Mengapa
Sekolah Perlu Inklusif?
Ahmad Baedowi;
Direktur Pendidikan Yayasan
Sukma Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
31 Oktober 2016
POLITIK adu domba ialah warisan kolonial yang
berurat berakar pada mentalitas bangsa ini. Pelakunya ialah, dan biasanya
bisa dan berasal dari para politikus busuk, pengusaha gelap, ditambah dengan
birokrat yang ingin mengambil keuntungan sesaat. Cara yang mereka gunakan
sebagai alat adu domba ialah SARA karena sarat dengan emosi berjenis ideologi
tertentu, serta mudah dan murah untuk mengobarkan apinya. Mungkin tak perlu
avtur, cukup minyak kelapa untuk membakar sentimen SARA di tengah masyarakat
kita. Korbannya ialah masyarakat, dan itu terlihat menjelang pilkada serentak
yang akan dilakukan serentak pada 2017 mendatang, masyarakat mulai
terprovokasi dengan isu bersentimen SARA.
Gambaran ini senyatanya, bagi saya, adalah
gagalnya produk pendidikan 40 tahun terakhir yang kurang peduli menanamkan
karakter kebangsaan yang sadar akan keberagaman tradisi dan budaya. Ketika
menghadapi rangkaian isu SARA yang potensial untuk bereskalasi, manusia
selalu memiliki cara dan perisai diri yang dapat menjaganya dari kemungkinan
menjadi korban sebuah pertikaian. Karena pertikaian merupakan sifat alamiah
manusia juga, salah satu cara yang mungkin efektif ialah mengembalikan
kesadaran tentang betapa beragamnya kita. Keragaman dan kebebasan manusialah
yang menyebabkan munculnya kesalahpahaman dan karena itulah, kita membutuhkan
toleransi.
Inklusif = toleran
Meskipun saya sadar bahwa pengertian inklusif
lebih luas daripada toleransi, fondasi dasar yang harus kita letakkan di
sekolah-sekolah kita ialah kata 'toleransi'. Dengan dasar pertimbangan
keragaman dan kebebasan yang tergambar dalam bentuk budaya dan tradisi, makna
toleransi juga harus dikembalikan kepada fungsi budaya dan tradisi tempat
kita hidup. Salah satu definisi toleransi yang mungkin relevan untuk
dijadikan rujukan bagi penanaman nilai-nilai toleransi diberikan Bertelsmann
Group for Policy Research (Ed,), yaitu 'Tolerance as cardinal virtue or
mental attitude, but also as the scope for various types of behaviour,
orientational value or cultural work' (Tolerance: Basic for Democratic
Interaction, Bertelsmann, 2000).
Ini artinya tak mungkin ada toleransi jika
virtue or mental attitude tidak diperkenalkan secara dini dan baik melalui
pendidikan di sekolah. Banyak hasil riset menunjukkan pendidikan sajalah yang
memiliki kemampuan dan keunggulan dalam mengajarkan nilai-nilai toleransi
secara tepat dan cepat. Proses pendidikan yang menghargai keragaman memiliki
proses yang demokratis dan terbuka. Serta peduli akan tumbuh kembang virtue
atau mental attitude siswa adalah prasyarat yang dibutuhkan sebuah sekolah
yang concern dengan persoalan intoleransi.
Steven E Vinkel dalam Can Tolerance be Taught? Adult Civic Education and the Development of
Democratic Values (2000) menyebutkan bahwa mengajarkan toleransi
merupakan pintu masuk utama dalam mengembangkan sekolah yang demokratis dan
terbuka. Sekolah yang proses belajar-mengajarnya memiliki ruang kelas yang
demokratis biasanya dicirikan adanya kesadaran guru akan keunikan setiap
siswanya. Biasanya hal itu ditunjukkan dengan tanggung jawab para siswa
terhadap beban belajar masing-masing.
Selain itu, baik murid maupun gurunya terbiasa
dengan model untuk memaklumi kesalahan dan belajar dari setiap kesalahan,
serta belajar bagaimana menyelesaikan perbedaan secara konstruktif. Selain
itu, ciri yang juga menonjol ialah sikap yang dapat ditunjukkan para siswa di
kelas, baik ketika belajar secara mandiri maupun belajar dalam kelompok.
Proses komunikasi dalam sebuah kelas yang demokratis juga dapat dilihat dari
bagaimana proses komunikasi berlangsung dan terjalin. Jika di antara guru dan
siswanya terbiasa untuk berkomunikasi secara jujur, terbuka, dan langsung,
dapat dipastikan bahwa ruang kelas tersebut sangat demokratis.
Mereka akan mampu menciptakan suasana kelas
yang kondusif, dengan antara guru dan siswa akan berbagi tanggung jawab untuk
saling belajar, saling menolong, saling mendengarkan, bersikap empati, serta
tidak mengesampingkan pendapat orang lain. Membangun kelas yang demokratis
dapat dimulai seorang guru dengan melakukan assessment terhadap kemampuan
siswa yang sangat beragam. Seorang guru harus berusaha menolong muridnya
dalam mengidentifikasi tujuan akademis mereka minimal untuk satu tahun
ajaran.
Semacam collaborative goal setting harus
dilakukan. Selain itu, penting bagi para guru kita untuk membangun
perencanaan jangka pendek dan jangka panjang untuk menciptakan kelas demokratis
yang nondiskriminatif dan memenuhi kebutuhan siswa. Para guru juga harus
mampu melayani dalam setiap level status kepemimpinan, baik ketika berperan
sebagai guru, fasilitator, orangtua, bahkan teman bagi siswa. Dengan
demikian, guru tersebut memiliki kesadaran untuk memilih kurikulum dan materi
yang sesuai dengan tingkat keunikan dan kemampuan siswa-siswa mereka yang
memiliki gaya kognitif, afektif, dan psikomotorik yang berbeda satu sama
lain.
Meminjam kata-kata Albert O Hirschman dalam A Bias for Hope (1971), gaya kognitif,
afektif, dan psikomotorik sekalipun harus bertumpu pada yang possible, bukan
yang probable. Beragam kemungkinan (possible) tersebut bisa kita dapati
ketika sekolah, dengan kesadarannya yang tinggi, selalu berusaha untuk
mengembangkan komunikasi lintas budaya, baik antara siswa dan siswa, antara
siswa dan guru, atau antara guru dan guru. Harus kita ingat bahwa sekolah
ialah katalis kuat dalam membangun pemahaman dan persatuan komunitas.
Sekolah juga harus memiliki keinginan kuat
untuk mengakui bahwa pendekatan setiap orang berasal dari perspektif yang
unik. Karena itu, setiap bentuk konflik yang terjadi di sekolah harus
dimanfaatkan sebagai suatu kesempatan untuk memahami perbedaan pandangan.
Sekolah juga harus terbiasa untuk memiliki kepekaan mendengarkan
bisikan-bisikan sebelum menjadi teriakan. Serta memahami bahwa perbedaan
budaya memiliki cara komunikasi yang berbeda pula.
Karena itu, sekolah harus selalu berusaha
menciptakan dan menegakkan kebijakan yang tidak menoleransi diskriminasi,
membangun koalisi yang terdiri dari berbagai segmen dalam komunitas, serta
mengembangkan keterlibatan para orangtua dan murid yang minoritas. Di atas
semuanya, sekolah harus memiliki sistem penanganan konflik secara terpadu
seperti manajemen konflik berbasis sekolah (MKBS), agar sekolah selalu siaga
terhadap segala jenis ketegangan rasial.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar