Senin, 01 November 2021

Escape 0.1, Puing Tembok Wabah dari Kampung Sawah Jakarta

Bambang Asrini Widjanarko ;  Penulis, Esais, dan Kurator Seni Rupa

KOMPAS.COM, 31 Oktober 2021

 

 

                                                           

DUA seniman, yaitu arsitek Budi Pradono dan seniman stensil Farhan Siki, bersepakat blusukan ke kampung yang padat dan heterogen di Jakarta.

Di sana, mereka membangun tembok, mecoret-coretinya dengan teks dan imej-imej pun menghancurkannya sekaligus.

Membawa puing-puingnya ke sebuah hotel mewah, memamerkan seraya meggedor benak kesadaran: kapankah “tembok wabah” berakhir atau takkan pernah sirna selamanya?

Juluk karya instalasi itu Escape 0.1, sebuah fenomena pun nomena, peristiwa dan objek-objek tentang “lautan pelarian kejiwaan ekspresi warga”, baik yang materiil dan immaterial.

Itu semuanya, simbolisasi kesia-siaan yang mungkin sempat ada? Virus menghampiri sepanjang waktu, dua tahun berselang sejak pandemi merebak.

Kampung-kampung yang tereksklusi, artefak-artefak berserakan atas tanda-tanda kota kosmopolit yang pengap pun jumawa, bertaburan dan bersilang-sengkarut menelikung kita sehari-hari.

Kampung Sawah, di Petogogan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan adalah kampung padat, pengap, sekaligus banjir mengintai tiap tahun. Situs tempat dua seniman memilih membangun tembok ingatan tentang warga yang kurang beruntung.

Lokasinya berjejer langsung dengan hiruk-pikuk penanda kota yang sukses. Yakni, beberapa ratus meter di dekat kompleks segitiga emas Sudirman Central Business District (SCBD).

Kampung yang “terancam” Kali Krukut ini, masyarakatnya bak “nelayan” tatkala musim hujan. Air meluber dan menggenangi pemukiman warga yang berprofesi pekerja informal, yang niscaya menjadi sistem dukungan kelangsungan kapitalisme kota semegah Jakarta ini.

Kampung sawah adalah paras kita semua, setidaknya bertetangga dalam ingatan komunal. Paras entitas fisik dan jiwa, manusia-manusia “yang melata dan kalah” di Jakarta.

Sementara, menurut Farhan Siki dan Budi Pradono, warga kampung itu dipaksa memakai masker, cuci tangan dan mengurung diri di rumah. Sebagai apa yang diniatkan sejak mula, dalam wawancara dengan penulis.

“Ini seperti representasi dari 'komunisme baru', yang dilontarkan oleh Zizek dalam bukunya awal 2020 lalu, Panic Pandemi tentang keniscayaan kuasa kontrol dan kepatuhan warga," kata Budi Pradono.

"Dekonstruksi tatanan dan rekonstruksi dibangun kembali, menyebabkan warga Kampung Sawah sejatinya paling tangguh dan sangat cepat beradaptasi. Dibanding sejumlah perumahan warga di gated communities yang mengalami tekanan kejiwaan berkepanjangan,” lanjut Budi Pradono.

Sebagai ilustrasi atas wawancara kedua seniman, mereka mengobservasi kampung tersebut serta mendokumentasi peristiwa-peristiwa bahwa meski pembatasan mobilitas dan aksesibilitas warga dalam aturan protokol kesehatan, ternyata warga kampung ini merespons positif.

Proses penghancuran “tembok ingatan” karya seni instalasi dan objek, mengundang warga lain untuk berpartisipasi di aksi seni ini.

“Kampung Sawah sejak lama menjadi sangat seksi dan pusat buruan bagi para politisi sejak dahulu, tiap kali “pesta demokrasi’ dihelat. Tempat ini menjadi ajang kontribusi program lokal di era sejumlah gubernur,” kata Budi memberi penekanan.

Dialektika tembok wabah

Dua seniman dengan caranya sendiri, mencampurkan ide-ide Sizek, realitas sehari-hari kampung sesak dan survival itu dan kemudian dipresentasikan di hajatan Indonesian Contemporary Art and Design 2021 di Hotel Grand Kemang.

Tembok wabah, yang sebutnya kolaborasi dari Budi Pradono x Farhan Siki x Slavoj Zizek ini di perhelatan ICAD 2021 menyisakan puing-puing. Serpihan dinding beton, semen, bata merah 2,2 m x 1,9m itu membawa seluruh isu tentang tegangan-tegangan kota kosmopolit, sekaligus respons warga yang terjebak.

“Kepanikan seputar pandemi Covid-19 memberi studi kasus sempurna. Saat ini kita semua bertanya pada diri sendiri: Kapan semuanya bisa kembali normal?," kata Farhan Siki setengah berfilosofi.

Farhan Siki menyampaikan, selayaknya hadirnya puing-puing tembok menghantar perenungan-perenungan.

“Kita layak bertanya tentang (yang) normal. Apa yang kita anggap biasa saja? Ini kenormalan buat siapakah? Kepentingan apa yang dilayaninya? Dan bagaimana menanyakan tentang kembali ke normal dengan menormalkan ekspresi kekuasaan dan kontrol yang luar biasa di mana kita selalu dan sudah terlibat atau menjadi korban?” ujar Budi Pradono menimpali.

Seperti sebuah dialektika yang menghantui benak kita, dialog diri berlanjut atas dua seniman itu.

“Seharusnya, pertanyaan kita adalah mengapa kita ingin semuanya kembali ingn normal? Sementara, tak mungkin hidup senormal dulu”.

“Pandemi ini, alih-alih menjadi bencana melemahkan mental, yang menghancurkan status quo, memaksa kita untuk berkonfrontasi dengan normalitas yang normal dan kemungkinan bahwa apa yang tidak normal dan nyata-nyata menjadi terobosan, yang sebenarnya memberi peluang dan hasil lebih baik,” kata mereka.

Reinterpretasi teks-teks di buku filosof Slavoj Zizek itu, oleh mereka direlasikan dengan dinding “dialektika -karantina” di tengah kepadatan Ibu Kota. Memberi transmisi pesan bermakna ambigu atas pernyataan dan kenyataan.

“Indikasi dekonstruksi sekaligus rekonstruksi menjadi lahan dialog, serta kesempatan untuk melakukan refleksi hidup kita dan realitas yang tak dapat ditampik,” ujar Budi.

Hal yang menarik lagi, seluruh puing-puing dari wilayah itu plus video rekaman penghancuran tembok menjadi puing pun coretan-coretan stensil di dalamnya, seperti teks “Selamatkan Diri” dihamparkan di lantai licin. Menjadikannnya objek-objek seolah beraura mewah bersanding dengan sejumlah karya-karya seni lain di acara ICAD 2021.

Object Art itu dengan layar yang bergerak terus dengan gambar-gambar, fragmen-fragmen yang tersusun tanpa narasi di kampung, tergeletak di antara puing di lantai hotel itu membawa kekontrasan.

Objek-objek itu tetiba mencipta “chaos”, dalam waktu sama mentransmisi pesan kuat: wabah tentu tak pandang bulu.

Sesiapa saja tak luput dan menjadi sakit, jika terinfeksi, baik mereka yang mapan atau sedang berjuang dalam hidup.

Lamat-lamat, mungkin jika Sizek menyaksikan eksibisi puing tembok ini, bisa jadi ia berujar: bukankah selamanya hidup kita dikontrol kuasa di luar diri, termasuk oleh wabah pun mereka yang berdiri di atas nama besarnya? ●

 

Sumber :  https://entertainment.kompas.com/read/2021/10/31/205811510/escape-01-puing-tembok-wabah-dari-kampung-sawah-jakarta?page=all

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar