Selasa, 31 Januari 2012

Menurunkan Suku Bunga Bank


Menurunkan Suku Bunga Bank
Anggito Abimanyu, DOSEN FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UGM, YOGYAKARTA
Sumber : REPUBLIKA, 30 Januari 2012


Beberapa waktu yang lalu, Gubernur Bank B Indonesia Darmin Nasution menye butkan, suku bunga kredit bank masih tinggi karena tingkat efisien perbankan nasional yang masih rendah. “Penurunan BI Rate (suku bunga acuan BI) ke suku bunga kredit akan tertransmisi secara efektif apabila bank beroperasi secara efisien,“ ujar Darmin, di Jakarta, Rabu (30/11).

Namun faktanya, kata dia, perbankan nasional belum mengikuti penurunan suku bunga BI sekali pun operasinya sudah sangat profitable. Otoritas perbankan ini mencatat, bunga kredit bank di Indonesia tertinggi di ASEAN, baik suku bunga nominal maupun riil (suku bunga nominal dikurangi inflasi).

Di mata BI, kondisi ini tidak sekadar membebani nasabah, tetapi juga merugikan bank.  Tinggi rendahnya suku bunga menjadi tolok ukur daya saing perbankan. Semakin tinggi bunga, semakin sulit bersaing. Celakanya, pada 2015, ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN berjalan, perbankan kita harus bersaing dengan bank dari negara kawasan yang terbiasa mengutip bunga rendah.

Perbankan nasional menghasilkan keuntungan paling besar di antara negara-negara di wilayah Asia Tenggara. Buktinya, tingkat return on asset (ROA) pada September 2011 industri perbankan mencapai 3,11 persen. Itu lebih tinggi dari rata-rata kawasan yang hanya mencapai 1,14 persen. Angka tersebut rata-rata ROA di lima negara ASEAN selama 2007-2011.

Kedua hal itu berkebalikan dengan kondisi efisiensi perbankan. Rasio Beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) mencapai 87,22 persen. Ini terbilang tinggi karena rasio BOPO di kawasan ASEAN berada antara 40-60 persen. Ketidakefisienan ini memberikan kontribusi pada penetapan suku bunga kredit yang tinggi.

Industri perbankan Indonesia juga sudah sangat prudent tecermin dari rasio kecukupan modal (CAR) perbankan yang mencapai 16,7 persen dan rasio nonperforming loan (NPL) yang hanya 2,7 persen (gross) pada September 2011. Kedua faktor tersebut, keuntungan dan kesehatan, ditambah dengan iklim persaingan seharusnya tidak menjadi penghalang bagi bank untuk menurunkan suku bunga.

Jarak antara BI Rate dan bunga kredit saat ini tinggi. Idealnya hanya selisih tiga persen atau 300 bps. Jika saat ini BI Rate di posisi 6,0 persen, bunga kredit harusnya di posisi rata-rata 10 persen. Faktanya, selisihnya lima persen lebih.
Apalagi suku bunga kredit untuk usaha mikro kecil menengah (UMKM), selisih suku bunga bisa mencapai 10 persen.

Menurut Menteri Perindustrian MS Hidayat, suku bunga kredit sektor UMKM berada di atas 15 persen. Dengan skema kredit usaha rakyat (KUR) tanpa jaminan, suku bunga itu mencapai 20 persen. Yang memakai jaminan juga masih tinggi, yakni di sekitar 14 persen sampai 16 persen. Hidayat mengharapkan agar spread atau rentang suku bunga kredit dan deposito perbankan lebih ditekan lagi agar bunga kredit bisa turun.
“Spread terlalu tinggi, yaitu 7-8 persen, bayangkan saja. Kalau di luar negeri itu hanya 3-4 persen, jadi masih ada ruang penurunan suku bunga kredit,“ ujarnya.

BI mengklaim, sudah ber upaya maksimal menggiring bank menggunting bunga, termasuk dengan menerapkan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) dan benchmarking biaya bank. BI merasa tidak bisa mengintervensi bank dengan membatasi batas atas bunga kredit. Karena, hal itu merusak pasar dan tidak sehat untuk industri.

BI Belum Maksimal?

Beberapa ekonom menilai, penyebab kondisi tersebut adalah struktur perbankan kita yang oligopoli. Kita bisa melawan keadaan ini asal regulator membuat kebijakan yang saling menopang. BI bisa mengatasinya lewat kebijakan moneter, atau pemerintah menggunakan bank-bank BUMN.

Kebijakan moneter, misalnya, penempatan dana bank di instrumen BI. Seharusnya, BI secara bertahap mengembalikan ekses likuiditas ke perbankan untuk mereka kelola sendiri. Strategi ini tentu memperhitungkan tugas bank sentral menjaga kondisi makro dengan mengetatkan atau melonggarkan likuiditas.

Setelah bank tidak memiliki banyak pilihan ke mana memarkir dana berlebih, bank berpikir keras untuk mengelolanya. Pilihannya tidak banyak, yakni menyalurkan ke dalam kredit dan pasar uang atau mengurangi dana pihak ketiga (DPK). Kedua-duanya berefek ke bunga.

Jika menggenjot kredit atau menyalurkan dana ke Pasar Uang Antarbank (PUAB), bank yang overlikuid akan menurunkan bunga pinjaman agar cepat terserap pasar. Jika bank besar menurunkan bunga, bank lain pasti akan mengikuti.

Jika mengurangi DPK, bank akan menurunkan bunga simpanan. Sikap jual mahal ini memacu bank lain menurunkan bunga sehingga struktur biaya bank menjadi lebih baik. Jadi, bunga kredit tinggi bisa dilawan dengan segenap cara. Persoalannya, sejauh mana BI mengarahkan industri dan secerdas apa pemerintah memanfaatkan empat bank miliknya.

Untuk mendorong penurunan suku bunga kredit, bank sentral juga bisa mengupayakan pembahasan dengan Kementerian BUMN mengingat bisnis bank di Indonesia didominasi bank BUMN. Biaya operasional pendapatan operasional (BOPO) bank persero masih di kisaran 85 persen. Ini perlu djadikan perhatian oleh Bank Indonesia.

Masih banyak komponen yang bisa didorong untuk membuat bisnis bank menjadi lebih efisien, salah satunya adalah aturan untuk mendorong efisiensi. Namun, perlu diperhatikan apabila BI melakukan regulasi yang terlalu kuat untuk mendorong penurunan suku bunga, bisa jadi bank hanya akan memberi kredit pada korporasi yang bunganya rendah dan meninggalkan UMKM.

Karena itu, pemerintah juga harus memastikan adanya penurunan suku bunga kredit tanpa bank meninggalkan UMKM. Sehubungan dengan hal itu, pemerintah dan pemerintah daerah perlu terus mengusahakan penurunan suku bunga dengan memasok dana murah ataupun penjaminan kepada UMKM melalui BUMN asuransi kredit di pusat dan daerah. Pemerintah bisa mengintervensi perbankan lewat bankbank BUMN, yang total kreditnya kini sekitar 20 persen.
Bank BUMN harus meningkatkan efisiensinya. Menurut data, BOPO bank BUMN justru paling tinggi.

Soal penyediaan dana murah, pemerintah juga bisa berperan. Caranya, tidak mema tok dananya yang tersimpan di rekening BI atau bank BUMN dengan tingkat suku bunga yang mahal. Demikian juga, dengan BUMN yang sangat likuid dan memiliki kelebihan likuiditas harus diawasi agar tidak menekan bank dengan bunga simpanan yang tinggi.

Jika bunga simpanan masih tinggi, otomatis bank tidak dapat menurunkan suku bunga kredit. Bank pada umumnya juga mencari untung. Jadi, mereka pasti lebih tertarik untuk menggunakan bunga tinggi saat memberikan kredit.
 
Bahkan, ada bank pemerintah yang interest margin-nya mencapai sembilan persen.
Di satu sisi, pemerintah menuntut dividen tinggi kepada bank BUMN, tapi di lain pihak bank BUMN harus menurunkan margin keuntungannya dari penurunan suku bunga. Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas bank BUMN dapat ikut mendorong penurunan biaya bunga tanpa mengorbankan keuntungannya.

Pertama, penurunan cost of fund. Kedua, efisiensi operatio nal cost (overhead cost). Ketiga, merasionalkan margin keuntungan bank. Keempat, mengurangi risiko usaha. Dari keempat faktor itulah, bunga kredit ditentukan jumlahnya. Mengenai risiko usaha, tiap-tiap bank memiliki kebijakan berbedabeda. Ukurannya pun sangat subjektif bergantung bank bersangkutan masing-masing.

Penyebab bunga kredit tinggi juga disebabkan sektor UMKM ini sangat berisiko atau gampang kolaps sehingga bank juga riskan untuk memberikan kredit kepada UMKM. Kalaupun bank memberikan kredit, pasti akan memasang bunga yang tinggi untuk menghindari risiko kebangkrutan bagi bank itu sen diri. Kalau UMKM-nya bangkrut, kredit ini akan macet sehingga bank tersebut ikut menanggung beban itu. Bank juga tidak mem punyai uang jangka panjang.

Maka itu, kuncinya adalah peningkatan dana KUR dengan skema penjaminan risiko dari BUMN atau BUMD asuransi kredit. Apabila dana KUR Rp 50 triliun saja dengan gearing ratio 10 kali, bisa disalurkan kredit sebesar Rp 500 triliun kepada UMKM dengan kredit relatif murah.

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia prihatin terhadap tingkat suku bunga bank di Indonesia yang masih tinggi. Dunia usaha meyakini itu sesuatu yang bukan mustahil untuk diturunkan apabila BI dan pemerintah terus bekerja sama.

Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo B Sulisto menyampaikan, sangat ironis Indonesia merupakan negara yang tingkat suku bunga banknya masih sangat tinggi. “Kami sangat risau, prihatin, tampaknya ada keengganan dari sektor perbankan untuk menurunkan suku bunga, apa pun itu alasannya. Sebab, kami yakin, itu sesuatu yang bukan mustahil untuk diturunkan,“ kata Suryo, di Jakarta, Selasa (17/1).

Ia berharap, ada campur tangan pemerintah yang lebih serius dan intensif agar tingkat suku bunga dapat diturunkan dan akses UMKM ke bank dapat terus meningkat. Dengan demikian, dunia usaha, khususnya UMKM, bisa memperbaiki daya saingnya. Faktor bunga yang tinggi adalah salah satu yang berdampak pada tingkat daya saing.

Pemerintah berkepentingan akan hal tersebut, karena dengan bunga rendah, sektor riil bakal terpacu. Apalagi, tahun ini pertumbuhan ekonomi akan melambat karena terimbas krisis global. Agar ekonomi tetap tumbuh, dibutuhkan stimulus pada sektor riil.

1 komentar:

  1. Untuk tambahan informasi terkait postingan di atas bisa juga lihat di link : http://pena.gunadarma.ac.id/bank-persero-tambun-namun-boros/

    BalasHapus