Ilusi
Sanksi Berat Politik Uang
Fadli Ramadhanil ;
Peneliti Hukum Perkumpulan
untuk Pemilu dan Demokrasi
|
KOMPAS, 02 November
2016
Harapan adanya sanksi berat terhadap pelaku
politik uang hampir dipastikan hanya ilusi. Sanksi berat dalam bentuk
diskualifikasi sebagai pasangan calon kepala daerah akan sulit terlaksana.
Selain adanya legitimasi terhadap pemberian
uang tunai di dalam UU Pilkada,kekhawatiran terhadap mekanisme penegakan
hukumnya juga kian mengemuka. Kekhawatiran ini semakin terang ketika melihat
dan membaca kesimpulan dari proses konsultasi Peraturan Bawaslu Tentang
Pelanggaran Politik Uang yang Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) di DPR
awal Oktober (Kompas, 13/10). Jika melacak kesimpulan rapat dengar pendapat
peraturan Bawaslu tersebut, terdapat dua hal krusial yang akan menyulitkan
proses penegakan hukum terhadap pelanggaran politik uang.
Pertama, tim kampanye pasangan calon tidak
dimasukkan menjadi salah satu subyek yang dapat diberikan sanksi dalam
praktik politik uang yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif. Kedua,
jika pasangan calon yang didiskualifikasi Bawaslu dalam pencalonan mengajukan
upaya hukum ke Mahkamah Agung di tengah hari pemungutan suara, sanksi
diskualifikasi akan ditangguhkan, dan yang bersangkutan tetap bisa mengikuti
pemilihan.
Keraguan pembentuk UU
Dua hal krusial di atas tentu saja mementahkan
tujuan utama desain sanksi berat terhadap pelanggaran politik uang. Pertama,
memberikan sanksi yang tegas kepada pasangan calon dan timnya yang melakukan
pelanggaran politik uang guna memberikan efek jera. Kedua ”melindungi”
pemilih dari pasangan calon yang merusak kontestasi demokrasi dengan
melakukan politik uang.
Namun, dengan adanya dua kesimpulan rapat
konsultasi peraturan Bawaslu yang disinggung di atas, tujuan ini akan sangat
sulit dicapai. Sangat disayangkan memang, ketika mentahnya ketegasan sanksi
politik uang itu justru muncul dari pembentuk undang-undang sendiri, yakni
Komisi II DPR.
Padahal, semangat memberikan sanksi berat
kepada pelaku politik uang, yang diikuti dengan penambahan kewenangan kepada
Bawaslu untuk mendiskualifikasi pasangan calon kepala daerah, adalah semangat
yang muncul dari Komisi II DPR pada proses revisi UU Pilkada yang lalu. Fakta
ini tentu saja memperlihatkan keraguan para pembentuk undang-undang untuk
menekan angka politik uang yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif.
Keraguan itu terlihat dari tidak konsistennya
ketentuan di dalam Pasal 187A UU No 10 Tahun 2016, dengan rekomendasi yang
diberikan kepada Bawaslu terkait dengan subyek yang bisa dijerat sebagai
pelaku politik uang. Pasal 187A dengan sangat jelas mengatur bahwa subyek
pelaku politik uang yang dapat dikenai sanksi adalah ”setiap orang”. Artinya,
siapa pun yang melakukan praktik politik uang—termasuk tim sukses— tentu
menjadi bagian yang dapat diberikan sanksi jika melakukan politik uang.
Begitu juga dengan ketentuan di dalam Pasal 73
Ayat 1 UU No 10 Tahun 2016. Konstruksi normanya secara tegas mengatakan,
”Calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang
atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau
pemilih”. Namun, ketika rekomendasi yang diberikan Komisi II DPR kepada
Bawaslu agar tim kampanye tidak bisa masuk menjadi subyek pelaku politik uang,
ini tentu saja bertentangan dengan apa yang diatur di dalam Pasal 73 Ayat 1
dan 187A UU No 10 Tahun 2016.
Jika ditelusuri, sikap Bawaslu sebenarnya ada
di posisi yang berseberangan dengan apa yang direkomendasikan Komisi II DPR.
Pandangan Bawaslu sederhana. Tim sukses adalah pihak yang paling rawan
melakukan politik uang. Karena kecenderungannya, sangat jarang pasangan calon
langsung yang akan melakukan praktik politik uang kepada pemilih (Kompas,
5/10). Oleh sebab itu, tim kampanye jelas bagian yang tidak bisa dipisahkan
sebagai pelaku politik uang yang akan dirumuskan dalam perbuatan yang
terstruktur, sistematis, dan masif tersebut.
Kepastian hukum
Selain persoalan tim kampanye yang tidak
dimasukkan sebagai pelaku politik uang, tantangan lain adalah pasangan calon
yang sudah dicoret oleh Bawaslu tetap bisa mengikuti pemilihan jika yang
bersangkutan melakukan upaya hukum ke Mahkamah Agung. Jika merujuk ketentuan
di dalam Pasal 135A Ayat 7 UU No 10 Tahun 2016, Mahkamah Agung diberikan
waktu maksimal 14 hari untuk memeriksa dan memutus upaya hukum pasangan calon
yang dibatalkan kepesertaannya oleh KPU berdasarkan putusan Bawaslu provinsi.
Namun, muncul pertanyaan, bagaimana jika upaya
hukum yang dilakukan pasangan calon yang sudah dicoret kepesertaanya dalam
pilkada dilakukan berdekatan dengan hari pemungutan suara? Menjawab
pertanyaan ini mesti dilihat dari dua sisi. Pertama, upaya hukum yang
dilakukan pasangan calon perlu untuk dilindungi karena berkaitan dengan hak
konstitusionalnya sebagai warga negara untuk dapat dipilih dalam sebuah
pemilihan umum.
Kedua, bagaimana melindungi pemilih agar tidak
dipimpin calon yang melakukan pelanggaran hukum, terutama perbuatan politik
uang. Berpijak pada dua hal tersebut, pasangan calon yang melakukan upaya
hukum dan berdekatan dengan hari pemungutan suara mestinya tetap bisa
disertakan dalam pemilihan.
Hanya saja, perlu pengaturan yang lebih detail
terkait dengan waktu penanganan upaya hukum di Mahkamah Agung. Idealnya,
Mahkamah Agung diberikan tenggat waktu paling lambat mesti mengeluarkan
putusan tiga hari menjelang penetapan hasil pemilihan oleh Komisi Pemilihan
Umum (KPU).
Dengan demikian, jika nanti putusan Mahkamah
Agung menguatkan putusan Bawaslu provinsi yang mencoret pasangan calon, bisa
ditindaklanjuti dengan mendiskualifikasi kepesertaan yang bersangkutan oleh
KPU pada tahapan penetapan hasil pilkada.
Jika pasangan calon yang dicoret adalah
pemenang pemungutan suara, KPU bisa memutuskan pemenang pemilihan adalah
peraih suara terbanyak kedua. Hal inilah sebaiknya yang diatur di dalam
peraturan Bawaslu karena belum diatur sama sekali di dalam UU Pilkada. Lebih
dari itu, pengaturan ini akan memberikan penghormatan terhadap upaya hukum
pasangan calon, sekaligus memberikan kepastian hukum kepada pasangan calon
terbukti melakukan pelanggaran dapat didiskualifikasi, meskipun memenangi
pemungutan suara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar