Kamis, 26 Januari 2012

Mengurai Kekusutan Keberagamaan


Mengurai Kekusutan Keberagamaan
Said Aqil Siradj, KETUA UMUM PB NU
Sumber : JAWA POS, 26 Januari 2012

KITA masih kerap disuguhi adegan penggerebekan dan penggusuran. Kisruh pembangunan gereja dan juga konflik internal agama masih bergejolak dengan saling menyesatkan. Agaknya, ada sesuatu yang ''tidak beres".

Kita tahu bahwa negara kita adalah negara hukum. Konstitusi menjamin setiap warga negara untuk memeluk dan beribadah menurut agama atau kepercayaannya. Pemerintah sudah semestinya bersungguh-sungguh menjamin kebebasan keyakinan dan melakukan ibadah bagi umat beragama.

Keberagaman agama dan tempat ibadah merupakan kehendak Tuhan untuk menciptakan keseimbangan hidup manusia di bumi. Keseimbangan itu harus tercipta agar masyarakat menjadi dinamis dan mampu berkembang. Alquran Surat Al-Hajj ayat 40 menyatakan bahwa gereja, sinagog, dan masjid merupakan tempat banyak orang mengagungkan dan membesarkan nama Tuhan.

Untuk menjaga keseimbangan, ini bertemali dengan keadilan. Penegakan keadilan dan penghapusan segala bentuk ketidakadilan sesungguhnya telah ditekankan Islam dalam Alquran sebagai misi utama para nabi (Al-Hadid:25). Madjid Khaduri dalam The Islamic Conception of Justice (1984) mengungkapkan, tidak kurang dari seratus ungkapan yang berbeda redaksinya dalam Alquran mengandung makna keadilan, baik secara langsung seperti ungkapan 'adl, qisth, mizan, atau dalam berbagai bentuk redaksi yang menyiratkan secara implisit. Terdapat pula lebih dari dua ratus peringatan dalam Alquran yang menentang ketidakadilan, seperti dzulm, itsm, dan dhaal.

Tak heran, Ibnu Taimiyah dalam al-Hisbah fi al-Islam (1967) berani menyatakan bahwa negara yang adil -meskipun kafir- lebih disukai Allah daripada negara yang tidak adil -meskipun beriman. Dunia akan dapat bertahan dengan keadilan meskipun tidak beriman, tetapi tidak akan bertahan dengan ketidakadilan meskipun Islam. Ketidakadilan dan Islam tidak bisa bersenyawa, tanpa salah satu harus dihapuskan atau dilemahkan.

Rasulullah Muhammad SAW sudah terlalu sering menyajikan teladan. Misalnya, ketika mendengar ada penduduk Madinah beragama Yahudi terbunuh, beliau segera memobilisasi dana masyarakat untuk kemudian diberikan kepada keluarganya. Sabda Rasul, ''Barang siapa yang membunuh nonmuslim, dia akan berhadapan dengan saya.'' Ketika melaksanakan haji, Rasulullah berkhotbah di hadapan sekitar 15.000 orang Islam di Makkah. Yang menarik, dalam khotbah itu, seruan beliau ditujukan kepada seluruh umat manusia (ya ayyuhan naas), bukan muslim saja.

Dalam khotbah tersebut, beliau menandaskan kesatuan semua manusia, tanpa memandang agama, suku, dan atribut primordial lain. Semua manusia merupakan ciptaan Tuhan, maka pembunuhan, gangguan, atau perusakan terhadap manusia dan harta miliknya merupakan penghinaan terhadap penciptaan mereka.

Tandasnya, membunuh orang karena alasan beda keyakinan berarti sama dengan membunuh muslim karena pencipta mereka adalah sama. Membakar gereja sama dengan membakar masjid karena semua itu diberikan Tuhan untuk mendukung kehidupan manusia.

Rekonstruksi

Bila kita telusuri, konsep hubungan muslim dan nonmuslim pada masa klasik lebih didasarkan kepada hukum perjanjian perlindungan. Di sini, lalu lahirlah istilah ahl al-dzhimma. Dalam perjanjian tersebut, ahl al-dzhimma wajib membayar pajak (jizyah) sebagai substitusi untuk melindungi mereka. Di satu sisi, perjanjian itu tidak dibatasi waktu dan berbeda dengan, misalnya, perjanjian gencatan senjata yang mensyaratkan waktu tertentu. Tetapi, di sisi lain, perjanjian tersebut tidak memberikan akses kepada nonmuslim untuk menjadi kepala negara.

Al-Shaybani dalam al-Siyar al-Kabir menjelaskan bahwa larangan membangun gereja baru hanya berlaku apabila kaum muslimin merupakan mayoritas di wilayah tersebut. Alasannya, di daerah itu, kaum muslimin melakukan ibadah salat Jumat dan Idul Fitri serta hukum hudud diberlakukan. Mengizinkan mereka membangun gereja berarti memperlemah dan melawan kaum muslimin secara formal. Namun, bila mereka mayoritas, sehingga shalat Jumat dan hukum hudud tidak diberlakukan, maka mereka tidak dilarang membangun gereja baru.

Menurut Al-Sarakhsi dalam al-Mabsuth , para ahli fikih klasik ada yang berpendapat bahwa ahl al-dzhimma tidak dilarang sama sekali membangun gereja baru di desa. Sebab, adanya larangan didasarkan kepada alasan (illat) bahwa kota merupakan tempat munculnya simbol-simbol Islam seperti salat Jumat, Idul Fitri, dan hukum hudud.

Menarik dicatat, pandangan fikih klasik tersebut menunjukkan, betapapun para ahli fikih klasik mengakui keberadaan agama lain. Mereka cenderung menempatkan agama lain dalam kedudukan inferior dan dalam konteks kondisi perang. Kecuali, bagi ahl al-dzhimma yang berkewajiban membayar pajak sebagai pengganti perang.

Pandangan fikih klasik tersebut terasa masih menyemayami ''episteme" umat Islam hingga sekarang. Itu bisa menjadi ganjalan dalam merajut harmoni antaragama karena lebih mempertontonkan tirani mayoritas.

Kita perlu kembali kepada prinsip umum ajaran Islam (maqhashid al-syari'ah) tentang eksistensi agama lain, yakni pengakuan terhadap kesejatian kemanusiaan mereka serta keabsahan de facto dan de jure sebagai bagian integral suatu komunitas tunggal. Hubungan muslim dengan pemeluk agama lain wajib dipandang sebagai anggota yang memiliki tanggung jawab terhadap keutuhan komunitas.

Nah, kini saatnya melakukan rekonstruksi dan kontekstualisasi terhadap pandangan fikih klasik, terutama mengenai pembangunan tempat ibadah di daerah mayoritas muslim. Kita memang menyadari, dulu para ahli fikih klasik membangun produk hukumnya di tengah situasi antagonistik Islam dan agama lain. Kini dunia sudah berubah menuju kebersamaan.

Alquran jelas-jelas mewartakan bahwa ''tidak ada paksaan dalam agama". Artinya, tidak ada kekerasan dalam agama dan tidak ada agama dalam kekerasan. Perbedaan aliran dan keyakinan tidak boleh dijadikan alasan pembenaran bagi tindakan kekerasan terhadap pihak lain sesama warga negara.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar