Senin, 30 Januari 2012

Dilema Arah Pendidikan


Dilema Arah Pendidikan
Ario Djatmiko, KETUA LITBANG IDI WILAYAH JATIM
Sumber : JAWA POS, 30 Januari 2012


''YOU are what you produce.'' Itu kalimat Ayah saat melepas saya merantau. Nilai Anda sebagai manusia dilihat dari apa yang Anda bisa bikin (baca: produksi). Bagus produk Anda, bagus pula nilai Anda sebagai manusia. Begitu juga sebaliknya, jelek produk Anda, tentu nilai Anda sebagai manusia juga tidak akan bagus. Dan jelas, Anda tidak berarti apa-apa bila Anda tidak pernah memproduksi apa pun. ''Do your best, Nak.'' Ayah merangkul erat saat melepas saya di pelabuhan. Kalimat itu terus membekas dan saya anggap satu kebenaran mutlak tanpa cacat!

Sampai satu hari, saya tidak yakin lagi akan kebenaran kalimat itu. Ceritanya begini! Sebagai penasihat Surabaya Entertainer Club, saya beberapa kali menjadi juri pop singer, semacam American Idol gitu. Saat di final, penampilan, gaya, dan suara para finalis wuih, luar biasa! Sebagai juri, sungguh sulit memilih yang terbaik. Semua bagus, nyaris tanpa cacat. Kalau boleh jujur, banyak yang lebih bagus daripada penyanyi-penyanyi terkenal di TV. Lantas, mengapa mereka tidak bisa terkenal?

Tiba-tiba saya tersadar tentang satu hal: memproduksi dan menjual adalah dua hal yang berbeda! Banyak penyanyi bersuara bagus, tetapi tak laku dijual. Coba Anda ke Bali atau Jogja misalnya, berjuta patung, barang seni, batik, konveksi, kuliner, dan banyak barang lain yang dijajakan. Terkadang dengan memelas! Di situ jelas bagi Anda, menjual tidak lebih mudah daripada memproduksi.

Apakah kalimat Ayah itu salah? Bukan! Paradigma telah berubah. Saya ingin sedikit mengubah kalimat Ayah: ''You are what you sell.'' Tetapi, ternyata jual beli bukan proses yang sederhana lagi. Dan tampaknya, besaran laba kini seakan punya nilai sakral! Nah, paradigma apa lagi yang akan hadir?

Tidak Sama Lagi

Musim penerimaan mahasiswa masih jauh. Tetapi, nuansa promosi perguruan tinggi sudah amat terasa. Memilih bidang studi dan jenjang pendidikan jelas tidak sama dengan memilih barang. Pendidikan identik dengan masa depan. Tidak terlalu salah kalau kita katakan, tanpa pendidikan, Anda tidak memiliki masa depan. Stiglitz tegas mengatakan, kalau ada hal yang terpenting dalam hidup manusia, hanya satu, itu adalah pekerjaan. Dan, berbicara soal pekerjaan, itu jelas tentang pendidikan.

Calon mahasiswa yang masuk perguruan tinggi (PT) 2012 akan bertarung di pasar kerja pada tahun 2016-2017. Pelajar SMU yang saat ini duduk di kelas X akan bertarung di pasar kerja pada 2020. Pelajar SD yang saat ini duduk di kelas I bakal bertarung di pasar kerja pada 2026. Pertanyaannya: bagaimana model tata kerja dan lapangan kerja nanti pada tahun-tahun itu? Mampukah PT di negeri ini memproduksi tenaga kerja yang sesuai dengan kualifikasi-kompetensi yang dibutuhkan di era itu?

Pekerja back office di Australia kini gelisah, mengapa? Sebagian besar pekerjaannya telah dikerjakan di Bangalore, India. Offshore telah menjadi kenyataan. Itu berarti pemutusan hubungan kerja tinggal menghitung hari. Bila Anda ke-toko di Melbourne, New York, London terasa ada yang berubah. Jumlah kasir yang duduk di pintu keluar toko menurun drastis, mesin bayar telah menunggu Anda. Cukup mendekatkan label harga ke mesin, harga tertera dilayar dan gesek, selesai! Di Bangalore, Mumbai, dan kota lain di India, para dokter ahli radiologi menekuni komputernya 24 jam, membaca foto radiologi dari seluruh belahan dunia. Lihat, kehadiran robot telah merampas sebagian besar pekerjaan manusia.

Universitas Free Berlin membawa berita gembira. Test drive mobil VW sukses menempuh 20 km tanpa sopir, melewati lalu lintas padat tengah kota, 46 lampu stop. Tinosch Ganjineh, pimpinan proyek dengan bangga berkata, mereka telah mengantongi izin untuk test drive 1.000 km, akan dilakukan Juni tahun ini. Apa artinya? Profesi sopir di masa mendatang bukanlah profesi yang aman lagi. Benar, pemahaman baru telah hadir dan harus kita terima: tidak ada pekerjaan yang aman lagi di muka bumi. Pasar kerja terus bergerak tanpa pola dan amat mengerikan. Allan Greenspan menyebut itu arus turbulence.

Strategi Pendidikan

Tentang ancaman kerja, Tony Cleaver menerangkan dengan amat sederhana. Pengangguran akan hadir bila: pertama, kompetensinya tidak sesuai dengan yang dibutuhkan. Program PM Tony Blair, menggalakkan pendidikan sarjana secara masal, ternyata menimbulkan masalah. Sarjana yang tidak sesuai dengan kebutuhan kerja terlalu banyak diproduksi. Akibatnya, mismatch unemployment tinggi dan beban negara meningkat tajam.

Sebagai mesin produksi skill worker, PT harus terus-menerus mengamati tren pasar kerja. Mengantisipasi, bahkan harus terdepan menjadi trend setter. Untuk itu, tugas riset PT menjadi tumpuan. Tanpa riset yang futuristis, PT tidak akan mampu memproduksi manusia masa depan. Kedua, bila satu jenis produk barang atau jasa tidak diminati lagi. Contoh, kehadiran iPad benar-benar memukul Borders, pembaca beralih ke iPad dan toko buku kondang itu terpaksa gulung tikar. Karyawan Borders akan ke mana? Ketiga, jarak teknologi (technology gap). Benar, teknologi telah merambah ke semua bidang kerja. Bila Anda tidak mampu bekerja -efisien, cepat, tepat, dan terukur-, para pekerja di Bangalore atau robot siap menggantikan Anda setiap saat. Bagaimana peta peluang kerja nanti?

Pekerjaan rutin dan monoton pasti lenyap. Offshore untuk knowledge based worker, mencengkeram dunia. Artinya, lulusan PT di negeri ini harus mampu masuk jejaring global yang amat selektif dan amat kompetitif. Itu tidak mudah! Atau, Anda memilih menjadi entrepreneur, manusia unggul bermental baja yang jeli melihat peluang, inovatif, dan amat kreatif. Nah, sisi mana manusia yang kini harus dikembangkan agar manusia Indonesia survive? Lihat, para calon mahasiswa terus mengalir ke PT dengan penuh harap. Hai, para petinggi perguruan tinggi, Anda harus segera menjawab.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar