Demokrasi
adalah Proses
Boni Hargens ;
Direktur Lembaga Pemilih
Indonesia
|
KOMPAS, 31 Oktober
2016
Ada apa dengan Dimas Kanjeng Taat Pribadi?
Bagaimana kita menjelaskan logika politik mereka yang mengeksploitasi isu
SARA? Apakah perubahan sosial itu diukur dari hasilnya atau dari proses yang
dialektis?
Sudah sering kita memakai istilah
”pragmatisme”. Barangkali kata ini yang dapat menjelaskan persoalan yang kita
hadapi hari ini. Pragmatisme adalah pandangan filosofis yang menekankan
kegunaan praktis dari segala sesuatu. Sebuah gagasan atau tindakan hanya bisa
dibenarkan kalau ada kegunaan praktisnya dalam hidup.
Setidaknya begitu benang pintal sejak Charles
Sanders Peirce (1839-1914) memulai pragmatisme sebagai gerakan politik di
Amerika pada dekade 1870-an. Di tangan penerusnya. seperti William James
(1842-1910) dan John Dewey (1859–1952), pragmatisme mendapat penguatan.
Namun, persoalannya, ketika kebenaran hanya
diukur dari nilai kegunaan, manusia akan cenderung berorientasi pada hasil,
bukan pada proses. Itulah yang terjadi dengan Dimas Kanjeng Taat Pribadi di
Probolinggo.
Orang berbondong-bondong, bahkan yang bergelar
doktor, datang ke pedepokan Dimas Kanjeng untuk menggandakan uang. Kaum
pragmatis tentu membenarkan tindakan itu. Namun, peradaban bukan soal untung-
rugi. Dan, apa yang dilakukannya membuktikan ketidaktaatan yang radikal
terhadap proses.
Perubahan mental dan pola pikir yang
dikentalkan dengan istilah ”revolusi mental”-nya Presiden Jokowi adalah
substratum dari perubahan sebuah masyarakat atau bangsa. Tidak ada perubahan
mendasar yang dibangun dari mental cari gampang danpola pikir berorientasi
untung.
Dalam praktik, kaum pragmatis didukung
sepenuhnya oleh kaum neoliberal yang mengagungkan kemajuan ekonomis sebagai
indikator pembangunan. Akibatnya, maju-mundur peradaban tidak lagi dilihat
dari seberapa dalam dan bermakna proses dialektika sosial berlangsung, tetapi
dilihat dari berapa dan apa yang didapat.
Kematian proses
Padahal, peradaban demokratik menekankan
proses dan segala nilai yang terkandung di dalamnya. Tentang ini, ada catatan
bagus ditulis oleh Colette Rausch (2012). Dalam analisisnya tentang demokrasi
di Myanmar, Rausch menegaskan bahwa demokrasi adalah sebuah perjalanan. Di
dalamnya, proses adalah substansi yang terpenting. Bagaimana kita membangun
proses itulah yang menentukan makna dari demokrasi an sich.
Dalam banyak praktik, proses itu sudah mati.
Korupsi politik yang masih menjadi beban bagi demokratisasi adalah penghinaan
secara fatal terhadap proses. Penilapan adalah upaya menjadi kaya dalam
sekejap dengan mencampakkan proses.
Begitu pula mereka yang berpolitik secara
kotor. Ada hasrat meraih kekuasaan dengan memainkan isu suku, agama, ras, dan
golongan. Demokrasi dibajak untuk kerakusan politik dan kebodohan yang
menyesatkan. Fakta ini sudah sering terjadi dalam pertarungan elektoral,
termasuk menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017 yang lagi ramai.
Rasa-rasanya, Indonesia yang kaya sumber alam,
suku, agama, bahasa, dan ras terlalu mahal untuk didagangkan. Namun, dalam
setiap pemilu selalu muncul para pecundang yang merusak kebinekaan. Boleh
jadi benar apa yang ditulis Elizabeth Pisani (2014), setelah ia berkeliling
Indonesia bahhwa Indonesia ini kekasih buruk yang raksasa, a giant bad
boyfriend. Bangsa besar yang kaya tetapi rusak karena patronase, korupsi, dan
inkompetensi birokrasi.
Pisani, yang juga menulis The Wisdom of Whores
(2008), heran, kenapa bangsa yang beradab tak peduli dengan nasib pekerja
seksual, tetapi malah selalu ribut soal politik kekuasaan. Mungkin Pisani
menangis kalau tahu cerita di balik layar: bagaimana tempat- tempat hiburan
dijadikan sapi perah ormas-ormas tertentu dan orang politik, sehingga begitu
dibenahi oleh orang seperti Ahok di Jakarta atau Risma di Surabaya, banyak yang
melawan. Di jalan, mereka berteriak ”atas nama rakyat”. Ruang publik
dijadikan panggung sandiwara atas nama ”kebebasan demokratik”.
Lilin di ujung
terowongan
Mengagungkan proses tak berarti upaya
perubahan hanyalah sebuah proses. Di negara ini, banyak masalah yang
dibongkar dan diusut tetapi tidak pernah tuntas. Pemimpin gagal sering
beretorika atas nama ”proses” untuk membela diri.
Itulah yang terjadi, misalnya, dengan kasus
kematian aktivis hak asasi manusia, Munir. Sejak 2004, kasus ini dibuka tetapi
selalu gelap. Ini bukan proses yang dimaksud. Mantan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengatakan, belum lama ini, kasus Munir sudah politis. Itulah yang
menjelaskan kenapa kasus ini tidak pernah tuntas dalam 10 tahun pemerintahan
SBY.
Proses yang benar dan berkualitas mesti
melibatkan motivasi dan intensi yang baik untuk kebaikan itu sendiri dan di
luarnya. Kalau diibaratkan dengan perjalanan dalam terowongan gelap, proses
yang sejati selalu mengarah pada lilin yang menyala di ujung terowongan. Ada
tujuan yang pasti dan kepastian dalam tujuan. Akankah lilin itu menyala di
tangan Jokowi sehingga kotak pandora kematian Munir terpecahkan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar