Defisit
BPJS dan Dokter Layanan Primer
Badrul Munir ;
Dokter Spesialis Saraf RS
Saiful Anwar;
Dosen Neurologi FK Universitas
Brawijaya
|
KOMPAS, 02 November
2016
Masalah JaminanKesehatan Nasionalyang
dilakukanBPJS Kesehatan selalu jadi berita menarik untuk ditelaah. Di balik
banyak manfaat yang diterima masyarakat dalam mendapatkan pelayanan
kesehatan,kita dikejutkan dengan berita defisit anggaran BPJS yang tahun
inidiperkirakan hampir Rp 9 triliun.
Perlu diketahui, sejak Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan ini digulirkan menjadi program nasional,
selalu terjadi defisit: dari Rp 3,3 triliun (2014) menjadi Rp 6 triliun
(2015), dan sekarang menyentuh Rp 8 triliun-Rp 9 triliun.Seperti biasa,
defisit tersebutditutup pemerintah melalui APBN2016. Memang penutupan defisit
tersebut sudah jadi kewajiban pemerintah dalam menjalankan amanat UU ini,
tapi adanya defisit ini menunjukkan ada sesuatu yang belum sempurna dalam
pelaksanaannya.
Beberapa penyebab defisit BPJS, secara sederhana,
karenaketidakseimbangan antarapemasukandan pengeluaran. Sampai saat ini besar
pembayaran yang diklaimkan layanan kesehatan tak sebanding pemasukan dari
iuran peserta BPJS. Bahkan, keanggotaan peserta BPJS pun belum mencapai
target yang diinginkan. Akibatnya, pemasukan dari iuran pun tak maksimal. Hal
lain adalah besarnya iuran yang memang diseting lebih rendah daripada
seharusnya, baik kelas I, II, maupun III. Walaupun telah mengalami kenaikan
beberapa waktu yang lalu, sesungguhnya bukan nilai yang sebenarnya
Penyebab berikutnya, sistem rujukan yang belum
berjalan sempurna. Hal ini dilihat dari banyaknya jumlah kunjungan ke
fasilitas kesehatan (faskes) tingkat 2 (rumah sakit tipe B, C dan D) dan
faskes 3 (tipe A) yang seharusnya bisa tertangani di fakes layanan primer.
Akibatnya, biaya klaim rumah sakit ke BPJSakan ikut meningkat.
Dalam hal ini, kemudian pemerintah
mengeluarkan jurus andalan berupakebijakan dokter layanan primer(DLP), yang
mendapat payung hukum UU No 20/2013. Diharapkan paraDLPbisa menangani
kualitas layanan terdepan dengan menjaga kesehatan yang bersifat promotif dan
kuratif sehingga angka kejadian penyakit ditekan dan jumlah kunjungan serta
klaim biaya kesehatan bisa menurun.
Dengan layanan kesehatan yang berorientasi
promotif dan preventif diharapkan mengembalikan marwah pusatlayanan kesehatan
(baca: puskesmas). Sebab, kesuksesan derajat kesehatan suatu bangsa bukan
terletak pada tindakan kuratif dan rehabilitatif, seperti yang dirasakan
masyarakatsaat ini, tetapi lebih ke upaya pencegahan melalui kedokteran
komunitas dan kedokteran keluarga.
Setara dokter
spesialis
Namun, yang perlu ditelaah kritis adalah
apakah dokter layanan primeryang dimasukkan dalam UU No 20/2013merupakan
solusi dari permasalahan kesehatan nasional, khususnya defisit keuangan BPJS?
Menurut UU ini, DLP adalah dokter umum yang
harus melanjutkan pendidikan setara spesialis agar bisa memberi layanan pada
fasilitaskesehatan di tingkat pertama, seperti puskesmas dan klinik rawat
jalan. Dokter yang tak ikut DLP tak boleh melayani pasien BPJS, walaupun
mereka telah dinyatakan lulus sebagai dokter melalui ujian kompetensi
nasional. Sungguh naif perjuangan mahasiswa kedokteran selama enam tahun
belajar plus ujian kompetensi nasional dan internship di daerahterpencil, belum
meyakinkan pemerintah akan kompetensi anak bangsa ini.
Di satu sisi, pemerintah bersikapuntuk urusan
kompetensi dan mutu pemerintah mengharap dokter berstandar tinggi, setara
dengan dokter luar negeri. Namun, di saat yang sama penghargaan terhadap
dokter masih minim dibandingkan tanggung jawab dan tuntutan hukum saat
melaksanakan profesinya
Itulah kehebatan hegemoni BPJS: bukan hanya
bisa memonopoli asuransi kesehatan, tetapi mampu mengubah sistem layanan
pendidikan kesehatan secara radikal. Semua akan tunduk dan dipaksa patuh
kepada aturan BPJS walaupun sistem tersebut belum tentu baik dan
menguntungkan masyarakat.
Kita semua paham bahwa layanan kesehatan
pertama di masyarakat harus ditingkatkan. Namun, cara peningkatan bukan
dengan cara memaksakan DLP. Buatlah suatu sistem yang terintegrasi-holistik
dan berkesinambungan, dengan mengolaborasi sistem yang sudah berjalan dengan
baik, mendengarkan semua aspirasi praktisi lapangan. Bukan dengan cara
parsial seperti DLP.
UU No 12/2013 yang disahkan pun terlalu cepat
dan tanpa kajian akademik yang memadai dan hanya meniru suatu sistem
kesehatan negara lain. Akibatnya terjadi kegaduhan baru, di manaDPR meminta
penundaan pelaksanaan UU ini karenabertabrakan dengan UU sebelumnya (UU
Praktik Kedokteran dan UU Kesehatan) DLP ini pun ditolak dokter seluruh
Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesiadan sudah dilakukan
upaya hukum denganuji material ke MK walaupun dikalahkan.
Saya yakin kalaupun DLP ini berhasil
”dipaksakan” berjalan di Indonesia tidak akan bisa menyelesaikan masalah
defisit BPJS Kesehatan dan masalah kesehatan dasar lainnya. Ibarat mengobati
sebuah penyakit, lewat program DLP ini pemerintah salah membuat diagnosis,
sehingga terapi yang diberikan pun tidak adekuat. Alhasil, bukan hanya penyakit
tidak sembuh, ia justru akan memunculkan komplikasi lain yang lebih
berbahaya.
Mungkin suatu saat pemerintah baru menyadari
kesalahan DLP itu dan mengubah dengan sistem lain. Namun, terlalu naif
apabila suatu sistem kesehatan nasional yang dibuat tanpa perencanaan yang
matang, kemudian dipaksakan dilaksanakan. Tentu ia akan menghasilkan dampak
negatif di masa yang akan datang. Ibarat kata mutiara:”gagal merencanakan
sesuatu berarti merencanakan suatu kegagalan”. Memang ironi, kegagalan BPJS
dalam tata kelola keuangan ditimpakan kepada dokter dengan pemaksaan DLP. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar