Malapetaka
di Universitas
Syamsul Rizal ;
Profesor di Universitas Syiah
Kuala, Banda Aceh;
Alumnus Universitaet Hamburg,
Jerman
|
KOMPAS, 01 November
2016
Apakah tugas universitas atau perguruan
tinggi? Tugasnya sudah jelas: melaksanakan Tridharma PT, berdasarkan UU No
12/2012. Tridharma PT adalah kewajiban perguruan tinggi untuk
menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat
Tugas ini tentu saja tugas yang sangat mulia
karena memiliki berbagai tujuan sekaligus: menegakkan nilai-nilai
kemanusiaan, menjaga lingkungan, serta mencari kebenaran secara hakiki. Tugas
mulia ini hanya mungkin dilaksanakan di universitas dan bukan di tempat lain.
Namun, adanya isu suap dalam pemilihan rektor
(Kompas, 26 Oktober 2016) membuat kita sangat terpukul. Bukan saja karena isu
ini tidak sesuai dengan kewajiban
sebuah perguruan tinggi (PT), melainkan isu ini secara diametral telah
bertabrakan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan pencarian kebenaran yang
diperjuangkannya. Isu ini juga ikut membuat lingkungan di negara kita
terbeban dengan beban polusi mental dan moral yang luar biasa.
Tajuk Rencana Kompas (27/10) menginginkan 35
persen suara menteri diperjelas ke mana arahnya. Tak akan muncul pertanyaan
seandainya menteri memberikan 35 persen suaranya kepada calon rektor yang
dapat suara terbanyak dari senat. Jika 35 persen menteri diberikan kepada
calon rektor dengan suara terbanyak kedua atau ketiga, pertanyaan pasti akan
muncul. Apalagi jika keputusan tersebut tidak dilandasi argumentasi dan basis
penilaian yang jelas.
Di samping suara menteri yang 35 persen itu,
saya berpendapat tugas rektor sebagai kuasa pengguna anggaran perlu juga
dipertimbangkan untuk dihilangkan. Di samping itu, dengan adanya isu ini,
hendaknya dapat dijadikan momentum untuk perbaikan PT kita ke depan. Tak
hanya dari segi perbaikan kualitas manajemen, tetapi lebih dari itu untuk
menyehatkan dan memperbaiki mutu PT yang ada selama ini.
Rektor sebagai kuasa
pengguna anggaran
Dengan kewajiban yang sangat mulia, yaitu
untuk melaksanakan Tridharma PT, sebenarnya sangat membanggakan juga apabila
seseorang yang hebat di PT berlomba mati-matian untuk jadi rektor, yaitu
untuk memimpin PT-nya mengeksekusi Tridharma PT. Namun, yang jadi masalah dan pertanyaan
kita semua, kalau hanya ingin menjalankan tugas mulia tersebut, untuk apa
sampai harus memakai cara-cara yang kotor dengan cara menyuap?
Sebenarnya titik inti yang jadi permasalahan
utama kegaduhan pemilihan rektor ini adalah karena rektor merangkap sebagai
kuasa pengguna anggaran (KPA). Dengan anggaran yang luar biasa banyak untuk
pengadaan alat dan barang, merehab gedung lama dan membangun gedung baru
untuk kepentingan pendidikan, posisi rektor sebenarnya sedang berada pada dua
titik ekstrem: sedang mengisap madu atau sedang meminum racun.
Tapi yang jelas, pada dua titik ekstrem
tersebut rektor telah merugikan universitas yang dipimpinnya. Dalam posisi
sedang mengisap madu, rektor sering lupa tugas-tugas akademiknya. Rektor
lebih tersedot perhatian dan energinya untuk menghadapi tugas sebagai KPA.
Hal ini masuk akal karena tugas sebagai KPA harus dikawal habis-habisan
karena menyangkut uang yang banyak dan pertanggungjawaban yang berat.
Rektor memang secara rutin diperiksa BPK,
BPKP, dan inspektorat. Dengan adanya isu suap ini, tampaknya KPK pun akan
masuk kampus. Dalam posisi seperti ini, tidak mungkin lagi seorang rektor
punya waktu dan kesempatan untuk memikirkan visi dan misinya guna menjalankan
Tridharma PT.
Sementara dalam posisi yang sedang meminum
racun, tecermin dari fakta bahwa sudah belasan rektor atau wakil rektor yang
terjerat kasus korupsi. Hal ini tentu saja akan menurunkan wibawa dan marwah
PT serta membuat masyarakat kita menjadi tambah apatis.
Apa artinya ini semua? Tampaknya kita telah
memberi peran yang absurd kepada rektor di universitas kita. Kita semua,
yaitu masyarakat, dosen, dekan, rektor sendiri, dan pemerintah tahu bahwa
memberi tugas kepada rektor untuk mengelola keuangan universitas bukanlah
keputusan yang baik. Ini tugas yang membuat semua elemen di universitas
menjadi sakit, terpuruk dan putus asa. Universitas jadi tak fokus dalam
mengurus sisi akademik yang justru menjadi tugas utama sebuah universitas.
Mengapa demikian? Karena saat seorang rektor
terpilih, dia akan membawa seluruh kawan dan tim suksesnya ke dalam
gerbongnya untuk bersama-sama mengisap madu atau meminum racun yang telah
disediakan oleh sistem di negara kita. Kalau ini terjadi dalam dunia politik,
tentu saja tidak menjadi masalah betul. Orang-orang dalam dunia politik sudah
sangat terbiasa dan paham betul dengan pesta kemenangan dan tersingkir karena
kekalahan Berbeda dengan di PT, tidak ada pertempuran ideologis di sini; yang
ada hanyalah tugas dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian
masyarakat.
Oleh sebab itu, dalam dunia PT, apalagi PT
yang masih lemah, tentu tidak boleh ada yang kalah atau menang. Semua harus
menang. Bayangkan saja kalau ada 50 profesor di sebuah PT, ada 20 profesor
yang salah memberikan suaranya dalam pemilihan rektor. Tentu saja PT tersebut
akan bertambah lemah, andai hanya 30 profesor yang diberdayakan oleh rektor
terpilih.
Dalam PT, semua kerja bersama-sama: dalam tim
mengajar, meneliti, dan dalam melakukan pengabdian pada masyarakat. Pemilihan
rektor, dekan, dan seterusnya yang berlangsung sangat keras jelas akan sangat
merugikan PT. Semua elemen yang ada di dalam PT harus dijaga semangat
kebersamaan dan kekeluargaannya. Kalau sampai elemen-elemen ini terbelah,
yang rugi kita semuanya.
Seharusnya kasus-kasus yang melanda universitas
kita selama ini sudah cukup jadi pembelajaran untuk mencopot KPA dari setiap
rektor di seluruh Indonesia. Biarlah urusan keuangan di PT diurus oleh para
profesional yang mengerti tentang hal tersebut. Dengan pencopotan KPA dari
setiap rektor, kita berharap pemilihan rektor di seluruh Indonesia bisa
didorong untuk dilakukan secara musyawarah. Dengan demikian, seluruh potensi
yang ada di universitas akan dapat diberdayakan dengan semangat kebersamaan
dan kekeluargaan yang tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar