Memberantas
Pungli
Abraham Fanggidae ;
Pensiunan Pembina Utama (IV/e)
Kementerian Sosial
|
KOMPAS, 01 November
2016
”Pungli Rp 10.000 pun akan saya babat habis.”
Demikian pernyataan Presiden Joko Widodo menjawab kritik atas kehadirannya dalam
operasi tangkap tangan Polda Metro Jaya di Departemen Perhubungan, pekan
lalu.
Artikel Harris Turino berjudul ”Pungli, Apakah
Bisa Diberantas?” (Kompas, 17/10) antara lain menyatakan, pemberantasan
pungutan liar (pungli) harus diimbangi sistem penggajian yang layak. Bagi
saya, memberantas pungli dengan solusi meningkatkan gaji aparatur sipil
negara/pegawai negeri sipil (ASN/PNS), Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian
Negara Republik Indonesia (TNI/Polri) sesuatu yang hampir mustahil di negeri
ini.
Pada era pemerintahan Orde Baru, kita pernah
punya Menteri Pembinaan Aparatur Negara (Menpan) JB Sumarlin. Pak Marlin
suatu hari inspeksi mendadak (sidak) ke salah satu Kantor Perbendaharaan
Negara (KPN) di Jakarta. Menpan mendengar ada keluhan instansi pemerintah
ataupun kontraktor yang mencairkan uang di KPN. Mereka wajib menyetor
sejumlah uang kepada oknum PNS di KPN. Instansi KPN sempat kesohor sebagai
”sarang” pungli.
Dalam sidak, Pak Marlin menyamar sebagai
masyarakat biasa, menggunakan nama samaran ”Sidik”. Banyak pegawai KPN yang
tak mengenali wajah Menpan. Sidak Pak ”Sidik” memberikan hasil positif,
terbukti benar terjadi pungli di KPN. Beberapa pelanggan KPN mengakui jadi
obyek pungli kepada Menpan.
Memprihatinkan perilaku oknum PNS di KPN pada
rezim Orde Baru. Mereka berani melakukan pungli kepada PNS instansi lain saat
mengurus pencairan gaji atau rapelan gaji PNS. Padahal, saat itu gaji PNS
Departemen Keuangan sudah besar, delapan kali lebih besar ketimbang gaji PNS
dan ABRI.
Jokowi mengatakan, ”pungli membuat susah
banyak orang”, memang tepat. Pungli dalam birokrasi pemerintah ibarat epidemi
penyakit sehingga tidak mudah menyembuhkannya seperti resep yang ditulis
Haris Turino: ”Harus disadari bahwa pemberantasan pungli harus diimbangi
dengan sistem penggajian yang layak”.
Negara ”lunak”
Epidemi pungli sudah masuk, akut, dan
menginfeksi tubuh sebagian oknum birokrat sipil, TNI/Polri, dari pusat hingga
ke daerah. Karena pelaku pungli adalah penyelenggara negara, kondisi
birokrasi pemerintahan Indonesia bisa dicap masih tergolong ”negara lunak”,
meminjam istilah Gunnar Myrdal, ekonom Swedia. Myrdal mengatakan, di ”negara
lunak”, korupsi merajalela dalam birokrasi pemerintahan sehingga menghambat
pembangunan ekonomi. Dalam penelitiannya, Myrdal menggunakan pendekatan
kelembagaan yang menukik pada layanan birokrasi pemerintahan pada beberapa
negara di Asia Selatan.
Wujud ”negara lunak” hingga kini masih eksis.
Penyelenggara negara pelaku pungli tak sebatas urusan izin usaha. Pungli
dipraktikkan pada banyak urusan, pada saat perekrutan ASN/PNS, calon prajurit
TNI/Polri, juga usulan kenaikan pangkat dan jabatan.
Penyebab utama pungli dan korupsi yang masif
dan marak dalam birokrasi pemerintahan bukan sistem penggajian yang belum
memadai bagi ASN/PNS, prajurit TNI/Polri. Maka, meningkatkan gaji
penyelenggara negara bukan resep jitu memberantas pungli dan korupsi.
Gayus Tambunan, pegawai struktural dari Ditjen
Pajak dengan golongan ruang gaji III/cadalah salah satu pelaku pungli melalui
instansinya. Gayus menyabet uang miliaran rupiah, yang menjadikannya ASN/PNS
golongan III yang kaya raya.
Gayus pungli dan korupsi bukan lantaran gaji
kecil sebab hingga saat ini gaji dan tunjangan ASN Kementerian Keuangan
memiliki standar yang jauh lebih besar ketimbang ASN, anggota TNI/Polri pada
kementerian/ lembaga (K/L) di luar Kementerian Keuangan.
Runtuhlah pandangan bahwa pemicu pungli dan
korupsi karena faktor gaji. Justru faktor moral dan tanggung jawab
penyelenggara negara bersangkutan merupakan pemicu pungli dan korupsi.
Gaji dan tunjangan kinerja ASN Pemprov DKI
Jakarta sudah besar, bahkan berlebihan, ketimbang K/L yang lain. Gaji lurah
bisa mencapai Rp 30 jutaan tiap bulan. Gaji sarjana golongan III/a mencapai
Rp 13 juta. Gaji pejabat eselon IIA dengan take home pay Rp 40 juta-Rp 50
juta tiap bulan. Bandingkan dengan gaji seorang ASN bergelar sarjana golongan
III/a pada K/L di Jakarta, tidak lebih dari Rp 5 juta sebulan.
Sutiyoso, mantan Gubernur DKI, pernah
mengatakan, ASN DKI Jakarta ”buas” sehingga gubernur DKI Jakarta harus lebih
buas. Maksud Sutiyoso, gubernur DKI harus keras, tegas, bahkan galak
memberikan hukuman setimpal agar ASN takut melakukan korupsi dan pungli.
Tanggung jawab
Pemerintah tentu berikhtiar dan siap
meningkatkan kesejahteraan penyelenggara negara. Pemerintahan Jokowi-Kalla
mencanangkan tunjangan hingga Rp 50 juta. THR dengan gaji bulan ke-14 sudah
diwujudkan,juga pembangunan rumah bagi ASN yang bertugas di wilayah terdepan,
sudah ada Jaminan Kematian (JKM) dan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Tiap
bulan menerima tunjangan beras dalam bentuk uang dengan indeks harga pasar
beras kualitas terbaik. Apalagi yang kurang? Namun, beberapa penyelenggara
negara tetap saja nekat melakukan pungli saat Jokowi baru saja menyatakan
perang melawan pungli.
Prof Driyarkara mengatakan, moral atau
kesusilaan adalah perkembangan manusia yang sebenarnya. Tumbuhan dan hewan
tidak bisa mengambil sikap. Tidak demikian dengan manusia, dia bisa (dan ini
keharusan) menerima dan menjalankannya. Manusia bisa menentukan sikap yang
sebenarnya. Sikap itu tidak boleh untuk sementara waktu, tetapi untuk
selamanya.
Sikap itu harus dijadikan darah dan daging.
Emoh terhadap maksiat, pungli, korupsi, sanggup menjalankan tuntutan moral,
dan siap sedia untuk kebaikan, itulah sikap yang harus ditanam. Tentang
tanggung jawab, menurut Driyarkara, antara lain, dalam kesadaran untuk
tanggung jawab, orang sadar kemerdekaannya. Orang sadar bahwa dia bisa
berbuat jika dia mau, dan bisa tidak berbuat jika dia tidak mau.
Sikap tanggung jawab adalah pendirian, membuat
seseorang sanggup mempergunakan kemerdekaannya hanya untuk melaksanakan
kebaikan (Karya Lengkap Driyarkara : 2006).
Bagi penyelenggara negara kita saat ini hingga
sepuluh tahun ke depan, gaji besar bukan jaminan, bahkan mustahil bagi siapa
pun penyelenggara negara untuk tidak pungli dan korupsi. Justru titik
terpenting dalam pemberantasan pungli dan korupsi adalah tiap penyelenggara
negara berkewajiban berbuat kebaikan dalam tugas, bukan sebaliknya. Prinsip
Jokowi tentang kualitas penyelenggara negara sudah benar: ”Bukan hanya
kompetensi bagus, tetapi rekrut dan promosikan pejabat yang berkomitmen untuk
tidak pungli dan tidak korupsi. Ketentuan seperti ini menutup pintu bagi
calon untuk menyogok. Birokrasi akan memperoleh calon yang kompeten dan siap
bersih”.
Jokowi telah membuat tipping point memberantas
pungli, diikuti dengan langkah konkret yang sistemik melalui penerbitan
Perpres Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) yang bisa
dilakukan dengan sejumlah cara. Bahkan, Pasal 4 Huruf d dalam perpres
memungkinkan satgas melaksanakan operasi tangkap tangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar