Penataan
Ulang Dapil
Ramlan Surbakti ;
Guru Besar Perbandingan Politik
pada FISIP Universitas Airlangga; Anggota
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 01 November
2016
Dengan sedikit perubahan pada tahun 2008,
daerah pemilihan anggota DPR dan DPRD yang ada sekarang ini tidak hanya sudah
berlaku selama tiga kali pemilu (2004, 2009, dan 2014), tetapi juga
didasarkan ada data jumlah penduduk tahun 2003.
Dalam 15 tahun ini niscaya telah terjadi
perubahan jumlah dan sebaran penduduk sehingga alokasi kursi dan daerah
pemilihan (dapil) perlu disesuaikan dengan data jumlah penduduk mutakhir.
Namun, perubahan jumlah dan sebaran penduduk antardaerah ini hanya merupakan
salah satu faktor penyebab mengapa alokasi kursi dan dapil DPR dan DPRD perlu
ditata ulang. Setidak-tidaknya ada tujuh faktor lainnya mengapa alokasi kursi
dan dapil DPR dan DPRD perlu ditata ulang.
Jauh dari prinsip
seharusnya
Ketujuh faktor ini menunjukkan betapa alokasi
kursi dan pembentukan dapil DPR dan DPRD di Indonesia jauh dari prinsip yang
seharusnya. Pertama, untuk menjamin kesetaraan antarwarga negara. Untuk
menjamin kesetaraan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, jumlah penduduk untuk setiap kursi DPR
haruslah setara. Martabat WNI yang tinggal di Sabang, Merauke, Rote, dan
Miangas haruslah setara dengan martabat WNI yang tinggal di Jakarta dan
daerah lain di Pulau Jawa. Akan tetapi, selama 11 kali pemilu yang pernah
diselenggarakan di Indonesia, sejak Pemilu 1955 sampai dengan Pemilu 2014,
belum sekalipun kesetaraan warga negara ini dijamin.
Hal ini terjadi tidak saja karena sebagian
besar penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa dan sebagian besar wilayah
negara Indonesia terletak di luar Pulau Jawa, tetapi juga karena alokasi
kursi DPR kepada provinsi tak memiliki kriteria dan standar yang jelas.
Jumlah penduduk untuk setiap kursi DPR di Kepulauan Riau mencapai 600.000
jiwa, sedangkan jumlah penduduk untuk satu kursi di Pulau Jawa paling tinggi
hanya 429.000. Baik provinsi yang kelebihan kursi jika dibandingkan dengan
jumlah penduduknya (over representation)
maupun provinsi yang kekurangan kursi jika dibandingkan jumlah penduduknya (under representation) keduanya berada
di luar Pulau Jawa.
Bagaimana menjamin kesetaraan ini? Tim yang
saya pimpin di Kemitraan (Partnership
for Governance Reform) mengajukan Naskah Akademik dan Draf RUU Kitab
Hukum Pemilu kepada DPR dan pemerintah akhir September 2015. Apabila DPD
punya kewenangan ikut membuat UU yang menyangkut kepentingan daerah, alokasi
kursi DPR kepada setiap provinsi akan dapat dilakukan sepenuhnya berdasarkan
jumlah penduduk sehingga kesetaraan antarwarga negara (equal representation) akan dapat dijamin.
Alokasi kursi DPD kepada provinsi akan
dilakukan berdasarkan kesetaraan antarprovinsi sehingga setiap provinsi akan
mendapat kursi dalam jumlah yang sama. Namun, cara ini tampaknya belum dapat
dilaksanakan dalam waktu dekat karena memerlukan Perubahan UUD yang Kelima.
Alternatifnya, membagi kursi DPR menjadi dua, yaitu 280 kursi untuk semua
provinsi di luar Pulau Jawa dan 280 kursi untuk semua provinsi di luar Pulau
Jawa.
Dengan menjamin sekurang-kurangnya tiga kursi
untuk provinsi yang penduduknya kurang dari satu juta (Kalimantan
Utara/Kaltara, Papua Barat, dan Gorontalo), maka 271 kursi yang tersisa
dialokasikan kepada 25 provinsi lain berdasarkan jumlah penduduk sehingga
jumlah penduduk untuk satu kursi DPR di luar Jawa akan setara. Demikian pula
280 kursi DPR dialokasikan kepada enam provinsi di Pulau Jawa berdasarkan
jumlah penduduk sehingga jumlah penduduk untuk setiap kursi DPR di Pulau Jawa
juga akan setara. Jumlah penduduk untuk setiap kursi di Pulau Jawa memang
akan lebih tinggi daripada jumlah penduduk untuk setiap kursi DPR di luar
Pulau Jawa. Demi keadilan, perbedaan ini untuk sementara kiranya dapat
diterima jika dibandingkan dengan apa yang diterapkan selama ini.
Kedua, alokasi kursi DPR untuk provinsi yang
dimekarkan selama ini tidak berdasarkan kriteria dan standar yang sama.
Provinsi Papua, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Sumatera Selatan yang
dimekarkan mengalami pengurangan masing-masing tiga kursi yang dialokasikan
kepada provinsi baru, yaitu Papua Barat, Gorantalo, dan Bangka Belitung.
Karena sebagian penduduk provinsi induk telah menjadi penduduk provinsi baru,
maka logis jika jumlah kursi provinsi induk dikurangi. Berbeda dari ketiga
provinsi tersebut di atas, Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) yang juga
dimekarkan tak mengalami pengurangan kursi walaupun sebagian penduduknya telah
menjadi warga Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar). Provinsi Sulsel merupakan
salah satu provinsi yang mendapat alokasi kursi terlalu banyak jika
dibandingkan jumlah penduduknya.
Apakah kursi DPR untuk Provinsi Kalimantan
Timur (Kaltim) akan dikurangi tiga kursi untuk provinsi baru Kaltara ataukah
tetap walaupun sebagian penduduknya sudah menjadi bagian dari Provinsi
Sulbar? Kalau jumlah kursi DPR untuk Kaltim tidak berubah, dari mana tiga
kursi untuk Kaltara diperoleh? Ada yang mengusulkan agar jumlah kursi DPR
ditambah tiga kursi lagi sehingga menjadi 563 kursi. Namun, banyak pihak yang
menyatakan keberatan atas penambahan kursi itu karena tiga alasan: jumlah
penduduk Kaltim sudah berkurang sehingga wajar jika alokasi kursinya
berkurang, tidak adil bagi tiga provinsi yang mengalami pengurangan kursi
karena mengalami pemekaran, dan 560 kursi DPR saja sudah terlalu banyak,
apalagi kebanyakan anggota Dewan justru belum bekerja secara maksimal.
Solusi yang masuk akal terhadap provinsi yang
mengalami pemekaran tidak lain mengurangi jumlah kursi DPR untuk provinsi
induk karena jumlah penduduknya sudah berkurang untuk provinsi baru.
Ketiga, sejumlah dapil DPR dan DPRD dibentuk
tidak berdasarkan prinsip pembentukan dapil yang benar. Suatu daerah
pemilihan yang terdiri atas dua atau lebih kabupaten/kota atau terdiri atas
dua atau lebih kecamatan haruslah merupakan suatu kesatuan wilayah sehingga
terbentuk suatu dapil yang tidak hanya berasal dari wilayah administrasi yang
secara resmi menjadi bagian dari suatu dapil, tetapi interaksi warganya
berlangsung lancar karena merupakan suatu kesatuan wilayah. Kota Bogor dan
Kabupaten Cianjur melompati sebagian wilayah Kabupaten Bogor menjadi satu
dapil DPR di Jawa Barat serta Kota Banjarmasin dan Kota Banjar melompati sebagian
wilayah Kabupaten Banjar menjadi satu dapil DPR di Kalimantan Selatan
merupakan dua contoh dapil yang menyimpang tersebut.
Bentuk penyimpangan lainnya dalam pembentukan
dapil adalah jumlah kursi sejumlah dapil melebihi jumlah maksimal kursi yang ditetapkan
dalam UU. Besaran dapil anggota DPRD adalah kisaran 3 hingga 12 kursi. Kota
Mojokerto yang memiliki jumlah anggota DPRD 25 orang tetapi hanya terdiri
atas dua kecamatan niscaya akan menyebabkan salah satu kecamatan akan
mendapatkan alokasi kursi yang melebihi batas maksimal. Kota Cimahi juga
memiliki persoalan yang sama.
Keterwakilan minoritas
dan reformasi partai
Keempat, keterwakilan kelompok minoritas
(seperti kelompok suku bangsa) tidak mendapat perhatian dalam pembentukan
dapil. Konkretnya, suatu kelompok suku bangsa yang bermukim di dua atau lebih
kecamatan, maka dua atau lebih kecamatan itu tak boleh dipisah menjadi bagian
dari dua atau lebih dapil DPRD. Pembentukan dapil DPRD kabupaten di Papua dan
Papua Barat sudah memperhatikan keterwakilan kelompok suku ini sepanjang
suatu distrik/kecamatan memiliki jumlah penduduk yang setara dengan tiga atau
lebih kursi DPRD kabupaten. Keterwakilan ini dijamin dengan menetapkan
distrik/kecamatan yang mendapat alokasi tiga atau lebih kursi menjadi suatu
dapil DPRD kabupaten. Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2001-2007
mengadopsi kebijakan kisaran 6-12 kursi sebagai besaran dapil, tetapi untuk
Papua ada perkecualian.
Persoalan Yahukimo dan Pegunungan Bintang
bukan produk KPU, melainkan produk UU Pembentukan Kabupaten Yahukimo dan
Kabupaten Pegunungan Bintang. Suku bangsa yang tinggal di suatu distrik yang
seharusnya masuk dalam wilayah Kabupaten Yahukimo justru dimasukkan ke dalam
wilayah Kabupaten Pegunungan Bintang. Akan tetapi, suku Badui Luar tak terwakili
di DPRD Kabupaten Lebak, Banten, karena dua kecamatan yang sebagian besar
penduduknya suku Badui Luar dipisah menjadi bagian dari dua dapil. Karena
prinsip keterwakilan ini tak dijamin dalam UU Pemilu, dapat diduga cukup
banyak dapil yang justru menjadi penyebab kelompok minoritas tak terwakili di
DPRD kabupaten.
Kelima, jumlah kabupaten/kota dalam suatu
dapil yang terlalu banyak merupakan faktor lain yang menjadi alasan lain
untuk menata ulang alokasi kursi dan dapil. Dapil II DPR Sumut, misalnya,
terdiri atas 19 kabupaten/kota, mulai dari Pulau Nias yang sudah mekar
menjadi empat kabupaten dan satu kota, Tapanuli Utara yang sudah mekar
menjadi empat kabupaten, dan Tapanuli Selatan yang telah mekar menjadi empat
kabupaten dan satu kota, Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga sampai
pada Kabupaten Asahan dan Kabupaten Batubara. Papua sebagai satu dapil DPR
terdiri atas 28 kabupaten dan satu kota. Dua dapil DPR terbesar di Indonesia
ini diberikan sebagai contoh untuk menggambarkan betapa sukar bagi wakil
rakyat mengunjungi dan berkomunikasi dengan dapil yang seluas itu. Prinsip
dapil dalam batas dapat diwakili ini tidak ada dalam UU Pemilu.
Dan keenam, faktor kehendak mereformasi partai
dan sistem kepartaian merupakan faktor lain yang menjadi alasan mengapa
penataan alokasi kursi dan dapil perlu dilakukan. Memperkecil besaran dapil
DPR dan DPRD menjadi 3-6 kursi (dari 3-10 untuk DPR dan 3-12 untuk DPRD
sekarang ini) merupakan cara yang paling efektif untuk mereformasi partai dan
sistem kepartaian. Besaran dapil DPR selama ini termasuk kategori Dapil
Berwakil Tingkat Medium (Medium Multi-member Constituency)-70 dari 77 dapil
DPR mendapat alokasi 6-10 kursi-sehingga relatif lebih mudah memperoleh
kursi. Besaran Dapil DPRD juga demikian.
Besaran dapil ini perlu diperkecil menjadi 3-6
kursi atau Dapil Berwakil Sedikit (Small Multi-Member Constituency) sehingga
makin sukar memperoleh kursi. Besaran dapil sebesar 3-6 kursi akan memaksa
partai untuk berkompetisi/bersaing menawarkan program tentang kemaslahatan
publik (berlomba menawarkan kebaikan). Makin kecil besaran dapil, makin sukar
memperoleh kursi. Makin sukar mendapatkan kursi, makin tinggi perhatian
partai terhadap anggota dan simpatisan. Makin mudah partai mendapatkan kursi,
perhatian dan kepedulian partai kepada anggota dan simpatisan cenderung
terbatas menjelang pemilu saja.
Karena itu, kebijakan memperkecil besaran
dapil menjadi 3-6 kursi juga dimaksudkan untuk menyederhanakan jumlah partai
yang dominan menjadi Sistem Kepartaian Pluralisme Moderat (multipartai
sederhana). Akan tetapi, memperkecil besaran dapil berarti memperkecil
derajat keterwakilan. Persoalan ini dapat diatasi dengan menetapkan parpol
untuk mewakili dapil jika mendapat kursi di dapil tersebut. Parpol sebagai
peserta pemilu anggota DPR dan DPRD memang seharusnya berfungsi mewakili
dapil DPR dan DPRD. Parpol lebih efektif mewakili dapil daripada anggota
Dewan. Apabila tujuan reformasi partai dan sistem kepartaian disepakati, maka
memperkecil besaran dapil niscaya memerlukan penataan ulang alokasi kursi dan
pembentukan dapil. Tindakan memperkecil besaran dapil, berarti menambah
jumlah dapil dengan segala konsekuensinya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar