Menginisiasi
Pendidikan Inklusi
Sansrisna;
Guru Sekolah Sukma Bangsa Pidie
|
MEDIA INDONESIA,
31 Oktober 2016
HARUS diakui masalah keadilan dan kesetaraan
dalam tata kelola pendidikan kita dalam tiga dekade terakhir tidak pernah
bisa diselesaikan secara baik dalam kerangka sistem pendidikan nasional.
Bukan hanya di Indonesia, isu keadilan dan kesetaraan dalam pendidikan juga
menjadi isu yang tak kunjung selesai dibicarakan di seluruh dunia.
Kebingungan itu salah satunya bisa jadi bermula dari definisi kesetaraan
pendidikan itu sendiri, yaitu apakah kesetaraan bermula dari keterbatasan
masukan sumber daya terhadap sekolah atau kesetaraan dari keluaran di luar
sekolah.
Jika kesetaraan dilihat dari aspek input
sumber daya sekolah, seluruh kebutuhan yang menjadi prasyarat terciptanya
sebuah sekolah yang nondiskriminatif, misalnya, guru yang berkualitas, sarana
dan fasilitas yang memadai, serta manajemen pengelolaan yang transparan dan
akuntabel, haruslah dirasakan seluruh siswa dalam setiap aspek pelayanan,
termasuk dalam kategori ini ialah akses terhadap anak berkebutuhan khusus
dalam pelayan pendidikan.
Sekolah luar biasa ialah harapan bagi
penyandang disabilitas. Selama ini anak-anak yang memiliki gangguan kemampuan
disediakan fasilitas pendidikan khusus, disesuaikan dengan derajat dan jenis
disabilitasnya, yaitu sekolah luar biasa (SLB). Disadari atau tidak, sistem
pendidikan SLB ini telah membangun tembok besar eksklusivisme bagi anak-anak
yang berkebutuhan khusus. Pendidikan yang terpisah dari pendidikan reguler
sudah tentu menghambat proses saling mengenal antara anak-anak disabilitas
dengan anak-anak pada umumnya. Sementara itu, di pihak lain, masyarakat umum
juga menjadi tidak begitu akrab dengan persoalan-persoalan kehidupan kelompok
disabilitas.
Masalah akses pendidikan bagi penyandang
disabilitas dan mereka yang berkebutuhan khusus memang menjadi persoalan di
seluruh dunia. Di banyak negara, ada 50%-60% anak-anak tanpa disabilitas dan
hanya 2%-3% anak yang menyandang disabilitas yang masuk sekolah. Itulah
sebabnya, badan dunia seperti UNESCO memberikan perhatian serius mengenai
persoalan ini. Oleh karena itu, dalam Pernyataan Salamanca (UNESCO, 1995)
misalnya, ditekankan hal-hal berikut, di antaranya: (a) Hak semua anak,
termasuk mereka yang berkebutuhan temporer dan permanen untuk memperoleh
penyesuaian pendidikan agar dapat mengikuti sekolah.
(b) Hak semua anak untuk bersekolah di
komunitas rumahnya dalam kelas-kelas inklusif. (c) Hak semua anak untuk ikut
serta dalam pendidikan yang berpusat pada anak yang memenuhi kebutuhan
individual. Segregasi dalam pendidikan telah mencederai semangat pernyataan
Salamanca dalam konferensi dunia tentang pendidikan bagi anak berkelainan
pada 1994, yang berprinsip dasar bahwa selama memungkinkan, semua anak
seyogianya belajar bersama tanpa memandang kesulitan atau perbedaan yang ada
dalam wadah sekolah inklusi.
Pemerintah kita menuangkannya dalam
Permendiknas No 70/2009 Ps 2, pendidikan inklusif bertujuan: (1) memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
(2) Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang
menghargai keanekaragaman, serta tidak diskriminatif bagi semua peserta
didik. Secara konseptual akademik, inklusi diartikan sebagai integrasi
menyeluruh bagi semua siswa tanpa terkecuali, termasuk siswa dengan kebutuhan
khusus dalam sebuah kelas reguler yang disesuaikan umur siswa dan letak
sekolah (Rouse, 2012).
Kebutuhan khusus
sekolah inklusi
Sampai saat ini belum semua sekolah reguler
menerapkan pendidikan inklusi di Indonesia. Berdasarkan data Susenas (2012),
persentase jumlah SD yang menerapkan pendidikan inklusi baru 0,002% dari
total SD yang ada di Indonesia. Adapun sekolah lanjutan dan menengah yang
juga menerapkan pendidikan berbasis inklusi hanya 0,46% dari seluruh sekolah
menengah dan lanjutan yang ada. Jumlah ini masih sangat sedikit. Pemerintah
sepakat meningkatkan lagi jumlah dan kualitas sekolah-sekolah penyelenggara
pendidikan inklusi ini.
Disadari, penerapan pendidikan inklusi
tidaklah simpel, ditemukan banyak kesulitan-kesulitan seperti ketersediaan
fasilitas pendukung dan guru yang mumpuni. Secara bertahap peningkatan
kapasitas guru terus dilakukan. Pelatihan, magang, dan seminar-seminar untuk
guru-guru reguler yang telah ditunjuk terus ditingkatkan agar mereka mumpuni
mengajar di kelas inklusi. Walau begitu, sebaran dan jumlah guru-guru yang
pernah mengikuti pelatihan yang memadai masih jauh dari cukup.
Usaha pemerintah lainnya ialah membuat
sekolah-sekolah piloting dan memberikan bantuan dana penunjang
penyelenggaraan sekolah inklusi hampir di seluruh Indonesia. Syarat utama
untuk menginisiasi sekolah inklusif ialah guru. Guru tulang punggung
penyelenggaraan sekolah inklusi. Di Indonesia banyak ditemukan guru yang
tidak mempunyai latar belakang pendidikan khusus yang mengajar di kelas
inklusi. Jauh berbeda dengan negara-negara maju seperti Finlandia. Di negara
ini semua sekolah menerima murid-murid berkebutuhan khusus, guru yang
mengajar ialah guru spesial yang berdampingan dengan guru reguler.
Semua guru telah mendapat pendidikan inklusi
di perguruan tinggi sebelumnya karena pendidikan inklusi dijadikan mata
kuliah wajib yang harus diikuti semua calon guru. Kebijakan pemerintah kita
belum sampai ke sana. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah memberikan
pelatihan kepada guru-guru reguler. Sayangnya, tak semua guru mempunyai
kesempatan yang sama terhadap akses pelatihan-pelatihan itu sehingga timbul
keragaman dalam hal keyakinan guru untuk mengajar anak berkebutuhan khusus di
kelas inklusi. Menurut Roouse (2012), keyakinan guru mengajar di kelas
inklusi berasal dari pengetahuan, pengalaman, dan interelasi dengan
koleganya.
Dalam menerapkan pendidikan inklusi, ketiga
faktor itu wajib dimiliki guru. Lalu bagaimanakah cara meningkatkan keyakinan
guru ini? Instrumen evaluasi dan refleksi diri ditengarai sebagai salah satu
solusinya. Guru dapat melakukan refleksi dengan bantuan murid-murid di kelas
setelah belajar. Guru dapat juga meminta koleganya untuk mengamati dan
memberi masukan, atau guru dapat membuat refleksi diri secara berkala.
Refleksi diri sangat simpel dilakukan, cukup menarasi keberhasilan,
tantangan, perasaan, dan apa rencana atau disiapkan untuk kelas selanjutnya
setiap kali habis mengajar.
Refleksi berupa narasi itu sangat berharga
bagi guru itu karena dia telah mendokumentasi perjalanannya sebagai praktisi
pendidikan. Bila guru bersedia mengikhtisar dan mengintisari poin-poin
penting yang menjadi momentum keberhasilan dan kegagalannya, itu dapat
dijadikan bahan referensi bagi guru lain. Atau setidaknya untuk dirinya
sendiri sehingga menjadi batu pijakan untuk melangkah lebih tinggi. Evaluasi
dan refleksi guru memang mampu membantu guru menemukan kekuatannya.
Namun, pemerintah tetap perlu meningkatkan
kapasitas pedagogis guru, terutama dalam mengintegrasikan kebutuhan penguatan
guru di kelas inklusi ke perguruan tinggi juga harus diprioritaskan. Tak
kalah penting, penelitian-penelitian di bidang pendidikan inklusi sebagai
dasar pembuatan kebijakan di masa datang perlu digalakkan. Terlepas dari itu
semua, keikhlasan dan kasih sayang dari hati kecil seorang guru ialah unsur
tak ternilai. Menerima keadaan siswa dan berempati kesulitan yang dihadapinya
akan melahirkan keyakinan yang dalam, bahwa siswa itu memang berhak
sepenuhnya untuk tidak dibeda-bedakan karena sejatinya semua anak ialah
istimewa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar