Dahlan
dan Etika Penegakan Hukum
Augustinus Simanjuntak ;
Dosen Etika Bisnis di Fakultas
Ekonomi
Universitas Kristen Petra
Surabaya
|
JAWA POS, 29 Oktober
2016
ADA sebuah mobil pribadi yang sedang membawa
orang yang sekarat ke rumah sakit. Di tengah perjalanan, mobil itu tiba-tiba
berhadapan dengan traffic light yang baru saja menyala merah dengan hitungan
100 (detik). Sopir mobil boleh saja memberikan tanda kepada semua pengguna
jalan agar diizinkan menerobos traffic light tersebut. Tujuannya cuma satu:
menyelamatkan nyawa orang itu.
Kalau secara legalistik formal, setiap orang
harus taat traffic light sebagai simbol hukum. Polisi lalu lintas harus
menindak siapa pun pelanggarnya.
Namun, polisi yang bertugas secara etis pasti
mengambil langkah progresif dengan membantu pengendara mobil itu melewati
traffic light tanpa ancaman sanksi apa pun. Sebab, nyawa warga jauh lebih
penting daripada legal formal. Sungguh tidak adil kalau aparat menyamakan
pengendara yang membawa orang sekarat dengan para pengendara lainnya. Prinsip
moral jauh lebih tinggi daripada kepastian hukum. Apalagi terkait dengan
keselamatan nyawa orang lain.
Pengabaian moral oleh aparat hukum telah
dialami mantan Dirut PLN yang juga mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan. Tahun
lalu Dahlan ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati DKI Jakarta hanya karena
langkah progresifnya dalam pengajuan anggaran proyek gardu induk listrik
bersifat tahun jamak (multiyear). Padahal, langkah tersebut diambil Dahlan
untuk mengatasi hambatan proyek saat banyak rakyat yang membutuhkan listrik.
Saat itu kejaksaan mempersoalkan sistem
pembayaran ke kontraktor yang memakai sistem per perkembangan kerja (masalah
teknis pembayaran). Menyikapi tuduhan itu, Dahlan akhirnya mengajukan gugatan
praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan terkait dengan
penetapannya sebagai tersangka tersebut. Agustus 2015, hakim akhirnya
mengabulkan seluruh gugatan Dahlan. Menurut hakim, penetapan tersangka itu
tidak sah karena tidak didasari alat bukti yang cukup (hanya berdasar
keterangan dari tersangka lain).
Publik memang sulit percaya bahwa Dahlan yang
pernah membangun budaya bisnis transparan di PLN maupun BUMN tanpa digaji
berurusan dengan hukum. Kini Dahlan kembali harus mengalami kasus serupa.
Entah berdasar keterangan siapa lagi, Dahlan dituduh terlibat korupsi dalam
restrukturisasi PT Panca Wira Usaha (PWU) yang pernah dipimpinnya pada
2000–2010. Selain tidak jelas adanya aliran dana kepada Dahlan (hanya berupa
tanda tangan lelang), mengapa kasus itu baru diusut setelah lebih dari 15
tahun?
Jika ada pihak lain atau bawahan yang melawan
instruksi Dahlan untuk tidak melakukan korupsi dalam proses restrukturisasi
PT PWU, kejaksaan perlu belajar soal pertanggungjawaban transaksi berdasar
pasal 1367 BW (Burgerlijk Wetboek) atau KUH Perdata. Menurut pasal itu,
majikan (direktur) tidak ikut bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan
oleh bawahannya kalau perbuatan itu tidak dapat dicegahnya sesuai dengan
tugas yang seharusnya.
Jadi, kejaksaan tidak seharusnya hanya
mendasarkan penyidikannya pada aspek hukum administrasi/prosedur. Sebab, inti
korupsi adalah penyalahgunaan uang/aset negara untuk kepentingan diri, pihak
lain, atau korporasi (vide pasal 3 UU Tipikor). Namun, selama ini jaksa
sering hanya terfokus pada kebijakan, bukan pada ada tidaknya keuntungan bagi
si pembuat kebijakan itu. Dengan demikian, kebijakan dengan niat baik pun
bisa dikriminalkan.
Bahkan, pejabat pembuat kebijakan yang
menguntungkan negara bisa dikriminalkan oleh kejaksaan. Padahal, jangankan
yang menguntungkan negara, pejabat yang merugikan negara (tanpa melawan
hukum) pun sungguh tidak patut dipidana (sesuai disertasi doktoral penulis
pada 2008 di Unair). Misalnya, seorang pejabat bisa saja membuat kebijakan
yang keliru secara manajerial sehingga merugikan keuangan negara (risiko
suatu kebijakan).
Kalau di dalam kebijakan itu tidak terdapat
unsur melawan hukum (pencurian anggaran atau suap), si pejabat tidak bisa
dipidana. Justru penafsiran jaksa atas pasal 3 UU Tipikor bisa berbahaya karena
koruptor bisa lolos dari jerat hukum hanya dengan dalih tidak adanya
penyalahgunaan wewenang (prosedur administrasi). Padahal, di balik ketiadaan
penyalahgunaan wewenang, bisa jadi ada penyelewengan uang/aset negara
(korupsi legal).
Jadi, sungguh keliru jika jaksa hanya terfokus
pada siapa yang membuat atau menandatangani kebijakan, apalagi kalau si
pejabat itu langsung ditetapkan sebagai tersangka. Sekali lagi, keadilan
bukan sekadar prosedur, tetapi terkait dengan standar moral tertinggi (etika)
apabila norma hukum dan ketentuan acara penegakannya masih berstandar moral
yang rendah.
Demi sehatnya sebuah BUMD seperti PT PWU,
dewan direksi boleh saja melakukan langkah-langkah strategis yang kadang
memerlukan terobosan hukum. Hasilnya, aset PWU bisa diperluas hingga
terciptanya Industrial Estate Wira Jatim. Yang penting niat progresifnya
baik. Di sini legal formal sekadar alat untuk mencapai standar moral keadilan
tertinggi (law as a tool of highest moral justice). Bukan malah sebaliknya,
menghancurkan niat baik kaum profesional yang ingin menyelamatkan dan
mengembangkan aset BUMD.
Karena itulah, mantan Hakim Agung Bismar
Siregar pernah berkata: Bila untuk menegakkan keadilan saya korbankan
kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum tanpa moral justru akan
menimbulkan ragam ketidakadilan sekaligus menggerus kepercayaan masyarakat
terhadap penegakan hukum. Lebih berbahaya jika penegakan hukum (tanpa moral)
berubah jadi alat politik bagi oknum partai politik yang sedang berkuasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar