Memahami
Sistem Pemilu
Indra Pahlevi ;
Pusat Penelitian Badan Keahlian
DPR; Pemerhati Pemilu
|
KOMPAS, 02 November
2016
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo
akhirnya menyampaikan draf Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilihan
Umum kepada DPR melalui Surat Presiden Nomor R-66/Pres/10/2016 tanggal 20
Oktober 2016. Pertanyaan besar muncul, apakah proses pembahasan RUU ini dapat
berjalan lancar dan selesai tepat waktu?
Pembahasan draf Rancangan Undang- Undang
tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (RUU Pemilu) diharapkan bisa segera
dilakukan dan selesai tepat waktu sebagaimana ditargetkan, yakni April 2017.
Waktu yang tersedia tidak banyak sebelum diselenggarakannya perhelatan pemilu
serentak 2019. DPR berniat akan mulai membahas pada masa reses yang dimulai
29 Oktober-16 November 2016.
Kerancuan sistem
pemilu
Namun, terdapat satu hal yang perlu
diperhatikan dalam draf RUU Pemilu usulan pemerintah itu, yakni yang terkait
dengan penamaan sistem pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD yang
tercantum dalam Pasal 138 Ayat (2) RUU Pemilu. Bunyinya: ”Pemilu untuk
memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan
dengan sistem proporsional terbuka terbatas”. Selanjutnya pada Pasal 138 Ayat
(3) dinyatakan bahwa ”Sistem proporsional terbuka terbatas sebagaimana
dimaksud pada Ayat (2) merupakan sistem pemilu yang menggunakan sistem
proporsional dengan daftar calon yang terbuka dan daftar nomor urut calon
yang terikat berdasarkan penetapan partai politik”.
Ketentuan itu terlihat rancu dalam konteks
pemahaman kita tentang sistem pemilu. Mungkin pemerintah mendasarkan diri
pada praktik yang terjadi setidaknya dalam dua pemilu terakhir (2009 dan
2014) yang menggunakan sistem proporsional terbuka dengan keterpilihan calon
mendasarkan kepada perolehan suara terbanyak sebagaimana putusan Mahkamah
Konstitusi. Namun, tetap saja kita tidak paham apa maksud dari penamaan
sistem pemilu seperti itu.
Penamaan sebuah sistem pemilu di suatu negara,
apalagi yang dituangkan dalam UU, hendaknya tetap mendasarkan diri kepada
nama sistem pemilu yang baku. Apalagi penamaan sistem pemilu itu tidak
berdiri sendiri dan sangat terkait dengan isu krusial lainnya, terutama
metode keterpilihan seorang calon anggota DPR dan DPRD.
Oleh karena itu, kita tak bisa serta-merta
mendefinisikan sistem pemilu sebagaimana tertuang dalam Pasal 138 RUU Pemilu
di atas. Alih-alih menjelaskan apa yang dimaksud dengan sistem pemilu itu
justru malah membingungkan bagi penyelenggara pemilu itu sendiri serta
masyarakat.
Perlu kita lihat bersama bahwa sistem pemilu
diartikan sebagai satu kumpulan metode atau cara warga masyarakatmemilih
wakil mereka (Arend Lijphart, 1994). Dalam sistem pemilu ini, sejumlah suara
ditransfer menjadi kursi dalam parlemen (DPR dan DPRD). Dengan demikian,
terpilih sejumlah wakil dari parpol peserta pemilu untuk duduk di parlemen.
Berdasarkan hal tersebut dapat kita pahami
bahwa sistem pemilu adalah instrumen bagi rakyat untuk memilih wakilnya.
Pilihan atas satu sistem pemilu sangat bergantung pada kondisi geopolitik
negara yang bersangkutan. Namun, tetap terdapat pola baku bagaimana suatu
sistem pemilu itu bekerja.
Sebagaimana kita kenal selama ini terdapat dua
sistem pemilu utama di dunia, yaitu proportional representation (perwakilan
berimbang) dan plurality-majority (pluralitas-mayoritas atau lebih dikenal
dengan sistem distrik). Tentu kita sudah memahami apa keunggulan utama kedua
sistem tersebut selain kelemahannya. Pada sistem proportional representation,
kelebihan utama yang diharapkan adalah adanya proporsionalitas, baik
antarwilayah (daerah pemilihan) maupun antar-kekuatan politik, sehingga tidak
the winner takes all dan kuatnya peran parpol. Sementara keunggulan sistem
pluralitas-mayoritas adalah tingginya derajat keterwakilan dari sang wakil
(terutama varian first past the post).
Asas proporsionalitas
Jika melihat kondisi geopolitik Indonesia,
tentu pilihan atas sistem pemilu lebih mendasarkan pada adanya asas
proporsionalitas. Sebagai bangsa yang heterogen dan berbentuk kepulauan,
sistem perwakilan berimbang menjadi pilihan yang perlu dikedepankan. Dalam
sejarahnya, Indonesia selalu menggunakan sistem perwakilan berimbang ini
dalam menyelenggarakan pemilu legislatif.
Selanjutnya untuk memahami penggunaan sistem perwakilan
berimbang, maka sebelum menentukan penamaan yang tepat yang hendak dituangkan
dalam undang-undang, kita perlu melihat pilihan atas varian dalam sistem
perwakilan berimbang ini. Salah satu varian utama sistem perwakilan berimbang
adalah sistem daftar (PR list system). Varian inipaling sederhana dengan
kegiatan utama parpol menyajikan daftar nama calon anggota legislatif kepada
pemilih untuk selanjutnya pemilih memilih satu parpol pilihannya.
Langkah berikutnya adalah kemudian parpol
tersebut memperoleh kursi sebanding dengan perolehan suaranya secara
nasional. Para calon anggota legislatif diambil dari daftar calon yang
tersaji berdasarkan nomor urut yang disusun parpol peserta pemilu sesuai
perolehan kursi tersebut (tergantung menggunakan metode kuota atau divisor).
Sistem ini yang digunakan Indonesia hingga saat dengan berbagai modifikasi.
Selanjutnya, dalam sistem perwakilan berimbang
daftar ini terdapat tiga pilihan, yaitu terbuka (open list system) atau
tertutup (closed list system) atau bebas (free list system) (David M Farrel,
1997). Open list system seperti yang berlaku saat ini yaitu nama calon
tercantum dalam surat suara, sementara closed list system pemilih hanya
disuguhkan nama parpol dalam surat suara. Adapun free list system adalah pemilih
berhak memilih lebih dari satu calon dalam surat suara.
Dalam sistem daftar ini terdapat beberapa ciri
utama. yaitu pertama, setiap daerah pemilihan berwakil banyak; kedua, setiap
parpol menyajikan daftar calon dengan jumlah lebih banyak daripada kursi yang
tersedia; ketiga, pemilih memilih satu kandidat; keempat, parpol memperoleh
kursi sebanding dengan suara yang diperoleh; dan kelima, calon yang terpilih
adalah yang berhasil mencapai ambang batas suara atau lebih.
Dengan demikian, pemahaman tentang sistem
proporsional terbuka tidak berarti keterpilihannya adalah berdasarkan urutan
suara terbanyak dari setiap calon di setiap daerah pemilihan. Oleh karena
itu, penggunaan nama ”proporsional terbuka terbatas” membingungkan. Hal itu
yang selama ini menjadi kesalahan pemahaman terutama sejak adanya putusan
Mahkamah Konstitusi terkait ”suara terbanyak”.
Melihat draf RUU Pemilu yang disampaikan di
atas, maka perlu ketegasan penggunaan sistem pemilu pada Pemilu 2019.
Seharusnya nama sistem pemilu adalah sistem perwakilan berimbang dengan
daftar calon terbuka.
Terhadap makna ”terbatas” dicantumkan pada
ketentuan yang mengatur tentang perolehan kursi parpol peserta pemilu dan
ketentuan tentang keterpilihan seorang calon tanpa harus secara eksplisit
mencantumkan kata ”terbatas”. Sebaliknya, jika dalam pembahasan disepakati
menggunakan ketentuan yang diputuskan Mahkamah Konstitusi tentang ”suara
terbanyak”, ketentuan tersebut juga diatur dalam pasal tentang keterpilihan
seorang calon dengan penegasan bahwa keterpilihan seorang calon ”berdasarkan
urutan suara terbanyak”.
Perwakilan berimbang
Menyikapi sistem pemilu yang cocok bagi
Indonesia saat ini, perlu dipertimbangkan beberapa hal yang melingkupinya.
Sistem perwakilan berimbang masih dipandang cocok bagi Indonesia dengan
memperhatikan alokasi kursi setiap daerah pemilihan dan metode penghitungan
kursi. Dalam RUU Pemilu diatur bahwa alokasi kursi setiap daerah pemilihan
adalah 3-10 dan metode penghitungan perolehan kursi menggunakan metode
divisor sainte lague (bilangan pembagi 1,4; 3; 5; 7, dan seterusnya atau
bilangan pembagi tetap) yang berarti mengganti metode kuota yang selama ini
digunakan.
Terhadap alokasi kursi, angka 3-10 masih belum
menggambarkan upaya meningkatkan derajat keterwakilan. Idealnya adalah 3-6
kursi setiap daerah pemilihan dengan mengingat bahwa perlunya meningkatkan
derajat keterwakilan meski dengan konsekuensi menambah jumlah daerah
pemilihan dari yang ada sekarang (77 daerah pemilihan untuk DPR tahun 2014).
Sementara terhadap metode penghitungan perolehan kursi, RUU Pemilu sudah
melakukan upaya perbaikan signifikan karena akan mengurangi jumlah suara yang
hilang (tidak terkonversi menjadi kursi) dan memberikan rasa keadilan bagi
parpol yang memperoleh suara menengah ke bawah.
Hal paling penting dalam rekayasa sosial
(social engineering) melalui pembentukan UU Pemilu ini adalah bagaimana
menghasilkan wakil rakyat yang mumpuni tidak hanya representatif karena
dipilih dengan suara yang besar, tetapi juga faktor mendasar lainnya sejak proses
perekrutan calon yang dilakukan oleh parpol.
Dengan wajah lembaga perwakilan yang hingga
saat ini belum cukup baik di mata masyarakat, Pemilu 2019, khususnya untuk
memilih anggota DPR dan DPRD, harus menjadi momentum meningkatkan kualitas
wakil rakyat melalui pengaturan dalam UU Pemilu ini. Begitu juga dengan
kualitas penyelenggara pemilu yang harus memiliki rekam jejak mumpuni guna
menyelenggarakan perhelatan demokrasi akbar ini.
Jika UU Pemilu yang dihasilkan DPR dan
pemerintah awal 2017 tidak banyak menunjukkan perubahan dari sebelumnya,
kekhawatiran akan terjadinya stagnasi demokrasi menjadi kenyataan dan pemilu
hanya dijadikan ritual lima tahunan semata tanpa evaluasi substansitif atas
hasilnya. Semoga Indonesia tetap menjadi negara besar, terutama dalam
memberikan contoh bagaimana berdemokrasi secara adiluhung dan menghasilkan
penyelenggara negara yang berintegritas dan mampu membangun bangsa ini ke
arah yang lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar