The
Right to be Forgotten dalam UU ITE
Agus Sudibyo;
Kepala Program Studi Akademi
Televisi Indonesia (ATVI) Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
31 Oktober 2016
DPR telah mengesahkan perubahan atas UU
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Salah satu isu yang mengemuka
ialah upaya untuk melembagakan the
right to be forgotten dalam undang-undang tersebut.
Apakah sesungguhnya yang dimaksud dengan the
right to be forgotten?
Apa latar belakangnya dan sejauh mana
cakupannya? Apakah pengaturannya dalam UU ITE yang baru sudah tepat dan
konsekuensi apa yang bisa timbul?
The right to be forgotten didiskusikan dan
dipraktikkan di Eropa sejak 2006. Latar belakangnya ialah revolusi digital
yang telah mengubah ekologi media secara keseluruhan. Terjadi transformasi
dari pola komunikasi-informasi berbasis media konvensional menuju media-media
baru berbasis teknologi internet. Pada gilirannya, internet menjadi
episentrum kehidupan publik. Semua mode komunikasi (interpersonal, kelompok,
publik, dan massa) sedemikian rupa tergantung kepada media-media baru.
Pada fase inilah muncul masalah terkait dengan
otonomi individu. Pada prinsipnya, setiap orang berhak menentukan dan
menikmati kehidupan pribadi tanpa terstigmatisasi dan terganggu oleh sesuatu
apa pun, termasuk oleh kejadian di masa lampau terkait dengan dirinya. Individu
memiliki hak untuk melindungi informasi tentang dirinya di masa lalu sehingga
tidak menjadi bahan bagi pihak lain untuk menyerang atau menjatuhkannya. Istilahnya
ialah the right to silence on past
events in life that are no longer occurring.
Persoalannya, teknologi internet berkembang
sedemikian rupa sehingga menghasilkan kemampuan untuk merekam dan
menyebarluaskan informasi tentang seseorang tanpa disadari orang tersebut. Penyebarluasan
informasi melalui search engine
atau media sosial dapat bersifat masif atau permanen dengan berbagai
dampaknya terhadap kepentingan pribadi atau partikular berbagai pihak. Kemudian,
muncullah inisiatif untuk menciptakan mekanisme hukum yang memungkinkan penghapusan
informasi (teks, video, dan foto) atau akses informasi digital yang tidak
relevan lagi atau berpotensi merugikan kepentingan seseorang.
Dalam konteks yang sama, regulasi tentang the right to be forgotten (European
Data Protection Directive) dianggap sebagai bagian dari human rights law. Namun, pelembagaan the right to be forgotten di saat yang sama juga berpotensi
menimbulkan dampak negatif terhadap praktik kebebasan pers, kebebasan
berpendapat, dan berekspesi. Pelembagaan the
right to be forgotten dianggap memunculkan ancaman sensor bagi media
massa serta dapat mereduksi potensi-potensi deliberasi media internet. UU ITE
yang baru juga perlu diproblematisasi dalam konteks ini.
Setidaknya ada empat lokus the right to be forgotten yang perlu
dibedakan di sini, yakni 1) penyebarluasan informasi melalui media
jurnalistik online; 2) penyebarluasan informasi melalui media online
nonjurnalistik; 3) penyebarluasan informasi melalui search engine, serta 4)
pengolahan dan penggunaan data perilaku pengguna search engine atau media
sosial untuk periklanan digital.
Pertama, penyebarluasan informasi melalui
media jurnalistik harus merujuk kepada UU Pers No 40 Tahun 1999 dan Peraturan
Dewan Pers tentang Pedoman Pemberitaan Media Siber. UU Pers telah mengatur
perlindungan dan penghormatan atas privasi. Sementara, Pedoman Pemberitaan
Media Siber lebih detail lagi mengatur kewajiban media untuk menghapus atau
meralati berita yang tidak berimbang, menghakimi, dan mengancam keselamatan
atau masa depan seseorang. Pengaturan the
right to be forgotten dalam UU ITE harus merujuk kepada ketentuan ini. Titik
tolaknya jelas sekali, Kode Etik Jurnalistik.
Dalam kerangka yang sama dapat ditegaskan
bahwa berita negatif tentang seseorang, katakanlah pejabat publik yang
menghadapi masalah korupsi, belum tentu berita yang salah. Berita negatif
bisa jadi muncul karena subjek berita memang memiliki kelemahan atau
kesalahan.
Sejauh media memberitakan berdasarkan fakta,
mampu menjaga asas praduga tak bersalah, berdisiplin verifikasi, dan bersikap
hati-hati, sebenarnya tidak ada alasan untuk mencabut atau menghapus berita
negatif tentang seseorang.
Fungsi utama pers ialah pengawasan atas
penyelenggaraan kekuasaan.
Maka, sudah pada tempatnya jika pers sering
secara kritis memberitakan tindakan, perilaku, dan keputusan pejabat publik.
Sebaliknya, sudah seharusnya muncul kesadaran
bahwa menjadi sasaran kritik pers ialah konsekuensi logis dari posisi jabatan
publik, sejauh kritik dilakukan secara proporsional dan etis. Dalam konteks
inilah kita menemukan penjelasan mengapa regulasi tentang the right to be forgotten di Eropa
memberikan pengecualian kepada media jurnalistik.
Pertanyaannya kemudian, apakah pengaturan
tentang the right to be forgotten
dalam UU ITE juga memberikan pengecualian kepada media jurnalistik?
Kita tidak menemukan pengecualian itu, dan
posisi media jurnalistik disamakan dengan jenis media lain dalam kategori
'Penyelenggara Sistem Elektronik'. Kita juga tidak menemukan UU Pers sebagai
konsiderans dalam UU ITE tersebut meskipun jelas sekali bahwa penyebaran
informasi yang diatur mencakup penyebaran informasi melalui media
jurnalistik.
Kedua, penyebarluasan informasi pribadi
melalui media online non-jurnalistik menemui kendala belum adanya standar
etis tentang arus informasi atau komunikasi digital, khususnya di media
sosial.
Secara umum, the right to be forgotten dibedakan dengan hak atas privasi. Hak
atas privasi merujuk kepada penyebaran informasi dalam skala terbatas,
sementara the right to be forgotten
merujuk kepada penyebaran informasi secara publik pada waktu tertentu. Pembedaan
ini sulit dioperasionalkan dalam media sosial karena Facebook, blog,
Instagram, dan lain-lain memperlihatkan sebuah hibridisasi antara mode komunikasi
personal, kelompok, publik, sekaligus massa.
Batas antara ruang publik dan ruang privat
menjadi kabur dalam media sosial. Perlu kehati-hatian dan kejelian untuk
menerapkan prinsip-prinsip the right to
be forgotten untuk media sosial ini. Kehati-hatian itu semakin mendesak
karena pengaturan the right to be
forgotten untuk media sosial juga menghadirkan dilema.
Di satu sisi harus diakui media sosial sering
digunakan untuk menyerang pihak-pihak tertentu. Media sosial sering menjadi
sarana untuk menuangkan sikap acuh tak acuh, kebencian, dan kemarahan secara
terbuka. Namun, di sisi lain, media sosial memiliki fungsi deliberasi dan
demokratisasi. Media sosial memungkinkan semua orang menjadi subjek, pelaku,
dan sumber komunikasi, dan tidak sekadar menjadi khalayak seperti yang
terjadi dalam proses komunikasi di media massa. Media sosial mampu mengatasi
paradoks komunikasi massa, yakni mayoritas orang menjadi massa yang pasif dan
tidak terlibat dalam proses komunikasi.
Ketiga, jika merujuk kepada Uni Eropa,
regulasi tentang the right to be
forgotten sesungguhnya lebih difokuskan kepada penyebarluasan informasi
melalui search engine. Search engine seperti Google umumnya
tidak memproduksi informasi sendiri, tetapi mengagregasi informasi dari
berbagai sumber, mengolah, dan menyajikannya kembali dalam skala global. Pertanyaannya
ialah bagaimana menghapuskan informasi atau akses informasi yang telanjur
tersebar secara global? Hukum yang mana yang menjadi dasar?
Faktanya, belum ada hukum internasional yang
mengatur hal ini dan tidak ada sinkronisasi hukum antarnegara tentang hal
yang sama. UU ITE yang baru tidak memperlihatkan antisipasi atas persoalan
ini.
Keempat, pengolahan dan penggunaan data
perilaku pengguna search engine atau media sosial untuk kebutuhan periklanan
digital tidak menjadi fokus pengaturan dalam UU ITE yang baru. Tanpa banyak
disadari, penyedia layanan media sosial dan mesin pencari seperti Facebook,
Google, Youtube, dan Twitter sebenarnya selalu memata-matai para penggunanya.
Mereka merekam identitas diri, kebiasaan, dan perilaku (behavioral data) para
penggunanya. Mereka menyediakan berbagai aplikasi digital, tetapi dengan
aplikasi itu pula mereka mampu melacak kendaraan yang kita gunakan, di mana
tempat tinggal kita, restoran yang sering kita kunjungi, barang yang kita
koleksi, liburan yang kita dambakan, gangguan kesehatan kita, dan seterusnya.
Data perilaku itu kemudian menjadi instrumen
utama bisnis media digital sebagai objek aktivitas periklanan digital. Di
sini, kita menghadapi mode periklanan yang jauh lebih canggih dan eksesif. Jika
iklan konvensional muncul di ruang media yang bersifat terbuka dan publik,
iklan digital masuk ke ruang-ruang pribadi. Tiba-tiba saja iklan digital
muncul saat kita menghidupkan telepon genggam atau mengakses e-mail pribadi. Inilah
sebenarnya persoalan utama dalam isu the
right to be forgotten saat ini.
Hak para pengguna internet untuk menghapuskan
jejak-jejak aktivitas digital mereka. Hak untuk terbebas dari pengawasan dan
pencatatan media sosial dan search engine. Di sini, kita berbicara tentang
kedaulatan pengguna internet atas diri sendiri. Ketika media baru telah
memasuki ruang personal kita secara langsung dan real time, apa kita masih
berdaulat atas diri sendiri? Ketika peran media sosial dan mesin pencari
tidak sekadar bersifat informatif, tetapi juga bersifat direktif-instruktif,
apakah kita masih memiliki otonomi untuk menentukan diri
(self-determination)?
Pokok persoalan penting ini sepertinya justru
luput dari perhatian dalam perubahan UU ITE. UU ITE yang baru lebih
memfokuskan perhatian kepada perlindungan kepentingan pribadi dari
penyebarluasan informasi melalui media massa dan media sosial seperti
dijelaskan di atas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar