Sumpah
Kreatif Pemuda
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Psikologi UI,
Universitas Pancasila, Universitas Persada Indonesia YAI, dan STIK/PTIK
|
KORAN SINDO, 30 Oktober
2016
Malam itu Dinda pulang dengan wajah ceria.
Ketika ditanya mamanya, dia bercerita bahwa dia baru pulang dari acara sebuah
sekolah (SMA, bukan sekolah Dinda) yang kreatif banget.
Ada band-band dan penyanyi-penyanyi kondang,
ada pameran karya-karya seni anak-anak sekolah itu sendiri, panitianya
mengenakan pakaian yang didesain asyik banget, semuanya dengan gaya kekinian.
Pokoknya Dinda puas banget deh, dari siang sampai malam, bersama
teman-temannya (semuanya lepas jilbab, yang di sekolahnya sendiri wajib pakai),
menikmati acara demi acara di sekolah yang menurut Dinda dan teman-temannya
seru banget itu.
Mamanya kemudian bertanya, “Memangnya di
sekolahmu sendiri tidak pernah dibuat acara seperti itu?” “Pernah mau
dibikin, sudah dibentuk panitia, tetapi akhirnya gak jadi,” jawab Dinda.
“Abis guru-gurunya rese, bukannya mendukung malah mempersulit,” imbuhnya.
Contohnya panitia mau bikin koreografi untuk mengiringi penyanyi yang
diundang dari luar. Penari-penari latar itu cowok semua, tetapi bercelana
pendek ketat, waktu latihan langsung disuruh pakai sarung karena dianggap
kurang pantas. Penyanyinya yang kebetulan memakai anting dan bertato disuruh
copot anting dan pakai kemeja lengan panjang.
Penyanyi itu menolak, langsung pulang, dan
akhirnya pentas dibatalkan, padahal panitia sudah bayar uang muka dari dana
yang mereka kumpulkan sendiri. Usulan lain untuk mengadakan acara di car free
day juga ditolak karena terlalu jauh dari sekolah. Sulit mengontrolnya.
Akhirnya guru-guru mengusulkan kenapa gak bikin acara lomba baca Alquran
saja? Kan lebih Islami? Tentu saja Dinda dan teman-temannya di panitia
menolak. Apa serunya? Siapa yang mau nonton? Akhirnya panitia membubarkan
diri dan angkatan Dinda tidak jadi bikin acara sekolah, deh.
Yang lebih menyebalkan lagi di sekolah itu,
menurut Dinda, adalah guru agama yang setiap ngajar, yang dikatakannya tidak
lain adalah bahwa Kristen itu kafir karena sudah dinyatakan dalam Alquran,
sama seperti bahwa babi itu haram. Bahkan Dinda pernah ditegur oleh seorang
bapak gara-gara dia menyeruput kopi Starbucks sambil menunggu lift.
Bapak itu (mungkin pengurus Yayasan, kata
Dinda) menyuruh buang minuman yang sedang diseruputnya karena katanya minuman
itu pro-gay. Dinda juga bukan orang yang pro-gay, tetapi dia minum karena
kepengin saja, tidak ada hubungannya dengan gay. Jadi dia minum saja terus
dengan santai sampai lift datang. Bapak itu masuk lift, Dinda nunggu lift
yang berikutnya.
Di Indonesia, banyak sekali sekolah (biasanya
sekolah-sekolah swasta) yang mempunyai misi tertentu, yang terbanyak memang
yang membawa misi agama seperti sekolah Dinda dalam contoh di atas, tetapi
juga ada yang membawa misi lain seperti SMA yang bertujuan untuk mencetak
calon-calon taruna di akademi-akademi TNI atau kepolisian sehingga cara mendidiknya
pun sangat militeristik. Terlepas dari misinya, yang penting adalah jangan
sampai sekolah memasung kreativitas murid-muridnya. Dalam dunia yang berubah
serbacepat ini, kemampuan berpikir kreatif jauh lebih penting daripada
kecerdasan (IQ), apalagi ketaatan tanpa dipikir.
Di militer, ketaatan kepada atasan merupakan
hal yang penting, khususnya pada anggota bawahan (pangkat prajurit atau
Bintara), tetapi untuk perwira harus lebih banyak dilatih pemikiran yang
kreatif untuk bisa memecahkan persoalan yang dihadapi. Kreativitas adalah
melihat berbagai kemungkinan solusi atau pengembangan dari satu masalah yang
ada. Adapun kecerdasan (IQ) adalah kemampuan untuk menentukan satu jawaban
yang benar dari suatu masalah.
Misalnya semua orang yang terpelajar sehingga
pandai tahu bahwa untuk menulis di kertas diperlukan bolpoin. Tapi orang yang
kreatif bisa menemukan belasan atau bahkan puluhan kegunaan lain dari bolpoin
seperti untuk membuka aqua gelas yang tertutup plastik yang sulit dibuka atau
untuk mengorek kuping atau mengganjal komputer meja yang kakinya
bergoyanggoyang atau isi bolpoin bisa untuk mencutik benda kecil tertentu
yang berharga, yang kebetulan jatuh dan terselip di sela-sela meja dan
seterusnya.
Dengan perkataan lain, kalau kecerdasan adalah
berpikir mengerucut (konvergen), kreativitas adalah berpikir melebar
(divergen). Berpikir divergen atau menjajaki berbagai kemungkinan adalah
paradigma berpikir yang sekarang harus dikuasai generasi muda untuk
menyongsong berbagai soal dan perubahan yang sedang dan masih akan terjadi.
Bagaimana menghadapi perubahan iklim yang makin lama makin ekstrem? Bagaimana
menemukan BBM alternatif yang makin lama makin berkurang persediaannya di
dalam bumi?
Bagaimana menyikapi kemajuan teknologi
komunikasi yang membuat anak kecil bisa melihat pornografi dari HPnya dan
kaum radikal bisa menyusupkan ideologinya untuk menghilangkan Pancasila?
Bagaimana kita mengatasi ledakan kependudukan yang mengancam ketahanan pangan
bangsa ini? Dan masih banyak lagi yang semuanya harus dipecahkan dengan
kreativitas, bukan dengan ketaatan tanpa alasan yang jelas seperti melarang
siswa untuk minum Starbucks.
Dalam memperingati Hari Sumpah Pemuda 28
Oktober 2016, kita harus menyiapkan lebih banyak generasi muda yang kreatif
walaupun tidak terlalu pintar daripada pemuda-pemuda pintar tetapi seperti
robot-robot yang hanya mengikuti perintah saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar