Mendudukkan
Makna Pengaruh
Farouk Muhammad ;
Wakil Ketua DPD RI
|
KOMPAS, 31 Oktober
2016
Istilah trading
in influence yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi
”memperdagangkan pengaruh”, selama beberapa waktu terakhir menjadi
pembicaraan publik. Ini terutama sejak KPK menggunakannya untuk memperkuat
sangkaan kepada tersangka tindak pidana korupsi.
Dalam kasus aktual operasi tangkap tangan
(OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas Ketua DPD Irman Gusman, Ketua
KPK Agus Rahardjo tegas menyebut apa yang dilakukan Irman Gusman termasuk
”memperdagangkan pengaruh”.
Istilah ”memperdagangkan pengaruh” sendiri tidak
kita temukan dalam UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
ataupun UU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tapi terdapat dalam United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC), khususnya merujuk Pasal 18, yang telah diratifikasi
oleh Indonesia dengan UU No 7/2006.
”Dagang pengaruh”
Ahli hukum berbeda pendapat soal penerapan
klausul trading in influence sesuai Pasal 18 UNCAC. Sebagian ahli menyatakan
dapat langsung diberlakukan dan sebagian lain menyatakan bahwa trading in
influence UNCAC dalam UU No 7/2006 ini belum dapat diimplementasikan karena
belum dijabarkan lebih lanjut dengan perundangan organik. Atas alasan ini,
sejumlah pihak, seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), menginisiasi wacana
perubahan UU Tipikor dan/atau RUU KUHP dengan memasukkan pasal
”memperdagangkan pengaruh” ini.
KPK sendiri tidak pernah menjadikan trading in
influence sebagai rujukan utama untuk menersangkakan seseorang meski kerap
mengaitkan kasus tipikor dengan klausul ini. Meski demikian, perlu dicermati
dengan saksama karakteristik delik trading in influence berbeda dengan delik
suap (bribery).
Oleh karena itu, mengaitkan korupsi berupa
suap dengan memperdagangkan pengaruh rawan melanggar asas legalitas
sebagaimana ditentukan Pasal 1 Ayat 1 KUHP. Alasannya, delik ”memperdagangkan
pengaruh” belum tegas diatur dalam hukum positif di Indonesia. Karena itu,
jalan terbaik tentu saja mengatur delik ini melalui revisi UU (baik UU
Tipikor maupun UU KUHP) sehingga jelas pengertian, batasan, pembuktian, dan
terpenting sanksi-nya agar dapat dijadikan rujukan dalam proses hukum.
Kejelasan batasan delik ”memperdagangkan
pengaruh” penting dan mendesak segera diatur agar tidak menimbulkan ekses
yang kontra-produktif, termasuk potensi mispersepsi yang traumatik di
kalangan penyelenggara negara yang bisa menghambat kinerja positif. Di sisi
lain, aturan tegas dan penjabaran delik ini dalam UU mencegah KPK dari
pelanggaran asas legalitas sehingga menutup celah abuse of power yang bisa
melemahkan upaya pemberantasan korupsi, baik akibat lemahnya dalil hukum KPK
maupun serangan balik pihak-pihak yang ingin melemahkan upaya pemberantasan
korupsi.
Pengaruh positif
Penulis ingin mendiskusikan secara lebih
serius hal ihwal ”pengaruh” ini. Berangkat dari sejumlah kasus tipikor di
mana KPK mengaitkan dengan klausul ”memperdagangkan pengaruh”, merebak
kekhawatiran dan ketakutan di kalangan penyelenggara negara dalam menggunakan
kewenangan dan pengaruhnya untuk kepentingan publik. Mereka khawatir
dikriminalisasi. Terlebih bagi pejabat publik yang dipilih melalui pemilu,
dalam hal ini menjadi wakil rakyat dan senator (anggota legislatif).
Bagi anggota legislatif, ”pengaruh” sejatinya
melekat bahkan menjadi semacam raison d’ etre seorang pejabat publik yang
dipilih langsung oleh rakyat. Karakteristik lembaga legislatif dengan tiga
fungsi utamanya, yaitu legislasi, pengawasan, dan penganggaran—yang ketiganya
dijalankan dalam kerangka representasi (keterwakilan) rakyat/daerah—otomatis
(dan tidak dapat dihindari) menimbulkan pola interaksi dengan dasar
optimalisasi kewenangan dan ”pengaruh” atas kebijakan pemerintah.
Jika kita pahami tujuan pemilu sebagai
pengejawantahan kedaulatan rakyat, maka makna di balik tujuan itu
sesungguhnya adalah rakyat memberikan mandat kepada wakilnya untuk mengambil
dan memengaruhi kebijakan untuk kepentingan mereka. Bahkan, mandat itu jelas
ditegaskan dalam UU. UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3)
menegaskan, salah satu tugas dan kewajiban anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah
menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan
masyarakat serta memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis
kepada masyarakat di daerah yang diwakilinya.
Untuk melaksanakan tugas dan kewajiban
tersebut, lembaga legislatif (DPR/DPRD) memiliki hak interpelasi, angket, dan
menyatakan pendapat, sementara DPD memiliki hak untuk mengajukan, membahas,
dan mengawasi pelaksanaan UU tertentu. Selanjutnya, setiap anggota legislatif
memiliki hak, antara lain mengajukan pertanyaan serta menyampaikan usul dan
pendapat.
Dengan konstruksi tersebut sejatinya melekat
pada pribadi setiap anggota legislatif atau wakil rakyat kemampuan
”memengaruhi” kebijakan yang dibuat dan/atau dijalankan oleh eksekutif,
bahkan ”pengaruh” itu harus dilaksanakan secara aktif demi kepentingan rakyat
yang diwakilinya. Penulis menyebutnya sebagai ”pengaruh positif”, yang
merupakan bagian integral dalam kerangka representasi politik. Tanpa
”pengaruh” hilanglah basis argumentasi hadirnya pemilu, wakil rakyat, dan keterwakilan
(representasi).
Tak perlu khawatir
Dengan pemaparan di atas, penulis ingin
mengajak penyelenggara negara tidak perlu khawatir dan takut mengoptimalkan
”pengaruh positif” yang dimiliki untuk mempromosikan dan memperjuangkan
kepentingan publik. Tentu sepanjang tidak melawan hukum dan/atau koruptif
berupa adanya ”embel-embel” materi, baik secara riil maupun berbentuk janji,
dengan maksud untuk memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain.
Sensitivitas dan responsibilitas wakil
rakyat/daerah terhadap permasalahan dan kepentingan rakyat/daerah harus terus
didorong dan ditingkatkan sebagai bentuk tanggung jawab pelaksanaan tugas
dalam menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat. Oleh karena itu, seluruh instrumen yang mendukungnya harus
dihargai, termasuk upaya mengefektifkan ”pengaruh positif” yang dimiliki.
Penulis yakin lembaga penegak hukum, khususnya
KPK, akan bertindak cermat dan berhati-hati dalam mengaitkan suatu kasus
dengan klausul ”memperdagangkan pengaruh”. Kita pasti mendukung upaya
pemberantasan korupsi yang semakin efektif. Karena itu, menjadi kebutuhan
mendesak untuk mengatur trading in influence dalam (revisi) UU Tipikor
dan/atau KUHP. Tujuannya agar klausul tersebut bisa diterapkan secara
efektif, tidak menimbulkan ekses yang kontraproduktif, serta memberi
pengertian dan batasan yang jelas, dalam hal ini penekanannya terjadi
penyalahgunaan wewenang dan perbuatan memperkaya diri sendiri dan/atau orang
lain secara melawan hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar