Babak
Baru Kasus Munir
Al Araf ;
Direktur Eksekutif Imparsial
|
KOMPAS, 02 November
2016
Pengungkapan kasus pembunuhan pejuang hak
asasi manusia, Munir Said Thalib, tampaknya memasuki babak baru. Setelah
sekian lama pengungkapan kasus Munir mengalami stagnasi, kini desakan
masyarakat agar kasus itu diungkap secara tuntas menguat setelah keputusan
Komisi Informasi Pusat (KIP) yang memerintahkan pemerintah mengumumkan
dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Kematian Munir. Keputusan KIP itu didasarkan
pada gugatan yang dilakukan Kontras dan LBH Jakarta agar laporan TPF dibuka
kepada publik oleh pemerintah.
Sayangnya, dalam menanggapi keputusan itu,
pemerintah menyatakan laporan itu tak diketahui keberadaannya dan tidak ada
di Sekretariat Negara (Setneg). Sikap dan penjelasan pemerintah itu di satu
sisi memang seolah tak masuk akal, tetapi di sisi lain ini sesuatu yang
memalukan dan menakutkan. Bagaimana mungkin sebuah dokumen resmi negara yang
sudah diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) oleh TPF bisa
hilang dan tidak diketemukan di Setneg?
Belum diketahuinya dokumen resmi TPF
menimbulkan reaksi dari mantan Presiden SBY dan beberapa jajaran menteri di
era SBY. Mantan sekretaris kabinet era SBY, Sudi Silalahi, menyatakan bahwa
laporan TPF itu telah diterima SBY dan salinannya juga telah diberikan kepada
beberapa instansi terkait. Namun, menurut dia, pada akhir masa jabatannya,
beberapa dokumen penting sudah diserahkan kepada Arsip Nasional Republik
Indonesia.
Misteri tentang hilangnya dokumen pembunuhan
Munir tentu menjadi tanda tanya bagi kita, yakni kalau dokumen resmi negara
sekelas kasus pembunuhan Munir saja hilang, pertanyaannya bagaimana dengan
dokumen-dokumen negara lain?
Hilangnya dokumen
Belum ditemukannya dokumen resmi laporan TPF
Kasus Kematian Munir menunjukkan buruknya kelola sistem administrasi
pemerintahan di negara ini. Dokumen yang begitu penting bagi proses penegakan
hukum di dalam rangka mengungkap suatu kejahatan pembunuhan tidak diketahui
keberadaannya. Pemerintahan masa SBY ataupun pemerintahan masa Jokowi tentu
tidak boleh lepas tanggung jawab dari masalah ini karena ini merupakan
masalah serius dalam tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good and
clean governance).
Saling lempar tanggung jawab antara pemerintah
saat ini dan pemerintah yang lalu atau sebaliknya terkait hilangnya dokumen
resmi TPF Kasus Kematian Munir menunjukkan bagaimana kasus Munir lebih
diletakkan dalam aspek politik ketimbang aspek hukum. Hilangnya dokumen telah
menjadi komoditas politik daripada masalah penegakan hukum.
Belum ditemukannya dokumen resmi laporan TPF
semakin menguatkan dan mempertegas bahwa pembunuhan terhadap Munir merupakan
pembunuhan politik (political assassination) yang melibatkan operasi yang
bersifat rahasia yang dilakukan dengan permufakatan jahat secara terencana
dan bersekongkol. Ada kekuatan-kekuatan tertentu yang memiliki keahlian
khusus yang berupaya keras menutup upaya penyelesaian kasus Munir dan salah
satunya terlihat dari masalah dokumen resmi kasus Munir ini.
Apabila memang benar nanti dokumen resmi TPF
itu hilang, hal itu merupakan kejahatan tindak pidana. Pasal 53 Undang-Undang
Keterbukaan Informasi Publik No 14 Tahun 2008 beserta penjelasannya
menyebutkan bahwa setiap orang atau badan hukum atau badan publik yang dengan
sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, dan atau menghilangkan
dokumen informasi publik, ia dapat dipidana dengan pidana penjara dua tahun.
Sementara mengacu pada Undang-Undang No
43/2009 tentang kearsipan, Pasal 86 menegaskan bahwa setiap orang yang dengan
sengaja memusnahkan arsip di luar prosedur yang benar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 Ayat 2 dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama
sepuluh tahun.
Meski dokumen resmi laporan TPF Kasus Kematian
Munir di Setneg belum ditemukan, hal itu tidak boleh menjadi penghalang dan
penghambat bagi pemerintahan Jokowi-Kalla mengungkap kasus pembunuhan Munir.
Tidak boleh pemerintah berpikir dan berdalih bahwa karena dokumen resmi di
Setneg belum ditemukan, upaya mengungkap kejahatan kasus Munir dihentikan.
Jangan jadikan persoalan hilangnya dokumen
resmi TPF Munir di Setneg sebagai dalih untuk mengulur-ulur waktu
pengungkapan kasus Munir karena itu sebuah itikad yang tidak baik dan harus
dihindari negara. Negara dan pemerintah sudah semestinya hadir untuk
mengatasi sejumlah aksi kejahatan dan bukan malah menghindarinya, termasuk
dalam kasus kejahatan pembunuhan Munir.
Mencari dan menemukan dokumen resmi TPF di
Setneg itu sebuah keharusan, tetapi menindaklanjuti kasus Munir dengan dasar
dokumen TPF yang dimiliki kejaksaan dan kepolisian sebenarnya juga bisa
dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-Kalla untuk menyelesaikan kasus Munir.
Sebagaimana diketahui, dokumen TPF yang diserahkan ke beberapa institusi,
termasuk institusi penegak hukum, seperti diungkapkan mantan Sekretaris
Kabinet Sudi Silalahi, telah menjadi bahan dan petunjuk awal bagi kepolisian
dan kejaksaan untuk menyelidiki kasus pembunuhan Munir.
Dokumen TPF beserta proses penyelidikan dan
penyidikan oleh kepolisian dan kejaksaan yang telah dilakukan sejak masa SBY
berdampak pada dihukumnya fasilitator dan pelaksana operasi lapangan
pembunuhan Munir. Mereka di antaranya Indra Setiawan,Rohainil Aini, dan
Pollycarpus Budihari Priyanto.
Itu artinya negara, dalam hal ini kejaksaan
dan kepolisian, sudah memiliki dokumen TPF Kasus Kematian Munir. Gunakan saja
dokumen yang dimiliki instansi-instansi pemerintah tersebut untuk diumumkan
segera kepada publik dan dijadikan bahan untuk ditindaklanjuti bagi proses
penyelidikan. Apalagi, mantan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi telah
menyerahkan dokumen TPF kepada sekretaris negara. Dengan demikian, tidak ada
alasan bagi pemerintah untuk menunda pengumuman kepada publik terkait laporan
TPF dan segera menindaklanjutinya dalam proses hukum.
Selain itu, pemerintah dan aparat penegak
hukum sebenarnya juga bisa menjadikan fakta- fakta dalam proses penyelidikan
dan penyidikan di kepolisian dan kejaksaan serta dalam persidangan kasus
Munir yang selama ini sudah berjalan sebagai bukti dan novum baru untuk
mencari dan menemukan dalang pembunuh Munir.
Tuntaskan kasus Munir
Penting untuk selalu diingat bahwa pembunuhan
Munir adalah pembunuhan permufakatan jahat yang terencana. Karena itu, tidak
mungkin pembunuhan Munir hanya dilakukan para fasilitator dan pelaksana
operasi lapangan yang selama ini telah dihukum. Ada dalang pembunuhan Munir
yang hingga kini masih berkeliaran di sekitar kita dan belum juga dihukum.
Itu artinya, penuntasan kasus Munir belum bisa dikatakan selesai dan konsekuensinya
perlu dituntaskan oleh pemerintahan Jokowi-Kalla.
Tuntutan dan desakan publik agar pemerintah
mengumumkan laporan TPF kepada publik sebagaimana dimandatkan komisi
informasi pusat merupakan langkah nyata awal yang bisa dilakukan Presiden.
Selain itu, Presiden juga dapat memerintahkan Jaksa Agung untuk mengajukan
peninjauan kembali (PK) atas kasus Muchdi PR sebagaimana telah lama
didesakkan istri almarhum Munir, Suciwati dan Komite Aksi Solidaritas untuk
Munir (KASUM).
Lebih lanjut, mengingat kasus Munir adalah
kasus pembunuhan politik yang dilakukan melalui operasi rahasia yang
terencana, akan jauh lebih baik jika Presiden membentuk tim pencari fakta
kasus Munir baru untuk membongkar tembok tebal yang selama ini menghalangi
pengungkapan kasus Munir. TPF baru ini perlu diberikan kewenangan yang lebih
kuat dengan komposisi anggota dari unsur pemerintah dan unsur masyarakat dan
sebagian dapat melibatkan anggota TPF yang pernah dibentuk pada masa SBY.
Sebagai seorang Presiden, Jokowi tentu tidak
boleh kalah oleh kekuatan-kekuatan tertentu yang ingin berupaya menghambat
dan menggagalkan upaya pengungkapan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir. Dalam
konteks ini, Presiden Jokowi juga tidak boleh mengambil sikap dan langkah
kompromistik yang akan mengakibatkan kasus pembunuhan Munir tidak
terselesaikan. Harapan publik yang begitu besar atas tuntasnya kasus Munir
tentunya dapat dijadikan modal dasar Presiden Jokowi untuk menyelesaikan
kasus Munir. Apalagi Presiden Jokowi sudah berjanji bahwa penuntasan kasus Munir
adalah bagian dari agenda reformasi hukum pemerintah Jokowi-Kalla. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar