Selasa, 24 Januari 2012

Pemerkosaan: Kejahatan Kekuasaan


Pemerkosaan: Kejahatan Kekuasaan
Kristanto Hartadi, REDAKTUR SENIOR SINAR HARAPAN
Sumber : SINAR HARAPAN, 24 Januari 2012


Kasus pemerkosaan yang dialami mahasiswi sekolah kebidanan di dalam angkot C-01 Ciledug–Kebayoran Baru, Sabtu (21/1) lalu, cukup menggemparkan, karena untuk kesekian kali terjadi kasus pemerkosaan di atas angkutan umum. Namun belakangan polisi menjelaskan korban diperkosa di suatu tempat ketika sedang menunggu angkutan umum C-01.

Meski belum ada kejelasan di mana kejahatan seksual itu terjadi, tindak kriminal itu mengingatkan penulis pada kasus pembunuhan dan pemerkosaan tragis terhadap mahasiswi pada Agustus 2011 lalu di dalam angkot mikrolet M-24 jurusan Slipi-Srengreng.

Kini keempat terdakwa pelaku pemerkosaan itu tengah disidang. Pemerkosaan dialami pula oleh seorang ibu dalam mikrolet M-26 di kawasan Depok, keempat pelakunya (satu di antaranya perempuan) juga telah dicokok polisi.

Terkait kejadian yang dialami siswa kebidanan itu, ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel, Senin (23/1), dengan ekspresi marah mengirim pesan lewat BlackBerry Messenger bahwa kita jangan terpaku atau fokus pada “angkot” sebagai locus aksi-aksi pemerkosaan yang marak belakangan ini. ". . . ‘di angkot’ bisa diganti secara mudah dengan ‘di kos-kosan’, ‘di KRL’, ‘di sekolah’, dll.”

Dia menyarankan polisi agar fokus pada “pemerkosaannya” alias interaksi antara pelaku dan korban, karena pemerkosa adalah orang yang bisa dikategorikan sulit disembuhkan, bahkan mustahil diubah perilakunya. Dengan begitu, dia mendorong peningkatan upaya perlindungan korban dan korban potensial.

Apakah Menular?

Kasus-kasus yang terjadi belakangan itu membuat saya bertanya: apakah pemerkosaan itu punya efek menular, mirip-mirip dengan bunuh diri? Jujur saja, saya ingin tahu mengapa kasus-kasus pemerkosaan menjadi marak belakangan ini, atau memang selama ini angkanya juga tinggi namun tidak dilaporkan? Atau, adalah kelompok tertentu yang sengaja melancarkan “gerakan pemerkosaan”?

Dari sebuah laman di internet, didapati sebuah penjelasan yang menarik bahwa pemerkosaan adalah: kejahatan kekuasaan (power), pemaksaan (control), dan kekerasan yang ekstrem dengan menggunakan seks sebagai senjata terhadap yang lemah, sehingga pemerkosaan bukanlah semata seks atau mengenai birahi maupun ketertarikan terhadap korban. (www.hopeforhealing.org). Penjelasan itu dalam penerapan teknis dapat sesuai dengan bunyi Pasal 285 KUHP.

Tentu kita semua masih ingat, sebulan setelah kerusuhan Mei 1998 sempat beredar kabar bahwa banyak perempuan keturunan Tionghoa yang diperkosa sebagai bagian dalam “kerusuhan sistematis” di Jakarta untuk menurunkan Presiden Soeharto.

Meski info yang berkembang kemudian simpang siur karena banyak politisasi, tragedi pemerkosaan massal itu yang akhirnya memaksa Presiden BJ Habibie pada 9 Oktober 1998 mengeluarkan Keppres mengenai pembentukan Komnas Perempuan, dalam upaya melindungi kaum perempuan dari tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM.

Jadi, apakah kejadian-kejadian pemerkosaan belakangan ini juga “sistematis” seperti tahun 1998 dengan motif politik tertentu? Saya duga tidak atau belum, karena polisi, dalam hal ini Polda Metro Jaya, bertindak sigap dan sejauh ini sukses membekuk pelaku dalam tempo relatif cepat.

Ketertarikan atas maraknya pemerkosaan membawa saya sampai pada apa konsep “budaya pemerkosaan” yang marak terjadi di daerah-daerah konflik di benua Afrika, khususnya di Afrika Tengah, yang dibiarkan tanpa hukuman, dan akhirnya pemerkosaan dapat diterima sebagai hal yang biasa.

Namun, pemerkosaan tersebut tetaplah merupakan bentuk ekspresi “penindasan” terhadap perempuan, anak-anak, dan para pria juga, sebagai bagian dari konflik (perang saudara, perang antarsuku, atau bahkan perang antarnegara).

Pemerkosaan itu dipilih sebagai alat politik karena: penghinaannya maksimal, korban akan teringat/trauma seumur hidup bahkan bisa menjadi sakit jiwa, sengaja untuk menularkan penyakit menular seksual, dan lainnya.

Dihukum Berat

Rekan saya yang ahli psikologi forensik itu mengusulkan pemerkosa dirajah di bagian dahi saja atau KTP-nya diberi tanda tertentu, berimbang dengan luka yang harus diderita korban seumur hidupnya.

Atau meniru pola di Kanada, di mana seorang pemerkosa yang telah dipidana dibatasi ruang geraknya, identitasnya disebar ke publik, secara rutin harus lapor ke polisi, dan dilarang bepergian lebih dari radius tertentu.

Artinya, di negara Barat yang ketat mengawasi penerapan HAM ternyata menghukum fisik dan moral pelaku pemerkosaan dengan berat. Itu tak lain karena seumur hidup korban pemerkosaan juga mengalami siksaan fisik dan moral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar