Dampak
Media Sosial terhadap Politisi dan Partai
Firman Noor ;
Peneliti Puslit Politik LIPI;
Research Fellow CSSIS, University
of Exeter
|
KOMPAS, 01 November
2016
Kasus diunggahnya video pernyataan
kontroversial Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Kepulauan Seribu ataupun
kata-kata tidak senonoh Donald Trump pada tahun 2005, yang kemudian membuat
kehebohan politik, memperlihatkan betapa besar peran media sosial dalam
kehidupan politik.
Secara umum, kemajuan teknologi telah
memberikan dampak luar biasa terhadap institusi dan perilaku politik dewasa
ini. Meski belum dapat menggantikan peran media konvensional dan bersifat
melengkapi (Zeh and Holtz-Bacha 2015), secara umum kehidupan politik saat ini
telah makin bergerak dalam bentuk respons terhadap perkembangan media sosial
(medsos) yang semakin tidak dapat dihindari itu.
Saat setiap kata
terekam
Salah satu pihak yang terkena dampaknya adalah
jelas para aktor politik atau politisi. Di satu sisi, medsos memberikan
kesempatan yang luas bagi politisi untuk tidak saja eksis dalam kehidupan
politik, tetapi juga melakukan sebuah akselerasi mobilitas vertikal secara
cepat.
Dengan dukungan dan pengakuan publik yang luas
itu, mereka mampu menerabas struktur partai sehingga memungkinkan seseorang
yang tidak terlalu kuat kedudukannya dalam partai politik mampu meraih posisi
puncak dalam pemerintahan, dengan melewati banyak senior dan tokoh penting
dalam dunia politik, termasuk dalam partainya.
Kemenangan Barack Obama pada Pilpres AS 2008,
seorang yang bahkan beberapa bulan menjelang Konvensi Partai Demokrat adalah
sosok yang tidak dikenal, menandai kemenangan monumental medsos yang menandai
era baru peran medsos dalam kehidupan politik AS.
Sementara dalam konteks kontemporer di Tanah
Air, keberhasilan Jokowi dalam menapaki tangga politik juga merupakan bukti
peran medsos yang mampu ”memaksa” petinggi dan senior partainya memberikan
jalan kepadanya, yang dalam konteks keanggotaan partai politik masih relatif
”hijau” untuk menjadi kandidat gubernur dan presiden. Kasus yang sama juga
terjadi di Kanada ketika Justin Trudeau—sosok politisi muda— mampu memenangi
kursi pimpinan Partai Liberal Kanada. Itu kemudian memberikannya jalan untuk
memegang tampuk pemerintahan tertinggi di negara tersebut. Medsos, sebagaimana
dikatakan Guy Lachapelle (2015), memberikan pengaruh dukungan yang kuat dalam
soal kepemimpinan politik dewasa ini, tidak saja dalam level partai, tetapi
juga pemerintahan.
Namun, di sisi lain, medsos juga memiliki
dampak lain bagi aktor politik. Dengan semakin terbukanya peluang setiap
warga negara untuk menelaah dan menyaksikan sepak terjang seorang politisi
secara lebih transparan, para politisi tidak dapat lagi menutupi jati
dirinya. Bahkan, setiap pilihan kata, ekspresi, atau bahasa tubuh akan
terekspos dan akhirnya menjadi pertimbangan publik dalam menentukan sikap dan
pilihannya.
Terkait dengan hal ini, medsos sejatinya
memaksa politisi lebih arif dan bijak, termasuk dalam bersikap dan memilih
kata-kata. Kebutuhan ini jadi semakin mendesak karena masyarakat kerap
menginginkan sosok yang demikian idealnya sebagai pemimpin mereka. Karena
itu, kegagalan seorang kandidat dalam menjaga persoalan ini jelas akan
memberikan konsekuensi yang akan merugikan dirinya. Menurunnya popularitas
atau dukungan menjadi salah satu konsekuensi tersebut.
Dengan demikian, medsos dapat menjadi pisau
bermata dua bagi seorang politisi. Di satu sisi, dia memberikan peluang untuk
mengangkat derajat seorang politisi, tetapi di sisi lain dapat pula
menghancurkannya.
Berakhirnya partai?
Dampak medsos kepada partai bersifat lebih
kompleks. Di satu sisi, medsos memberikan kesempatan luas bagi setiap kader
untuk membangun basis kekuatannya secara individual, yang pada akhirnya lebih
dibutuhkan dalam meraih suara publik. Orientasi keluar inilah, ditambah
dengan sistem pemilihan terbuka, mendorong munculnya individualisme dan
mematikan kolektivisme internal.
Tidak itu saja, aktivitas politik
individual-impersonal-pragmatis ini pada akhirnya berpotensi menyudutkan
aktivitas standar yang wajib dilakukan seorang anggota partai sebagai bagian
dari kaderisasi dan penjenjangan karier. Sebagai akibatnya, kaderisasi dan
aktivitas kolektif dalam partai berpotensi meredup seiring makin maraknya
pemanfaatan media sosial. Begitu pula dengan aktivitas politik door to door (Montigny, 2015). Selain
itu, orientasi atas popularitas menjadi semakin berkembang di antara anggota
partai ketimbang upaya mematangkan kualitas mereka. Tujuan meraih popularitas
secara instan pada gilirannya dapat mematikan proses penjenjangan karier, yang
dirancang sebenarnya justru untuk meningkatkan kualitas kader itu sendiri.
Lebih dari itu, pengedepanan individu
menyebabkan masyarakat lebih terbiasa melihat figur ketimbang institusi
(partai). Di Barat, fenomena ini terlihat, misalnya, dengan disebutnya
pemerintahan dengan nama pimpinan pemerintahan, seperti, ”pemerintahan
Blair”, ”pemerintahan Obama”, ketimbang disebut sebagai pemerintahan Partai
Buruh atau pemerintahan Partai Demokrat. Dengan sejumlah fenomena ini,
pertanyaannya, apakah memang era partai-partai akan segera berakhir?
Tampaknya tidak juga. Meskipun memberikan
dampak negatif, keberadaan medsos juga dapat memberikan banyak keuntungan
bagi eksistensi partai. Tidak saja medsos dapat membantu akselerasi karier
kader-kader partai yang brilian, tetapi juga dapat mereduksi ketergantungan
partai pada segelintir orang (oligarki).
Hal ini bisa terjadi mengingat medsos dapat
menekan biaya sosialisasi dan kampanye menjadi semakin terjangkau oleh kader
sehingga mengurangi beban pembiayaan politik, baik untuk dirinya maupun untuk
partai. Kader pun pada akhirnya tidak terlalu bergantung pada elite partai,
tetapi pada jaringan atau komunitas yang dimilikinya.
Kemudian, kedekatan pada masyarakat akan
membantu menyebarluaskan ide-ide bernas kepada khalayak, yang menunjukkan ada
kepedulian politisi dan partai kepada mereka. Pemanfaatan medsos yang cerdas
jelas dapat juga membantu efektivitas komunikasi, seperti yang dikembangkan
beberapa figur kepala daerah ternama, yang membantu membangun ikatan emosional
yang kuat. Selain itu, medsos juga mendorong konten dari agenda politik
menjadi lebih teruji secara rasional karena akan dikritisi khalayak.
Terlepas dari itu semua, keberadaan medsos di
masa datang akan semakin memaksa partai-partai melakukan banyak perubahan dan
penyesuaian. Keberadaannya jelas harus disambut dengan lebih terbuka dan
profesional mengingat dampak positif yang mungkin dihasilkannya.
Kode etik
Di balik sejumlah dampaknya kepada politisi
dan partai, medsos juga menimbulkan hal lain yang amat patut diperhatikan.
Maraknya political buzzer yang (bahkan bersedia) terbeli juga jadi salah satu
bagian lain dari fenomena medsos. Sayangnya, kerap hal ini dimanfaatkan
partai secara salah. Belum lagi para political bullying yang bergentayangan
menebar permusuhan dan tak mencerdaskan.
Akibatnya tidak saja kian redupnya etika
berkata demi memengaruhi opini, tetapi juga menyebabkan masyarakat menjadi
segan turut serta menyatakan pandangannya, atau malah terjebak konten-konten
sampah dan manipulatif. Di masa datang, tampaknya perlu diatur sebuah kode
etik agar maraknya aktivitas medsos lebih patut dan tak menghilangkan makna
substansi demokrasi itu sendiri. Agar demokrasi dapat justru berkembang
dengan sehat dan bukan tercederai keberadaan fenomena yang akan kian menjadi
bagian dari kehidupan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar