Kemudahan
Berbisnis Membaik, tetapi..
A Tony Prasetiantono ;
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik UGM, Yogyakarta
|
KOMPAS, 31 Oktober
2016
Bank Dunia baru saja merilis peringkat tahunan
mengenai kemudahan berbisnis (ease of
doing business) di 190 negara. Peringkat ini berdasarkan survei terhadap
para pemangku kepentingan. Hasilnya, Indonesia termasuk negara yang
peringkatnya naik tajam, dari peringkat ke-109 (2016) menjadi ke-91 (2017).
Ada lima negara yang peringkatnya naik secara dramatis, yakni Brunei,
Kazakhstan, Kenya, Belarus, dan Indonesia. Sementara itu, Selandia Baru,
untuk pertama kali dalam satu dasawarsa terakhir, mengambil alih Singapura
sebagai negara yang paling mudah dalam berbisnis (Jakarta Post, 27/10/16).
Membaiknya peringkat Indonesia ini didukung
kian mudahnya dalam: (1) membuka atau memulai usaha baru; (2) mendapatkan
pasokan listrik; (3) mengurus perizinan properti; (4) memperoleh kredit bank;
(5) mengurus pajak; (6) perdagangan internasional; dan (7) menjalankan
kontrak bisnis dengan baik. Hal ini tampaknya berkaitan dengan langkah
pemerintah yang getol mendorong percepatan pembangunan infrastruktur dan
peluncuran 13 paket deregulasi di sejumlah sektor.
Di satu hal, pencapaian ini tentu
menggembirakan. Namun, di sisi lain, masih banyak yang harus dikerjakan
karena peringkat ke-91 masih jauh dari target Presiden Joko Widodo yang
menginginkan peringkat ke-40. Indonesia pun masih tercecer dibandingkan
dengan negara-negara tetangga: Singapura (2), Malaysia (23), Thailand (46),
Brunei (72), dan Vietnam (82). Kita hanya lebih baik daripada Filipina (99),
Papua Niugini (119), Kamboja (131), Laos (139), Myanmar (170), dan
Timor-Leste (175).
Cukup mengejutkan juga bahwa Tiongkok, negara
berkekuatan ekonomi nomor dua di dunia, ternyata hanya ada di peringkat
ke-78. Adapun Amerika Serikat di peringkat ke-8. Jika disorot lebih detail
untuk kasus Indonesia, Bank Dunia menemukan bahwa Yogyakarta merupakan kota
terbaik untuk memulai bisnis, Balikpapan menjadi kota terbaik untuk mengurus
izin konstruksi, serta Jakarta dan Bandung merupakan kota terbaik untuk
mendaftarkan properti. Cukup ironis, Jakarta hanya peringkat ke-8 untuk
memulai bisnis dan peringkat ke-19 untuk perizinan properti.
Masalahnya, hasil survei itu tidak sinkron
dengan situasi perekonomian kita saat ini. Pertumbuhan ekonomi tahun ini
diperkirakan 5 persen (2016) dan sedikit beranjak ke 5,1 persen tahun depan.
Isu perbaikan dalam kemudahan mendapatkan kredit bank, sebagaimana laporan
Bank Dunia, ternyata justru tidak tecermin pada pertumbuhan kredit bank yang
tahun ini diperkirakan hanya 8 persen. Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya,
ekspansi kredit selalu di atas 10 persen, bahkan mencapai 20-30 persen pada
tahun- tahun sesudah krisis ekonomi global 2008-2009.
Bagaimana penjelasannya?
Pertama, pada dasarnya peringkat itu disusun
berdasarkan persepsi pelaku bisnis dan pemangku kepentingan dalam melihat
prospek berbisnis pada 2017. Artinya, saat ini memang mulai tumbuh persepsi
positif mengenai kemudahan menjalankan bisnis di Indonesia. Namun, tidak
berarti benar-benar sudah terimplementasikan dengan baik.
Paket deregulasi yang sudah diluncurkan,
misalnya, memang menimbulkan harapan. Namun, apakah benar-benar telah
berhasil diimplementasikan dengan baik? Belum tentu. Jalan masih panjang
menuju ke sana. Presiden Jokowi dan para menteri masih harus rajin mengecek
di lapangan untuk memastikan, apakah deregulasi (normatif) itu bisa
tereksekusi dengan baik (positif)?
Dengan kata lain, bisa saja persepsi positif
mengenai kemudahan berbisnis di Indonesia berubah pada survei tahun depan
jika pemerintah tidak bisa menggaransi bahwa 13 paket deregulasi itu
benar-benar efektif. Pemerintah harus mengawal dan memastikannya.
Kedua, di sektor perbankan, kemudahan
mengakses kredit bank bukanlah hal yang berdiri sendiri. Meskipun bank telah
membuka pintu kredit lebar-lebar, permintaan kredit masih rendah. Bagaimana
mungkin ekspansi kredit dilakukan? Permintaan kredit juga dipengaruhi harga
komoditas di pasar global yang masih rendah.
Ketika bisnis batubara terpukul, ternyata
dampak negatifnya ke mana-mana, misalnya menurunkan permintaan otomotif,
properti, bahkan berpengaruh pada bisnis makanan dan minuman.
Meski demikian, saya merasa hasil survei Bank
Dunia itu benar adanya. Ada persepsi positif yang meningkat dalam berbisnis
di Indonesia. Ada tekad kuat dari pemerintah untuk mengakselerasi pembangunan
infrastruktur yang akan bermuara pada kenaikan efisiensi dan produktivitas.
Namun, kendalanya masih banyak, misalnya pembebasan lahan yang sulit dan
mahal.
Sementara itu, Presiden Jokowi juga masih
gemas dengan waktu tunggu kontainer untuk dikapalkan di Pelabuhan Tanjung
Priok, Jakarta. Meski harus terus diupayakan perbaikan, secara alamiah
Tanjung Priok tetap memiliki ambang kejenuhan.
Akhirnya, hasil survei Bank Dunia memang
meniupkan optimisme. Namun, itu tidak berarti "bulan madu". Sebab,
masih banyak hal yang harus dikejar dan ditagih, yakni apakah 13 paket
deregulasi bakal efektif? Lalu, apakah pembangunan infrastruktur bisa
terhindar dari kendala lahan dan tekanan fiskal? Ini tidaklah gampang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar