Wajah
Ganda Pilkada
Gun Gun Heryanto;
Direktur Eksekutif The
Political Literacy Institute;
Pengajar Komunikasi Politik di
UIN Jakarta
|
KOMPAS, 02 November
2016
Penyelenggaraan pilkada kerap menghadirkan
wajah ganda. Satu wajah memesona, penuh harapan, dan menunjukkan gairah
demokrasi elektoral yang sejatinya penting dalam proses konsolidasi demokrasi
Indonesia. Wajah lainnya menunjukkan sisi gelap yang menampilkan pilkada
ibarat pasar taruhan yang dikendalikan para bandar.
Gelanggang pertarungan pemilihan kepala daerah
(pilkada) penuh hiruk-pikuk opini dan histeria massa. Beragam ”mantra”
persuasi dalam proses pemasaran politik pun membanjiri ruang publik hingga ke
ruang pribadi dan keluarga. Dibutuhkan kecerdasan komunikasi, baik dalam memproduksi,
mendistribusikan, maupun mengonsumsi informasi selama pilkada, sehingga kita
bisa memahami, memaknai, dan mengkritisi wajah ganda pilkada dalam kewarasan
berpikir kita.
Fase menentukan pilkada serentak di 101
daerah, yang digelar Februari 2017, merupakan bagian penting dari proses
transformasi kesejarahan demokrasi Indonesia yang akan menyelenggarakan
pilkada serentak nasional pada 2027. Oleh karena itu, pilkada pada Februari
2017, Juni 2018, 2020, 2022, dan 2023 menjadi fase menentukan sebelum pilkada
serentak nasional benar-benar digelar.
Artinya, proses pilkada yang akan dilalui
tahun depan menjadi ukuran daya tahan demokrasi kita di tengah banyaknya
kepentingan. Mengutip Larry Diamond, Developing
Democracy : toward Consolidation (1999), konsolidasi demokrasi itu soal
bagaimana kita merawat stabilitas dan persistensi demokrasi.
Wajah penuh harapan bisa kita temukan di
setiap perhelatan pilkada di banyak daerah. Pilkada jadi mekanisme yang
disepakati untuk menentukan pemimpin yang dicari. Tak mudah memang, tapi
dengan era yang makin terbuka, mulai bermunculan prospective leader di banyak
daerah.
Kita bisa menyebut sejumlah nama pemimpin
daerah yang relatif muda, berkarakter, dan tampil jadi pemimpin yang
menggerakkan perubahan meski jumlahnya masih terbatas. Jalan masih teramat
terjal, tapi demokrasi kita berjalan ke arah yang tepat.
Calon bersponsor
Namun, wajah buruk rupa juga masih mengemuka
dalam penyelenggaraan pilkada. Pertama, fase pemunculan kandidat di banyak
daerah masih kental dengan model kandidat bayangan (shadow candidate) yang berporos pada kuasa politik dinasti dan
calon bersponsor. Politik dinasti terasa saat banyak anak, menantu, dan
kerabat lainnya dari orang berkuasa di daerah yang tampil jadi kandidat.
Sebagian di antaranya dipaksakan karena
pertimbangan menjaga kekuasaan. Jaringan politik yang mengakar di simpul-
simpul warga jadi alat kendali ampuh karena penguasa sebelumnya menjalankan
model bureaucratic polity,
pemerintahan birokrasi. Meminjam istilah Karl D Jakson dalam Bureaucratic Polity: A Theoritical
Framework for the Analysis of Power and Communication in Indonesia
(1978), ciri dominan bureaucratic
polity adalah mengisolir keputusan-keputusan penting hanya di lingkaran
elite tertentu.
Pemunculan kandidat pun sekadar untuk menutupi
dan jadi cara bertahan para kepala daerah yang sudah tak lagi bisa berkuasa
karena sudah dua periode atau mereka yang terkena masalah. Model kandidat
bayangan yang lain adalah calon bersponsor yang sedari awal diposisikan
sebagai boneka pengusaha atau ”investor” politik yang punya kepentingan atas
sejumlah proyek dan kebijakan publik di daerah tersebut.
Realitasnya, pilkada yang mahalmemberi peluang
bagi para mafiauntuk menonimasikan nama dan mengatur proses pencalonan.
Bahayanya sangat nyata, jika sang kandidat yang didukung ”penunggang bebas”
ini terpilih, demokrasi akan tersandera kleptokrasi. Birokrasi didesain sejak
dini sebagai investasi sehingga berpotensi jadi mesin pencuri.
Kleptokrasi menurut Stanislav Andreski dalam
karya klasiknya, Kleptocracy or
Corruption as a System of Government (1968), memberi keleluasaan pada
peran penguasa yang tujuan utamanya untuk kekayaan pribadi atau kelompok.
Mereka memiliki kekuatan untuk memperoleh kekayaan tersebut karena memegang
jabatan publik. Dampaknya, daerah menjadi tempat ”bancakan” kekuasaan hasil
kolaborasi antara penguasa dan pengusaha.
Kedua, dalam proses persuasi yang melibatkan
publisitas, kampanye, ataupun propaganda menjelang pemilihan, para kandidat
dan tim pemenangannya sering terjebak pada upaya menyerang pihak lain dengan
isu sensitif berdaya ledak tinggi, seperti isu suku, agama, ras, atau
antargolongan (SARA). Fase keberlimpahan informasi yang harusnya dibangun
melalui dialektika yang rasional kerap tak tampak karena masifnya suntikan
informasi yang merusak kohesi sosial, politik, budaya, dan agama di
masyarakat.
Kampanye dan propaganda hitam sangat intens
memenuhi media sosial, bahkan tak jarang juga membanjiri media arus utama,
seperti televisi, radio ataupun koran. Ujaran kebencian sering dianggap
lumrah, padahal sangat destruktif bagi nilai substantif demokrasi itu
sendiri.
Kent Greenawalt, dalam Fighting Words:
Individuals, Communities, and Liberties of Speech (1996), mendefinisikan
bahwa ujaran kebencian adalah ucapan dan atau tulisan yang dibuat seseorang
di muka umum untuk tujuan menyebar atau menyulut kebencian sebuah kelompok
terhadap kelompok lain yang berbeda, baik karena ras, agama keyakinan,
jender, etnisitas, kecacatan, dan orientasi seksual. Ujaran kebencian sangat
mudah kita dapatkan di media sosial selama penyelenggaraan pilkada, seperti
halnya kita amati sangat masif dan eksesif terjadi di pilkada DKI Jakarta.
Merawat keindonesiaan
Baik buruknya penyelenggaraan pilkada akan
berdampak pada laju demokrasi Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan kemauan
dan kemampuan semua pihak yang terlibat dalam proses pilkada untuk merawat
keindonesiaan. Pilkada harus menghadirkan rasionalitas substantif, bukan
semata rasionalitas instrumental. Rasionalitas substantif, menghayati
keterlibatan politik sebagai bagian pelaksanaan prinsip, keyakinan, atau
idealisme.
Pilkada bukan semata soal cara, melainkan juga
tujuan, yakni mewujudnya bonum commune atau kepentingan publik yang bisa
dirasakan dan dinikmati oleh warga pemilik mandat kekuasaan. Rasionalitas
instrumental menempatkan ragam aktivitas berpolitik lebih sebagai pragmatisme
memperoleh atau mempertahankan kekuasaan.
Rasionalitas ini lebih menonjolkan kalkulasi,
taktik, strategi, kontrol, dan dominasi meskipun dengan cara-cara yang
merusak nilai kekitaan. Jika kontestasi pilkada hanya berlangsung tiap lima
tahunan, keindonesiaan wajib dijaga selama hayat dikandung badan. Kampanye
hitam, ujaran kebencian, politik dinasti yang tak tahu diri, dan kolaborasi
calon penguasa-pengusaha untuk mengeruk keuntungan dengan beragam cara harus
dicegah!
Semua kandidat dan timnya bebas untuk
memersuasi pemilih dengan beragam cara. Namun, mereka juga punya tanggung
jawab untuk menjaga etika, hukum, dan keadaban publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar