Jokowi
vs Pungutan Liar
Oce Madril ;
Direktur Advokasi Pusat Kajian
Antikorupsi FH UGM;
Saat Ini Sedang Riset Doktoral di
Van Vollenhoven Institute Universitas Leiden, Belanda
|
KOMPAS, 31 Oktober
2016
Presiden Joko Widodo geram atas terungkapnya
pungutan liar di Kementerian Perhubungan. Jokowi terlihat marah dan
memberikan perintah tegas agar pungutan liar diberantas. Setelah itu,
terbitlah kebijakan operasi sapu bersih pungutan liar yang menjadi salah satu
prioritas dalam paket kebijakan reformasi hukum.
Pungutan liar adalah tipe korupsi
administratif. Dalam berbagai studi sering disebut sebagai street-level
corruption, yaitu korupsi yang dilakukan oleh pegawai pemerintah yang
biasanya dalam bentuk suap atau pemerasan yang diterima dari pihak-pihak yang
berurusan dengan pemerintah karena perizinan atau bentuk pelayanan lainnya
(Carl Dahlstrom, 2011).
Akibat buruknya adalah hak konstitusional
warga negara atas pelayanan publik yang baik dan jaminan atas kepastian hukum
terganggu oleh ulah oknum nakal pelaku pungli ini.
Sejak Orde Lama
Jokowi bukanlah presiden pertama yang geram
atas maraknya praktik pungutan liar. Jauh sebelumnya, presiden pertama
republik ini, Soekarno, juga marah atas korupsi yang dilakukan oleh pejabat
pemerintahan melalui pungutan-pungutan tak resmi. Untuk merealisasikan
komitmen anti pungli, Soekarno membentuk Badan Pengawas Kegiatan Aparatur
Negara (Bapekan).
Badan ini dibentuk berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 1 Tahun 1959. Bapekan berkedudukan langsung di bawah presiden
dan diisi figur-figur yang dipandang bersih pada waktu itu. Ketuanya Sri
Sultan Hamengku Buwono IX. Fungsi utamanya menerima dan menyelesaikan
pengaduan publik. Pengaduan ini bisa berasal dari masyarakat atau dari
aparatur negara sendiri, terutama ihwal korupsi di birokrasi.
Irene Tinker dan Millidge Walker (1959), dalam
artikel Indonesia’s Panacea: 1959 Model, menceritakan, pembentukan Bapekan
menunjukkan bahwa untuk pertama kalinya keseriusan Pemerintah Indonesia
memberantas korupsi dan pungli di lembaga pemerintahan. Ini merupakan jawaban
Presiden Soekarno yang pada waktu itu tengah dikritik atas maraknya
penyelewengan kekuasaan di tubuh pemerintahannya.
Kehadiran Bapekan dimanfaatkan oleh masyarakat
untuk menyampaikan pengaduan korupsi. Tidak hanya korupsi besar, tetapi juga
korupsi dalam jumlah kecil, termasuk di institusi militer. Sayangnya, Bapekan
tidak berumur panjang. Badan ini dibubarkan pada 1962.
Pada zaman Orde Baru, Presiden Soeharto juga
tak kalah marahnya atas pungli. Soeharto menginstruksikan Operasi Tertib
(Opstib). Melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1977, operasi itu resmi
dilancarkan. Kinerjanya cukup baik, terlihat dari ribuan kasus yang ditangani
dan aparatur yang disanksi. Namun, sama seperti Bapekan, operasi ini
dihentikan tanpa alasan yang jelas pada 1981.
Evaluasi kelemahan
Nyatanya republik ini telah lama berjuang
untuk memberangus pungli. Presiden silih berganti memerangi pungli, tetapi
tak juga berhasil.
Ada beberapa kelemahan selama ini.
Pemberantasan pungli selalu dilakukan dengan pendekatan ad hoc. Strategi
temporal melalui terapi kejut (penangkapan) dan pembentukan tim/satgas selalu
menjadi pilihan. Dikatakan ad hoc karena upaya memerangi pungli jarang yang
berumur panjang. Itu pun dilakukan secara parsial. Pendekatannya selalu
penegakan hukum tanpa memperbaiki tata kelola. Padahal, tata kelola yang
buruk inilah pangkal masalah pungli.
Tidak mengherankan jika pengaturan
pemberantasan pungli mengandung kelemahan, misalnya masalah kewenangan.
Lembaga yang dibentuk tidak dibekali dengan kewenangan yang cukup untuk
memberantas pungli sekaligus memperbaiki tata kelola pemerintahan.
Maka, masalah fundamental tidak pernah
teratasi. Muncul kesan bahwa gerakan ini menyesuaikan diri dengan keinginan
presiden yang kadang bercampur dengan kampanye untuk sekadar meraih simpati
publik.
Kelemahan lainnya adalah memudarnya komitmen
politik presiden. Lembaga yang dibentuk tidak mendapatkan dukungan politik
yang konsisten sehingga menemui berbagai kesulitan dalam bekerja.
Pengalaman membuktikan bahwa ada saja
lembaga-lembaga yang tidak mau atau menolak untuk bekerja sama. Ujung dari
pudarnya komitmen politik ini adalah pembubaran lembaga yang dibentuk. Bisa
dipastikan, lembaga bubar, program bubar, dan masalah yang sama muncul
kembali.
Zaman Jokowi
Saat ini bagaimana dengan kebijakan Presiden
Jokowi? Dilihat dari tim yang dibentuk dengan kepolisian sebagai leading
sector, kebijakan itu mengesankan kentalnya pendekatan represif daripada
perbaikan tata kelola. Tim ini memiliki kemiripan dengan pola kerja lembaga
yang dibentuk pada Orde Lama dan Orde Baru.
Jika operasi anti pungli hanya salah satu
program, Presiden Jokowi harus melengkapinya dengan paket perbaikan tata
kelola pemerintahan. Harus ada jembatan yang menghubungkan antara penegakan
hukum represif dan perbaikan tata kelola. Setidaknya transparansi birokrasi
ditingkatkan dan proses birokrasi dibuat sederhana. Sistem pengawasan
internal juga harus diperkuat karena pungli seperti benalu yang selalu
menempel pada sistem yang tak transparan, berbelit-belit, zonder pengawasan.
Setelah itu, diperlukan komitmen politik. Kita
berharap komitmen politik anti pungli ini dijalankan secara serius oleh
Presiden Jokowi dengan memimpin langsung perang melawan pungli. Meminjam konsep
Jon St Quah (2009), komitmen politik adalah syarat pertama keberhasilan
pemberantasan korupsi.
Tanpa adanya komitmen politik, kebijakan anti
korupsi akan menemui jalan buntu atau kegagalan. Rezim presiden sebelumnya
telah membuktikan sulitnya menjaga komitmen politik ini. Apakah kali ini
Presiden Jokowi akan mampu menjaga konsistensi komitmennya dan menaklukkan
pungli? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar