan minyak strategis”, yaitu stok nasional yang hanya boleh digunakan
dalam kondisi krisis dan darurat. Ketika kondisi kembali normal, cadangan
strategis itu harus diisi kembali: tidak boleh dibiarkan kosong!
Enam Langkah
Memiliki ketahanan energi memang mahal dan
sulit, tetapi tidak ada pilihan lain selain memulainya. Lantas bagaimana
mengatasinya?
Pertama, pemerintah perlu mengoptimalkan
produksinya untuk konsumsi domestik. Hal ini tentu dengan harga yang pantas
bagi kontraktor.
Kedua, pelaku usaha hilir/industri yang padat
BBM, termasuk retailer BBM asing, sudah saatnya menaikkan cadangan
operasionalnya. Jika perlu, pemerintah bisa menitipkan ”cadangan minyak
strategis”-nya dengan membayar biaya penyimpanan. Selama ini hanya mengandalkan
cadangan operasional Pertamina yang terbatas. Selama ini kita memanfaatkan
Singapura sebagai salah satu trading hub terbesar dunia (di samping London,
Geneva, dan Dubai) yang didukung oleh kilang dan penyimpanan yang sangat besar.
Namun, ke depan tentu secara bertahap harus dikurangi sampai akhirnya kita bisa
memiliki ”cadangan minyak strategis” sendiri untuk mendukung ketahanan energi
nasional.
Ketiga, pemerintah dan DPR perlu memperketat
dan mengawasi pemakaian BBM subsidi untuk mengantisipasi terganggunya pasokan
crude dan BBM.
Keempat, guna meningkatkan kapasitas kilang
dalam negeri, sebaiknya Pertamina (atau perusahaan nasional lainnya?) bekerja
sama dengan entitas bisnis asing yang bisa menjamin crude untuk intake kilang
domestik secara kontinu. Kerja sama ini sangat strategis guna menjamin
ketersediaan sekaligus mengatasi krisis pasokan BBM.
Kelima, suka atau tidak, pemerintah dan DPR
sudah saatnya ”mengembalikan” harga premium seperti pada 2008 (Rp 6.000) secara
bertahap ataupun sekaligus. Penghematan subsidi yang terjadi harus digunakan
untuk penambahan sarana angkutan umum dan untuk kaum miskin yang layak dibantu.
Keenam, pemerintah didukung oleh DPR perlu
segera menjalankan program diversifikasi BBM dengan energi alternatif, seperti
bahan bakar gas untuk sektor transportasi serta energi baru dan terbarukan
untuk listrik.
Bauran energi kita yang gemuk dengan minyak
ibarat bom waktu. Dulu, ketika gas masih murah, kita ekspor karena minyak juga
murah dan berlimpah. Namun, sekarang minyak sudah mahal dan langka, beralih ke
gas adalah langkah yang tepat meskipun agak terlambat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar