Jumat, 27 Januari 2012

Tarik Ulur Subsidi BBM


Tarik Ulur Subsidi BBM
Razali Ritonga, DIREKTUR STATISTIK KEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAAN BPS RI
Sumber : REPUBLIKA, 26 Januari 2012


Dampak buruk naiknya harga BBM pada 2005 tampaknya terus membayangi  pemerintah maupun wakil rakyat. Diketahui, pemerintah pada saat itu menaikkan harga BBM dua kali dalam setahun, yaitu 1 Maret 2005 dan 1 Oktober 2005. Secara faktual, dampak buruk yang diakibatkan naiknya harga BBM saat itu adalah merosotnya daya beli masyarakat sehingga meningkatkan angka kemiskinan. Tercatat, angka kemiskinan meningkat dari 15,42 persen menjadi 17,75 persen.

Maka, atas dasar itu, menaikkan harga BBM merupakan kebijakan yang tidak populer dan harus dihindari. Fenomena ini barangkali yang diperhitungkan wakil rakyat ketika menetapkan UU APBN 2012, terutama dalam Pasal 7 ayat 4 UU APBN 2012 yang menetapkan bahwa pemerintah perlu mengatur alokasi BBM bersubsidi dan Pasal 7 ayat 6 tidak menaikkan harga BBM bersubsidi.

Subsidi BBM versus Infrastruktur

Namun, di tengah meningkatnya permintaan BBM bersubsidi, ketentuan dalam Pasal 7 ayat 6 itu kembali menjadi sorotan sejumlah pihak. Pasalnya, jika BBM tidak dinaikkan, besarnya anggaran untuk subsidi BBM akan kian membengkak. Pada 2011, misalnya, dari Rp 129,7 triliun yang dialokasikan pemerintah untuk BBM bersubsidi ternyata realisasinya sebesar Rp165,2 triliun.
 
Fakta ini sekaligus menunjukkan bahwa anggaran untuk subsidi BBM besarnya hampir dua kali lipat dari anggaran untuk program antikemiskinan pada 2011, yang besarnya Rp 86,1 triliun.

Bahkan, meningkatnya anggar an subsidi BBM pada gilirannya akan melemahkan kemampuan untuk pembangunan sektor-sektor lainnya, terutama infrastruktur pe nunjang kegiatan ekonomi dan infrastruktur layanan publik.       Padahal, pembangunan infrastruktur saat ini tak kalah mendesaknya untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kualitas hidup penduduk.

Diketahui, kurangnya infras truktur penunjang ekonomi meng akibatkan biaya tinggi (high cost economy) sehingga melemahkan daya saing produk barang dan jasa. Akibatnya, harga produk men jadi mahal dan kalah bersaing dengan produk impor. Pada tahap
lanjut, banyak usaha dan perusahaan dalam negeri yang akan kalah bersaing dan berpotensi mengalami kebangkrutan sehingga akan meningkatkan pengangguran dan kemiskinan. Ini sekaligus mengisyaratkan bahwa potensi meningkatnya kemiskinan juga akan terjadi baik dengan maupun tanpa kenaikan harga BBM.

Sementara itu, kurangnya anggaran untuk pembangunan infrastruktur layanan publik akan menurunkan kualitas hidup penduduk. Ada dua aspek infrastruktur layanan publik yang saat ini masih sangat kurang, yaitu infrastruktur pendidikan dan kesehatan. Kurang memadainya infrastruktur pada kedua aspek ini diperkirakan berkontribusi ter hadap tertinggalnya pembangun an manusia Indonesia. Laporan UNDP (2011) menyebutkan bahwa peringkat pembangunan ma nusia Indonesia berada di posisi 124 dari 187 negara atau meng alami penurunan dibandingkan keadaan tahun sebelumnya yang berada di peringkat 108 dari 169 negara (UNDP, 2010).

Lebih jauh, kurangnya anggaran untuk pembangunan manusia, khususnya pendidikan dan kesehatan di Tanah Air dapat diketahui dengan membandingkan dengan sejumlah negara. Malaysia, misalnya, mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 4,5 persen dan kesehatan sebesar 1,9 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sedangkan Alokasi anggaran pendidikan kita sebesar 3,5 persen dan kesehatan sebesar 1,9 persen dari PDB 2010. Sekadar catatan Norwegia sebagai negara tertingg peringkat pembangunan manusianya di dunia mengalokasikan anggaran untuk pendidikan sebesar 6,7 persen dan kesehatan sebesar 7,9 persen dari PDB.

Bahkan, kurangnya anggaran pembangunan manusia di Tanah Air sudah terdeteksi sejak lama Cina, misalnya, telah menetapkan prioritas pembangunan manusia lebih dahulu dari Indonesia, terdeteksi dari besarnya anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan manusia. Pada 1988, misalnya anggaran yang dialokasikan Cina untuk pembangunan manusia sebesar tujuh dolar AS per kapita sementara Indonesia hanya meng alokasikan sebesar tiga dolar AS per kapita. Padahal, pendapatan per kapita Cina saat itu hanya sebesar 330 dolar AS, sedangkan Indonesia sebesar 440 dolar AS (UNDP, 1991).

Revisi UU APBN

Maka, atas dasar itu, pemerintah sepatutnya perlu mempertimbangkan untuk mengurangi subsidi BBM dan mengalihkan sebagian subsidi itu untuk kepentingan pembangunan infrastruktur dan sebagian lainnya untuk jaring pengaman sosial (social safety nets). Adapun perlunya jaring pengaman sosial terutama untuk mengantisipasi potensi meningkatnya penduduk miskin sebagai dampak kenaikan harga BBM.

Namun, pemerintah tidak bisa menetapkan kenaikan harga BBM tanpa persetujuan DPR. Maka, atas dasar itu, pemerintah perlu mengusulkan kepada DPR untuk melakukan revisi UU APBN 2012, khususnya yang berkaitan dengan Pasal 7 ayat 6 tentang ketetapan harga BBM. Sepatutnya, dalam usulan itu pemerintah perlu menetapkan kenaikan harga BBM secara wajar.

Sebenarnya, jika pemerintah tidak menurunkan harga BBM pada 2008 lalu yang besarnya Rp 6.000, maka boleh jadi pemerintah saat ini tidak perlu dipusingkan untuk menaikkan harga BBM. Sementara, dana yang terhimpun dari selisih harga (wind fall profit) bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur penunjang kegiatan ekonomi dan peningkatan kualitas hidup penduduk.

Pemerintah sepatutnya perlu berhitung secermat mungkin atas penggunaan anggaran belanja nasional sehingga bisa dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat. Tarik ulur anggaran di DPR, khususnya untuk subsidi, pasti akan terjadi, tapi seyogianya penggunaan anggaran tetap diutamakan untuk masyarakat dan kemajuan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar