Mencari
Keadilan Melalui Demonstrasi
Arifki ; Pengamat
Politik
|
HALUAN, 29 November
2016
Demonstrasi 2 Desember 2016 nanti dipusatkan di Monas setelah Kapolri
berkoordinasi dengan MUI, FPI dan ormas-ormas lainnya. Terjadi perbedaan pendapat
sebelumnya antara pelaku ujuk rasa dengan pihak keamanan menentukan lokasi
utama demonstrasi.
Demonstrasi,Jumat,
4 November 2016 yang lalu atau dikenal dengan “gerakan 411” berlanjut
dengan demo-demo “kontra 411” yakni dengan demo 19 November 2016, lebih
populer dengan “gerakan Bhineka Tunggal Ika”.
Tidak bisa
dipungkiri gerakan 411 atau pun “ Bhineka Tunggal Ika” bisa disusupi,
apakah penyusup itu mendukung gerakan atau memanfaatkan situasi dengan
ketidaksukaan terhadap “aktor” yang didemo.
Saya menilai
gerakan 411 merupakan bentuk protes “massa aksi” terhadap dugaan penistaan
agama yang dilakukan Ahok. Di balik massa yang menggugat Ahok karena diduga
menistakan agama, asumsi saya massa aksi yang bergerak bagian dari
korban penggusuran atau reklamasi. Kebijakan Ahok yang masih menjadi
kontroversi mengelola Jakarta menjadi api ledak gerakan ini, tetapi tak bisa
dipungkiri pula gerakan ini disusupi oknum tertentu yang memanfaatkan untuk
meyerang Ahok yang maju lagi menjadi calon gubernur DKI Jakarta.
Gerakan
menggugat Ahok sudah sewajarnya dilakukan masyarakat yang merasa tersinggung
dengan pernyataan Gubernur DKI Jakarta non-aktif ini. Hak menyampaikan pendapat
di muka umum, menyampaikan protes sudah diatur undang-undang. Menggungat
Ahok mengenai ucapannya di Kepuluan Seribu (surat Al-maidah ayat 51),
kita tak perlu pula menyalahkan penggugat yang merasa tersinggung.
Melarang aksi
unjuk rasa yang dilakukan “massa” dengan alasan Ahok sudah tersangka tidak
lah tepat, apalagi menduga aksi yang dilakukan 2 Desember 2016 nanti
bagian dari “makar”. Pasalnya, Buni Yani yang menyebarkan video Ahok atas
ucapan surat Al-Maidah ayat 51 juga berstatus tersangka. Jika ini “game”,
posisi Ahok dengan Buni Yani sudah sama—pastinya siapakah yang bersalah Ahok
atau Buni Yani? Ini masih perlu proses panjang menentukan benar dan salahnya.
Tuduhan
terhadap gerakan 411 ditunggangi aktor politik tertentu, tak bisa dipungkiri
“gerakan Bhineka Tunggal Ika” juga bagian dari gerakan yang ditunggangi.
Memposisikan gerakan Bhineka Tunggal Ika sebagai unjuk rasa peduli
toleransi, menurut saya itu hanya basa-basi yang sama saat demo 411 murni
mengugat Ahok terkait dugaan penistaan agama, ujung-ujungnya ada pihak
tertentu yang diuntungkan—terutama yang sudah lama ingin menekan Ahok.
Sejak dari
dulu demonstrasi memang sering menguntungkan orang-orang
tertentu,
orang yang persoalannya sama yakni menggugat aktor tertentu walaupun isu
yang dipersoalkan berbeda. Demi meramaikan massa mereka ikut dengan
gerakan massa demi meloloskan misi pribadinya.
Penunggang
Gerakan Demonstrasi
Tunggang
menunggang dalam demonstrasi sudah biasa di dunia gerakan. Akan banyak yang
mendapatkan panggung, mengklaim kepada orang lain (publik) dengan besarnya
gerakan yang dilakukan orang lain, tetapi ia berhasil saja mendapatkan
panggung depan atau menguplod photo unjuk rasa dengan memperdagangkannya.
Sangat
disayangkan jika yang berbicara dimedia sosial aktivis terkenal, berhubung
telah mendapatkan jatah kekuasaan ia menyalahkan orang berdemonstrasi
sebagai sesuatu yang salah. Ia baru merasakan kekuasaan, tetapi ada pula
aktivis yang menganggu kekuasaan yang didapatkannya. Ibaratnya, terjadi
perputaran zaman orang-orang kritis—saat dulu ia ”kritis” dan sekarang
mendapatkan kekuasaan, maka tak usah gusar dengan anak-anak muda kritis era
sekarang yang sama dengan kita atau melebihi dan mengkritik kita yang sedang
menikmati kekuasaan.
Efektifkah
Demonstrasi 2 Desember?
Pada 2
Desember 2016 nanti juga ada unjuk rasa yang merupakan aksi lanjutan gerakan
411. Yang menjadi pertanyaan, efektifkah gerakan tersebut? Sebab gerakan ini
bisa menjadi isu yang buruk jika tidak terkelola secara baik, seperti
gerakan 411 yang menyebabkan kerusuhan pada akhir unjuk rasa.
Pasalnya, Ahok
sudah berstatus tersangka, lebih mudah opini yang digerakkan bahwa pelaku
demonstrasi “212” sebagai gerakan yang memiliki tujuan lain. Karena,
Ahok sudah berstatus tersangka, untuk melawan itu perlu rasanya koordinator
lapangan aksi “212” untuk mewanti-wanti gerakan ini disusupi.
Penyusupan itu
bukan hanya ada pihak yang memanfaatkan ini sebagai bagian dari “agenda
makar” seperti yang didesus-desuskan, walaupun saya tak pernah sepakat dengan
isu yang terlalu dini dikumandangkan. Alasannya, secara kekuatan politik
Presiden Jokowi memiliki kekuatan kuat di parlemen, apalagi setelah
bergabungnya Partai Golkar dan PAN ke barisan kabinet kerja.
Selanjuntnya, kekhawatiran yang terjadi
pengawasan terhadap pelaku demonstrasi dilarang. Ke depan demonstrasi bisa
dianggap sebagai sesuatu yang “tabu” karena berlebihannya respon pemeritah.
Kritik kepada pemerintah, demonstrasi merupakan bagian sarana penyampain
aspirasi yang sudah biasa.
Ini menjadi
belenggu yang menakutkan ketika mengkritik dianggap sebagai “perusak
pembangunan” dan “kedamaian”. Lebih jauhnya, usaha-usaha meng-orbakan masyarakat modern dengan cara-cara
seperti bukan hanya menjadi masalah kebebasan berekpresi tetapi keberaniaan
masyarakat melakukan kritik.
Kelemahannya,
terjadi sentralisasi kekuasaan yang tidak dibagi kepada lembaga lain
ataupun aktor (keseimbangan). Semua lini dikuasai pemerintah atau pendukung
pemerintah—mulai dari parlemen, informasi, hukum, politik dan ekonomi.
Mudah saja bagi pemerintah mengubah opini-opini masyarakat yang tersesat
dan mendua terhadap kebenaran. Bisa disebabkan tidak tahunya dengan informasi,
bisa juga tidak mampunya masyarakat melawan gerakan yang tersistematis.
Saat cara-cara
yang biasa dilakukan masyarakat dilarang, media yang sulit dipercaya dan
dikuasainya tempat-tempat masyarakat memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah kah
mereka melawan menggunakan segala cara melawan penindasan? Saat hukum, politik
dan ekonomi tak lagi bisa dipercaya.
Di baliak oknum-oknum yang memanfaatkan agama
sebagai alat mendapatkan kekuasaan dan memperkaya diri/kelompok. Agama
juga bisa menjadi semangat perlawanan, saat intelektual, akitivis yang
dipercaya menceburkan diri ke dalam kekuasaan, menjabat sebagai komisaris,
kepala-kepala dan lain-lain.
Suara-suaranya
tak lagi nyaring berbicara kemanusiaan, kelantangannya berbicara hanya
terkait isu-isu agama. Aktivis yang dulu nafasnya penuh perlawanan sekarang
menjadi juru bicara pemerintah. Maka wajar sulit mencari dimana wadah
perlawanan itu digelorakan.
Salah kah
Habib Rizieq banyak pengingutnya akhir-akhir ini? Yang dari dulu kita pun tahu bagaimana
caranya bergerak. Seorang ideologkah Habib saat sekarang banyak pengingutnya—satu dalam gerakan yang
sama—melawan penindasan. Agama telah menjadi alat perlawanan saat penguasa
tak lagi mau mendengar keluh kesah masyarakat yang digusur, reklamasi dan
lain-lain. Salahkah seperti itu bung Aktivis yang selalu membela? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar