Sentimen
Primordial dan Politik ”Ressentiment”
J Kristiadi ;
Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS, 01 November
2016
Genderang pilkada serentak sebagai kontestasi
dan pesta demokrasi sudah berkumandang. Namun, bayang-bayang ancaman terhadap
perhelatan nasional yang beradab berubah menjadi petaka juga tampak sangat
kasatmata.
Simtom tersebut antara lain dengan mudah dapat
ditemukan dalam ujaran-ujaran kebencian absolut bernuansa primordialistik di
media sosial (medsos) terhadap pasangan kandidat gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat (BTP dan Djarot).
Bahkan, saking semangatnya, salah satu media
elektronik mendapat peringatan dari Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI
Pusat) karena dinilai kurang memperhatikan ketentuan tentang penghormatan dan
prinsip-prinsip jurnalistik terhadap nilai kesukuan, agama, ras, dan
antargolongan.
Fenomena itu menemukan validitasnya dalam
survei Wahid Foundation yang dikutip Zuly Qodir (Kompas, 29 Oktober 2016),
hampir 60 persen responden membenci kelompok tertentu berlatar agama
non-Muslim, garis Tionghoa, komunis, dan lain-lain. Lebih dari 80 persen juga
tidak bersedia bertetangga dengan kelompok yang dibenci.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan pimpinan
kepolisian menginstruksikan siaga I untuk mengantisipasi ekses dinamika
politik yang disulut kebencian primordialistik yang membara. Artinya,
ketertiban dan keamanan publik mendapat ancaman serius sehingga perlu
mengerahkan puluhan Satuan Setingkat Kompi (SSK) Brigade Mobil (Brimob) di
wilayah yang dianggap strategis. Negara ingin menjamin ketertiban umum dari
ancaman anarki sosial dan kerusuhan.
Gejala kebencian primordialistik, terutama
kelompok yang merasa inferior dan termarjinalkan menjadi permenungan
Nietzsche tentang filosofi dan psikologi asal-usul serta silsilah dendam
kesumat atau biasa disebut ressentiment (Setyo Wibowo, majalah Basis, nomor
03-04 tahun ke-65, 2016). Untuk mempermudah menjelaskan gagasannya, ia
mempergunakan metafora elang, sebagai binatang perkasa yang kodratnya
pemangsa dan domba yang ditakdirkan sebagai makhluk yang lemah, serba kalah,
merasa tersingkirkan, dizalimi, tak berdaya, iri, dengki, hina, dan
frustrasi. Pokoknya gerombolan domba merasa sebagai pecundang, sementara
elang adalah pemenang.
Gerombolan domba yang secara kodrati tidak
berdaya menghadapi kedigdayaan elang, mereka menciptakan ideologi tentang
kebenaran. Inti filosofi nilai-nilai tersebut adalah kepasrahan, tidak
melakukan perlawanan, mengalah dengan harapan serta keyakinan Tuhan yang akan
membalas dan menghadiahi surga. Dengan meyakini nilai-nilai tersebut, mereka
merasa sudah setara bahkan merasa menang.
Oleh karena itu, petinggi gerombolan pecundang
selalu membakar pengikutnya dengan mengemas kebenaran semu dan janji masuk
surga. Akibatnya, dalam perburuan nilai-nilai kebenaran subyektifnya, mereka
justru menghalalkan cara, bahkan melakukan revolusi yang meluluhlantakkan
tatanan dunia agar masuk surga. Dalam tataran mondial, contoh kelompok
tersebut antara lain kelompok yang menamakan diri sebagai Negara Islam di
Irak dan Suriah (ISIS).
Namun, gagasan Nietzsche tidak seluruhnya
valid dalam konteks Indonesia, terlebih jika dikaitkan dengan Pilkada DKI
Jakarta. Bayang-bayang kebencian absolut yang beredar dalam medsos oleh
beberapa kalangan tertentu tidak otentik sebagaimana dikembangkan Nietzsche
karena lebih merupakan limbah dari pertarungan politik kekuasaan di tingkat
lokal.
Ideologi kebencian bukan karakter bangsa
Indonesia yang plural, melainkan mampu hidup damai dan harmoni. Banyak
kalangan menduga, para penyebar kebencian sekadar alat politik yang digunakan
oleh lawan politik BTP-Djarot karena titik lemah pasangan tersebut adalah
kodrat BTP yang tidak pernah ia pilih sendiri sebagai keturunan Tionghoa.
Tiba-tiba, sejak lahir ia Tionghoa.
Dalil Nietzsche semakin tidak valid karena
sejak 2005 sampai dengan 2016 frekuensi pilkada sudah sekitar 1.400 kali,
mungkin sudah puluhan, bahkan ratusan, kandidat kepala daerah diajukan partai
politik tanpa memedulikan sentimen primordial, termasuk partai-partai Islam
mengusung kandidat non-Muslim.
Heterogenitas bangsa dengan garis primordial
yang silang-menyilang menjadi aset spiritual bangsa karena tidak memungkinkan
bangunan kekuasaan hanya dihimpun melalui garis primordial tunggal. Inklusivitas
dalam politik menjadi keniscayaan untuk membangun kekuatan politik yang
signifikan di Indonesia.
Watak tersebut amat kuat karena mempunyai akar
peradaban dan histori yang menghasilkan konsensus untuk meleburkan
bangsa-bangsa se-Nusantara menjadi satu bangsa Indonesia sebagaimana
dikumandangkan dalam Sumpah Pemuda.
Ia merupakan monumen spiritualitas bangsa yang
merupakan produk tekad semua komponen anak bangsa saling merasakan rasa
kebangsaan. Peristiwa yang menggetarkan semangat persatuan merupakan modal
sosial peradaban bangsa untuk mewujudkan tujuan bernegara, kebahagiaan bagi
rakyat Indonesia.
Sejarah mengajarkan fanatisme kebencian
primordial bukan monopoli kelompok miskin atau kurang pendidikan, tetapi juga
golongan menengah, tetapi diduga mengidap sindrom delusi. Maka, solusinya
negara harus mempunyai komitmen permanen terhadap politik pendidikan
membangun watak generasi muda Indonesia.
Harapan juga ditujukan kepada ketiga pasangan
calon meskipun dalam derajat berbeda mempunyai rekam jejak dan asal-usul
spirit kebangsaan, berkewajiban juga mengeliminasi para pendukung yang
menggalang kekuatan dengan menyebarkan kebencian primordial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar