Pilkada
dan Keindonesiaan Kita
Siswono Yudo Husodo ;
Ketua Pembina Yayasan
Universitas Pancasila
|
KOMPAS, 31 Oktober
2016
Oktober tahun ini genap 11 windu Sumpah
Pemuda. Waktu yang tepat untuk kontemplasi keindonesiaan kita. Semua pihak harus
menyadari bahwa masyarakat Indonesia yang ada hari ini adalah penerus dan
kelanjutan dari masyarakat yang dicita-citakan oleh para pemuda pada tahun
1928 tentang sebuah bangsa baru, yang sangat heterogen, terdiri dari banyak
suku, bahasa, budaya, agama, dan kepercayaan, yang bernama bangsa Indonesia.
Bangsa dan negara ini tidak akan lahir tanpa visi
kebangsaan yang sangat kuat. Visi itu sangat terasa ketika ruang hidup bangsa
ini disebut dengan ”Tanah-Airku”.
Para pendiri bangsa dan negara ini jelas ingin
membangun sebuah negara Indonesia yang dimiliki semua orang Indonesia. Semua
orang Indonesia, tanpa membedakan latar belakangnya, berhak untuk hidup dan
berkembang di mana pun di dalam wilayah Tanah Air-nya.
Bung Karno, menyitir Ernest Renan, mengatakan
bahwa sebuah bangsa adalah satu jiwa, satu spirit yang sama, karena sejatinya
yang jadi pengikat suatu bangsa adalah kehendak untuk hidup bersama.
Sementara Otto Bauer mengatakan, bangsa adalah satu persatuan karakter, satu
watak, di mana persatuan karakter atau watak ini lahir dan tumbuh karena
persamaan pengalaman. Bung Karno kemudian mendefinisikan bangsa sebagai
”segerombolan manusia yang besar, kerasia punya keinginan bersatu, keras ia
punya persamaan watak, yang hidup di atas satu wilayah yang nyata”.
Mengakui yang menang,
menghargai yang kalah
Sebagai suatu negara-bangsa, di bidang politik
kita layakbersyukur karena berhasil mereformasi diri jadi negara demokrasi
terbesar ketiga di duniasetelah India dan Amerika Serikat. Kita percaya
demokrasi adalah sistem terbaik untuk membawa kemajuan bagi bangsa dan
negara.
Indonesia yang luas daratannya 1.919.4431
kilometer persegi dan 3.257.357 kilometer persegi lautan dikelola oleh
pemerintah pusat di bawah seorang presiden dengan 34 provinsi, 416 kabupaten,
98 kota, 6.793 kecamatan, 81.253 kelurahan, dan 72.944 desa. Oleh karena itu,
setiap lima tahun masyarakat Indonesia secara langsung memilih presiden-wakil
presiden, gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, atauwali kota-wakil
wali kota. Juga memilih anggota DPR, DPD,DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota;
juga memilih kepala desa.
Dalam banyak pemilu/pilkada, ditengarai
terjadi politik uang, kampanye hitam, gugatan seusainya pilkadabahkan
pembakaran kantor pemda/KPU daerah, karena salah satu pihak menganggap
pilkada tidak jujur dan tidak adil (yang kemudian terungkap setelah
penangkapan Ketua MK Akil Mochtar oleh KPK bahwa di beberapa daerah ada
putusan MK mengenai sengketa pilkada yang ditentukan dengan uang). Juga belum
jadi kebiasaan calon yang kalah menyampaikan pidato ucapan selamat dan
mengakui kekalahannya. Pendukung kandidat yang menang juga belum biasa
menyampaikan penghargaan kepada yang kalah dan pendukung kandidat yang kalah
belum biasa menyampaikan selamat kepada yang menang. Kondisi ideal sikap
masyarakat itu harus diawali oleh terselenggaranya pemilu/pilkada yang
bebas,rahasia, jujur, adil, dan transparan.
Jika dicermati, di setiap daerah, gesekan
politik terasa lebih keras bila menyangkut kompetisi memperebutkan posisi
politik di tingkat daerah ketimbang di tingkat nasional.
Pada tahun 2017 akan ada pilkada serempak di
101 provinsi/ kabupaten kota, termasuk diibu kota negara,Jakarta.
Karenakomposisi penduduknya yang lengkap,mewakili semua unsur kebinekaan
Indonesia, Jakarta adalah potret Indonesia kecil. Gubernur DKI Jakarta juga
memiliki hak protokoler setingkat menteri, suatu hal yang tak dimiliki
gubernur lainnya. Tokoh- tokoh elite politik nasional, jugasemua media massa
besar, ada di Jakarta. Itulah Jakarta, pusat dinamika politik nasional.
Akibatnya, gaung pilkada DKI yang semarak itumenasional, menjadi perhatian
semua orang Indonesia di segenap penjuru negeri. Mengingat strategisnya nilai
politik di Ibu Kota, persaingan akan keras sekali.
Pemilihan umum (presiden dan legislatif),
serta pilkada yang berlangsung rutin lima tahun sekali, termasuk pilkada
Jakarta, haruslah menjadi sarana penting bagi pendidikan politik serta
memantapkan keindonesiaan kita sebagai bangsa yang majemuk. Akhir-akhir ini,
media sosial dipenuhi berita-berita pilkada DKI. Masing-masing menjagokan
calonnya dan menjatuhkan lawannya. Sayangnya, di sana-sini terselip fitnah
dan caci maki yang merusak pendidikan politik.
Sesungguhnya rakyat Jakarta beruntung
mendapatkan tiga pasangan calon yang muda-muda dan energik pada Pilkada DKI
2017. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (50 tahun)-Djarot Saiful Hidayat
(54), pasangan berlatar belakang Tionghoa-Belitung dan Jawa; politisi dengan
gebrakan pembangunan yang spektakuler serta pukulan keras pada praktik
korupsi di DPRD DKI Jakarta. Ahok telah dua kali ikut pilkada Belitung Timur;
satu kali pemilu legislatif), DPR; dan satu kali pilkada DKI Jakarta. Djarot
dua kali ikut pilkada wali kota Blitar; satu kali ikut pileg, DPR; dan satu
kali pileg di tingkat DPRD.
Kedua, Anies Baswedan (47)-Sandiaga Uno (47), gabungan
akademisi dengan pengusaha yang santun, yang masing-masing telah mencapai
karier tertinggi di bidangnya. Anies pernah menjabat rektor di Universitas
Paramadina dan pernah menduduki jabatan Mendikbud. Sandiaga Uno, pengusaha
muda yang sukses dan sempat menjadi Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda
Indonesia (Hipmi).
Ketiga, pasangan Agus Harimurti Yudhoyono
(38)-Sylviana Murni (58), kombinasi militer dan PNS karier di Pemprov DKI.
Agusberpangkat mayordengan lingkup kepemimpinan di tingkat batalyon adalah
tokoh yang menonjol pada tingkatnya, dan di jenjang pendidikannya, di dalam
dan di luar negeriselalu mencapai prestasi terbaik. Sylviana Murni, PNS yang
menguasai seluk-beluk birokrasi, sudah mencapai pangkat tertinggi di
lingkungan PNS (eselon I), sempat menjabat Wali Kota Jakarta Selatan dan
Deputi Gubernur.
Dalam demokrasi, orang boleh senang dan
memilih tokoh tertentu dengan kadar yang biasa sampai yang fanatik. Boleh tak
senang dan tak memilih tokoh tertentu, juga dari kadar yang biasa sampai
fanatik. Yang tak boleh adalah fitnah, anarki, dan menghasut untuk berbuat
destruktif.
Dalam kasus pilkada DKI Jakarta, bisa
diperkirakan Ahok punya kelompok pendukung yang fanatik karena gebrakannya,
tetapi juga punya oposisi yang fanatik karena kebijakannya melawan
kepentingan-kepentingan tertentu; juga karena iaterlalu kasar, kerap
menyakiti atau diyakini sekelompok masyarakat haram untuk dipilih. Sementara
pasangan Anies dan Sandiaga relatif tidak punya oposisi yang fanatik karena
kesantunannya. Tetapi juga belum tampak ada pendukung yang fanatik karena
rekam jejaknya pada masa lalu belum dikenal masyarakat. Agus Harimurti dan
Sylviana Murni juga belum memiliki pendukung fanatik. Juga tidak punya
kelompok oposan fanatik.
Buang sentimen dan
kebencian
Guna meningkatkan kualitas demokrasi, kita
perlu bekerja keras menjadikan pilkada DKI Jakarta yang sedang mendapatkan
sorotan publik nasional ini menyenangkan;membalik tren yang sedang berkembang
belakangan ini di mana penyebarluasan berita hoax, fitnah, dan kampanye hitam
dengan cepat menyebar dalam jaringan sosial media. Secara umum, kehidupan
politik negeri ini perlu terus dipelihara agar semakin demokratis, tetapi
jangan membiarkan berkembangnya kebencian. Jika dibiarkan, gesekan-gesekan
yang terjadi dalam pemilu dan pilkada yang berlangsung rutinbisa membahayakan
persatuan nasional.
Sebaiknyalah pada setiap pilkada yang
berlangsung tidak diwarnai sentiment yang berlebihan untuk saling
menjatuhkan. Apalagi diwarnai tema, pilihlah putra daerah atau orang seiman,
yang berbeda dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Sepatutnyalah meletakkan penilaian
kepantasan seseorang untuk memimpin pada ukuran-ukuran yang umum mengenai
integritas, intelektualitas, kapabilitas, dan akuntabilitas, yang sesuai
dengan konstitusi, khususnya Pasal 27: ”Setiap warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan...”. Negara kita bukan Lebanon
yang mengavling-ngavling jabatan politik berdasarkan aliran agama dan
politik: Kristen Maronit, Phalangist, Druze, Islam Sunni, dan Islam Syiah.
Menurut hemat saya, keindonesiaan kita akan
tuntas jika seorang kiai dari Aceh yang sangat mengenal Bali, dicintai rakyat
Bali, menjadi gubernur Bali; seorang pedanda Hindu dari Bali yang sangat
memahami Banten, dicintai rakyat Banten, menjadi gubernur Banten; seorang
pendeta dari Papua yang sangat mengenal Aceh, dicintai rakyat Aceh, menjadi
gubernur Aceh; seorang ulama suku Sasak yang sangat mengenal Sulawesi Utara,
dicintai rakyat Sulawesi Utara, menjadi gubernur Sulawesi Utara; seorang
cendekiawan Muslim orang Minang yang sangat paham Nusa Tenggara Timur,
dicintai rakyat NTT, menjadi gubernur NTT; seorang Katolik dari Flores yang
sangat mengenal Kalimantan Selatan, dicintai rakyat Kalimantan Selatan,
menjadi gubernur Kalimantan Selatan.
AS memerlukan lebih dari 180 tahun setelah
merdeka baru bisa memiliki Presiden John F Kennedy, seorang Katolik di
masyarakat Protestan dan memerlukan lebih 230 tahun setelah merdeka baru
memiliki Presiden Barack Obama yang berkulit hitam di mayoritas kulit putih
yang sangat dominan.
Kita melihat dengan penuh kebanggaan, pada
masa lalu Suwarna orang Sunda menjadi Gubernur Kalimantan Timur dan Kaltim
maju; Mohammad Noor, orang Madura, minoritas di Jawa Timur, menjadi gubernur
legendaris di Jawa Timur. Ali Sadikin, orang Sunda menjadi gubernur
legendaris di tanah Betawi. Lalu ada Ali Hasbi, orang Aceh, jadi Bupati
Boyolali; Sitorus seorang Batak-Kristen menjadi Bupati Cilacap; dan Hasan
Slamet, orang Banten-Muslim menjadi Gubernur Maluku yang mayoritasnya
Kristen. Panglima Kodam Siliwangi pertama adalah Jenderal AH Nasution, orang
Batak; rektor Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta yang legendaris pernah
dijabat Prof Herman Johannes, orang Rote, NTT, dan Prof Teuku Jacob, orang
Aceh.
Saya optimistis akan datangnya waktu di mana
setiap orang Indonesia akan punya kesempatan yang sama untuk meraih setiap
jabatan publik di negeri ini. Semoga...
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar