Diplomasi Baru Laut Tiongkok Selatan
Makmur Keliat ;
Pengajar Ilmu Hubungan
Internasional, FISIP UI
|
KOMPAS, 30 Juni 2016
Bagaimana sebaiknya
Indonesia harus menanggapi proses hukum Laut
Tiongkok Selatan yang kini
tengah berlangsung di Permanent Court of Arbitration? Seperti kita ketahui Filipina telah
mengajukan permohonan arbitrase terhadap klaim Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan (LTS) pada Januari 2013. Ketentuan Pasal 287 Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) memang memberikan ruang bagi
Filipina untuk memilih salah satu dari empat mekanisme hukum dalam
penyelesaian sengketa maritim. Salah satu dari mekanisme itu adalah melalui
Permanent Court of Arbitration (PCA).
Proses hukum sepihak?
Keseriusan Filipina
untuk menyelesaikan kasus ini tampak
dari dokumen setebal 4.000 halaman yang disampaikan ke PCA. Dalam dokumen
itu, Filipina telah menjelaskan secara detail bahwa Tiongkok telah melakukan
pelanggaran terhadap batas maritim Filipina. Tanggapan Tiongkok sudah bisa
diduga. Negara itu menolak untuk mengakui permohonan Filipina ke PCA.
Melalui Position
Paper, yang dipublikasikan pada Desember 2014, terdapat setidaknya tiga
argumen utama yang telah dikemukakan Tiongkok. Pertama, Tiongkok menganggap
permasalahan di LTS menyangkut kepemilikan pulau, bukan terkait persinggungan
batas wilayah laut (maritime delimitation). Karena itu, Tiongkok memandang
bahwa PCA tidak memiliki yurisdiksi dalam penyelesaian sengketa kedaulatan di
LTS.
Kedua, Tiongkok
menyebutkan terdapat kesepakatan di antara kedua negara untuk tidak membawa
masalah LTS kepada institusi dispute settlement yang memiliki karakter wajib
(compulsory). Dalam Position Paper tahun 2014 poin Nomor 58 itu, Tiongkok
lebih jauh menyebutkan bahwa sengketa maritim di antara Tiongkok dan
negara-negara tetangganya akan diselesaikan melalui mekanisme negosiasi dan
konsultasi langsung.
Ketiga, Tiongkok
berpandangan bahwa penyelesaian melalui proses hukum hanya dapat dilakukan
jika dilandasi oleh asas kesepakatan (the principle of consent) dari kedua
pihak yang bersengketa. Sebagaimana tercantum dalam Position Paper tahun 2014
poin Nomor 76, Tiongkok menyatakan bahwa karena negara itu tidak
berpartisipasi dalam proses hukum yang tengah berlangsung, Tiongkok memiliki
landasan untuk tidak mengakui keputusan yang nantinya dibuat PCA. Intinya
Tiongkok berpandangan bahwa Filipina melalui PCA telah melakukan proses hukum
sepihak.
Saat ini permohonan
Filipina masih menunggu keputusan final yang diperkirakan akan dibuat pada
akhir bulan Juni atau awal Juli 2016. Meskipun belum memberikan keputusan
final, PCA pada bulan Oktober 2015 telah menyatakan beberapa hal berikut.
Pertama, PCA memiliki
yurisdiksi hukum untuk memproses kasus yang diajukan Filipina. Ketidakhadiran Tiongkok disebutkan tidak
menghentikan proses hukum yang tengah berjalan. Kedua, PCA menegaskan bahwa
Filipina memiliki hak untuk mengajukan kasus ini karena Filipina merupakan
salah satu negara yang menandatangani UNCLOS. Tindakan Filipina untuk
mengajukan kasus ini tidak melanggar norma hukum internasional apa pun.
Ketiga,
dokumen-dokumen tentang kesepakatan mekanisme regional yang telah dibuat
Tiongkok dan ASEAN untuk penanganan kasus LTS disebutkan tak memiliki sifat
yang wajib dan mengikat secara hukum, serta tak tercantum sebagai salah satu
mekanisme penyelesaian sengketayang disarankan UNCLOS.
Diplomasi baru?
Walau keputusan PCA
belum keluar, hampir bisa dipastikan bahwa kawasan LTS akan semakin dinamis
pada waktu yang akan datang. Sebagian besar dinamika itu akan ditentukan oleh
tanggapan yang akan diberikan Tiongkok terhadap keputusan PCA. Ada tiga
rangkaian tanggapan yang kemungkinan akan diberikan Tiongkok.
Pertama, Tiongkok
secara verbal akan tetap menolak keputusan PCA. Tanggapan ini hampir bisa
dipastikan mengingat dari sejak awal Tiongkok tidak mengakui proses hukum
PCA. Kedua, Tiongkok akan menunjukkan perilaku yang lebih asertif.
Tindakan-tindakan untuk menunjukkan adanya pendudukan efektif Tiongkok
terhadap kepulauan yang dipersengketakan dan
berikut seluruh aktivitas maritimnya di sekitar wilayah itu akan
semakin meningkat.
Ketiga, Tiongkok
kemungkinan akan memberlakukan air defense identification zone (ADIZ) di LTS.
Hal ini, misalnya telah diperlihatkan Tiongkok di Laut Tiongkok Timur untuk
menyikapi sengketa Pulau Diaoyu/Senkaku. Keempat, melakukan economic
statecraft, menggunakan instrumen ekonomi untuk mencapai tujuan-tujuan
non-ekonomi bagi negara-negara yang terlibat di sekitar LTS.
Di tengah-tengah
situasi ini, gagasan tentang kebutuhan diplomasi baru di LTS tampaknya memang
terasa sangat mendesak. Muatan diplomasi baru ini sebaiknya mengandung
beberapa elemen berikut.
Pertama, tak terlalu
terfokus pada kegiatan pembangunan norma (norms building), tetapi lebih pada
pembangunan skenario (scenario building).
Alasannya sangat sederhana. Indonesia bersama ASEAN telah menghasilkan
beberapa instrumen normatif untuk mengatasi sengketa LTS, seperti Declaration
on the South China Sea (1992), Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea (2002), Guidelines for the implementation of the DOC (2011),
dan ASEAN Six principles on the South
China Sea (2012).
Namun, seluruh proses
pembangunan norma ini tidak berhasil menyelesaikan sengketa LTS. Bahkan PCA
menganggap bahwa seluruh inisitiaf pembangunan norma tidak dianggap mengikat
secara hukum.
Kedua, diplomasi baru
itu perlu memuat argumen bahwa LTS bukanlah laut eksklusif. Aspek strategis
LTS tak terbatas pada littoral states di LTS itu. Terdapat kepentingan
strategis dari extra- regional powers, yang tak dapat diabaikan, seperti
Amerika Serikat dan sekutunya terhadap kawasan ini. Sengketa LTS harus
diterima memiliki dimensi kompetisi global antara AS dengan Tiongkok. Dalam
konteks kompetisi strategis ini Indonesia harus bisa menyeimbangkan
kepentingan ekonomi dan keamanannya dengan kedua negara tersebut.
Ketiga, diplomasi baru itu sebaiknya memuat
beberapa rancangan arsitektur regional
yang diproyeksikan kemungkinan terjadi, setidaknya dalam kurun waktu dua
dasawarsa ke depan. Bagaimana posisi Indonesia dalam berbagai proyeksi
arsitektur regional itu haruslah tampak dengan jelas dalam diplomasi baru
itu. Indonesia harus ikut mengambil
inisiatif dan berperan aktif dalam menata arsitektur yang diinginkan.
Pertanyaan sederhana yang harus dijawab, misalnya adalah apakah ASEAN masih
memadai? Apakah tidak lebih baik memfokuskan pada kerangka regional lainnya
yang lebih besar? ●
|