Rabu, 25 Januari 2012

Dua Corak Tradisi Islam


Dua Corak Tradisi Islam
Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL
Sumber : JIL, 24 Januari 2012


Berkebalikan dengan teks Ibn al-Qayyim ini, kita menjumpai tradisi populer yang berasal dari teladan para wali di Jawa yang menunjukkan sikap toleran terhadap tradisi agama lain, bahkan penghormatan yang tinggi terhadapnya. Contohnya adalah menara Kudus yang dibangun oleh Syekh Ja’far Shadiq alias Sunan Kudus (wafat circa 1550 M), salah satu Wali Sembilan yang menyebarkan agama Islam di Jawa.

Menara ini mirip sekali dengan bentuk pura dalam tradisi Hindu. Konon, Sunan Kudus juga melarang murid-muridnya menyembelih sapi untuk menghormati perasaan umat Hindu. Itulah sebabnya, hingga saat ini, tradisi memakan daging sapi kurang begitu berkembang di masyarakat Muslim di kawasan Kudus, Jawa Tengah—sisa dari kebiasaan yang berasal dari masa Sunan Kudus dulu.

Salah satu hal yang mengagumkan pada setiap agama, termasuk tentunya dalam Islam, adalah adanya tradisi yang begitu kaya di dalamnya. Tradisi itu tumbuh pelan dalam setiap masyarakat agama, mengikuti perkembangan masyarakat. Jika hendak melihat bagaimana sebuah agama diterjemahkan dalam situasi dan keadaan yang kongkrit, maka lihatlah tradisi yang ada pada agama itu.

Tradisi adalah semacam embodiment atau penubuhan agama dalam bentuk yang bisa dilihat langsung. Agama sebagaimana tertuang dalam teks-teksnya, misalnya Quran atau hadis dalam konteks Islam, biasanya bersifat abstrak. Teks itu harus diterjemahkan dalam situasi yang kongkrit. Terjemahan itu selalu terjelma dalam sebuah tradisi atau sunnah/turath.

Biasanya tradisi lahir sebagai bentuk interaksi antara agama sebagai ajaran tekstual dengan situasi yang dihadapi oleh umatnya. Dalam tradisi itulah kita melihat secara kongkrit bagaimana masyarakat yang memeluk agama tertentu mendialogkan antara keyakinan dan ajaran yang secara tekstual termuat dalam Kitab Suci mereka dengan keadaan nyata yang mereka hadapi.

Karena wataknya yang sedemikian itu, maka setiap tradisi biasanya terkait dengan konteks yang spesifik. Dan karena itu pula, setiap tradisi menggambarkan situasi yang hidup pada zaman tertentu.

Dalam setiap komunitas agama, bisanya akan kita jumpai kelas-kelas sosial yang beragam coraknya, dan mereka akan mengembangkan tradisi yang sesuai dengan keragaman kelas itu. Inilah yang menjelaskan kenapa muncul tradisi yang beragam dalam komunitas itu. Ada tradisi yang mencerminkan kegiatan kelas elit dalam agama itu, ada tradisi yang dikembangkan oleh masyarakat kecil atau awam.

Contoh yang pertama adalah kegiatan intelektual yang dilakukan oleh para sarjana dalam agama. Para elit intelektual mencoba menerjemahkan norma agama ke dalam situasi yang kongkrit melalui kegiatan intelektual yang dalam Islam disebut dengan ijtihad atau penalaran rasional. Para sosiolog agama biasa menyebut tradisi ini sebagai Tradisi Tinggi atau Tradisi Tulis (Literate Tradition).

Di seberang tradisi tinggi ini, ada tradisi populer yang berkembang di masyarakat. Tradisi populer ini biasanya terkait dengan kisah-kisah populer yang berkenaan dengan kehidupan orang-orang saleh yang menjadi panutan masyarakat. Dalam kalangan masyarakat Islam Jawa, misalnya, dikenal tradisi populer berkenaan dengan kisah para wali.

Bagi orang awam, agama sebagaimana tertulis dalam teks atau sebagaimana diungkapkan melalui tradisi tinggi yang “intelektualistik” itu biasanya susah dijangkau. Mereka membutuhkan “agama” yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka. Tradisi yang berkenaan dengan kisah hidup para orang saleh (wali, kiai, ulama, dsb.), biasanya lebih intim dan dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat biasa.

Sementara itu, kalangan “terpelajar” yang menggemari agama sebagai arena untuk olah intelektual akan menyukai Tradisi Tinggi yang tertuang dalam teks-teks yang ditulis oleh para sarjana, entah di masa klasik atau modern. Teks para doctors of law atau ahli hukum Islam (fuqaha), misalnya, biasanya lebih menarik mereka. Teks-teks karangan Imam al-Shafi’i (m. 820 M) dan para pendiri mazhab Islam yang lain akan sangat memikat kelas terpelajara ini.

Harus diakui, otoritas Tradisi Tinggi biasanya lebih tinggi dan kokoh ketimbang Tradisi Populer yang bersumber dari, antara lain, kisah-kisah hidup para orang saleh tersebut. Tradisi tinggi yang tertulis itu biasanya menjadi sandaran ortodoksi, yakni ajaran pakem dalam sebuah agama yang dianggap otoritatif dan menjadi kriteria untuk menilai paham-paham lain dalam agama bersangkutan.

Dalam karyanya yang masyhur, Muslim Society (1981), Ernest Gellner pernah mengemukakan pengamatan yang menarik tentang dua tradisi ini. Menurut dia, dan saya kira dia benar dalam hal ini, keuntungan sebuah agama yang memiliki pembelahan antara dua tradisi ini (seperti kasus Islam) adalah adanya kemudahan agama tersebut untuk melakukan penyesuaian diri dengan keadaan yang terus berubah. Dengan kata lain, agama semacam ini akan lebih mudah melakukan modernisasi sosial ketimbang agama yang hanya mengenal tradisi tunggal saja.

Masih menurut Gellner, jika terjadi suatu kemunduran dalam umat agama bersangkutan, maka para elit agama itu bisa melakukan pemisahan antara tradisi tinggi dan tradisi populer. Mereka akan mengatakan bahwa kemunduran umat dalam agama itu lebih disebabkan oleh penyelewengan yang ditimbulkan oleh pengaruh tradisi populer. Karena itu, solusinya adalah kembali kepada tradisi tinggi yang tertuang dalam teks. Tradisi tekstual ini dianggap lebih suci dan bebas dari pengaruh kultural yang koruptif serta mengandung tenaga pembebasan untuk memajukan umat.

Pengamatan Gellner ini memang cenderung melihat tradisi populer secara kurang simpatik. Meski tak seluruhnya pengamatan Gellner salah, tetapi ada pula kritik kecil terhadap pengamatannya ini. Menurut saya, sumber kekakuan dalam masyarakat agama yang kerap menghalanginya untuk beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, bisa juga muncul dari Tradisi Tinggi yang tertuang dalam teks para sarjana.

Sementara Islam sebagaimana dicerminkan dalam tindakan para orang saleh yang merupakan dasar tradisi populer justru bisa menjadi sumber fleksibilitas dalam masyarakat Muslim dan memudahkan mereka untuk melakukan akomodasi terhadap perubahan.

Contoh yang sangat baik adalah teks dari abad ke-14 Masehi yang ditulis oleh Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah (m. 1350 M) berjudul Ahkam Ahl al-Dhimma (Hukum Berkenaan dengan Orang Dhimmi). Dhimmi adalah konsep dalam teori politik Islam klasik, yang artinya adalah warga negara non-Muslim yang hidup di negeri Muslim. Mereka adalah semacam “permanent/alien resident” dalam konsep politik modern saat ini.

Kalau kita baca buku ini, terasa sekali nada “superioritas” Islam yang sangat kuat, terutama terhadap umat Kristen dan Yahudi. Jika buku ini dipakai sebagai rujukan dalam kehidupan modern, bukan mutahil ketegangan antara Islam dan Kristen akan mudah terjadi.

Saya ambilkan secuil contoh saja dari pembahasan buku ini. Menurut Ibn al-Qayyim, seorang ulama yang sangat dihormati tertutama di kalangan penganut ideologi Wahabisme ini, jika suatu negara ditaklukkan dengan paksa oleh umat Islam, dan kemudian umat Islam membangun kota (mashr) baru di sana (istilah Arabnya: tamshir), maka tak satu pun gereja atau sinagog baru boleh didirikan. Gereja yang didirikan setelah kota baru itu dibangun oleh umat Islam, seluruhnya harus dihancurkan. Yang boleh tersisa hanyalah gereja yang sudah ada di tanah itu sebelum kedatangan Islam. (Ahkam Ahl al-Dhimma, hal. 1195).

Menurut Ibn al-Qayyim, dengan mengutip pendapat Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 855), umat Kristen juga dilarang membunyikan lonceng keras-keras di gereja mereka. Selain itu, mereka juga dilarang menampakkan tanda salib secara terbuka di gereja mereka.

Jika dibaca saat ini, tanpa memperhitungkan konteks di mana ia ditulis, karya Ibn al-Qayyim itu bisa menimbulkan sikap negatif di kalangan Muslim terhadap umat agama lain, terutama Kristen. Seluruh isi buku itu memang menggambarkan tradisi intelektual Islam klasik pada periode tertentu di mana salah satu cirinya adalah penonjolan superioritas Islam terhadap Kristen hingga ke dimensi yang paling visual, seperti urusan pelarangan pemasangan salib gereja, misalnya.

Berkebalikan dengan teks Ibn al-Qayyim ini, kita menjumpai tradisi populer yang berasal dari teladan para wali di Jawa yang menunjukkan sikap toleran terhadap tradisi agama lain, bahkan penghormatan yang tinggi terhadapnya. Contohnya adalah menara Kudus yang dibangun oleh Syekh Ja’far Shadiq alias Sunan Kudus (wafat circa 1550 M), salah satu Wali Sembilan yang menyebarkan agama Islam di Jawa.

Menara ini mirip sekali dengan bentuk pura dalam tradisi Hindu. Konon, Sunan Kudus juga melarang murid-muridnya menyembelih sapi untuk menghormati perasaan umat Hindu. Itulah sebabnya, hingga saat ini, tradisi memakan daging sapi kurang begitu berkembang di masyarakat Muslim di kawasan Kudus, Jawa Tengah—sisa dari kebiasaan yang berasal dari masa Sunan Kudus dulu.

Sikap yang toleran terhadap tradisi agama lain ini juga terus dikembangkan oleh para ulama di Jawa hingga sekarang. Tradisi inilah yang, antara lain, mengilhami Kiai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur untuk membangun tradisi dialog antaragama dengan kelompok-kelompok agama di luar Islam.

Contoh ini memperlihatkan bahwa tradisi toleransi justru lebih bisa dipupuk melalui tradisi populer yang berkembang di masyarakat. Sementara Tradisi Tinggi yang berasal dari teks para sarjana Islam klasik justru, dalam kasus ini, cenderung “tertutup” dan eksklusif, sebagaimana diperlihatkan oleh teks dari Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah.

Tentu tak selamanya Tradisi Tinggi bersifat seperti itu. Apa yang disebut sebagai Tradisi Tinggi yang intelektualistik itu bukanlah monolitik. Di dalamnya banyak versi. Ada versi yang progresif dan sangat sesuai dengan kebutuhan kita sekarang, tetapi juga ada yang tertutup dan kurang pas dengan keadaan saat ini. Kitab Ibn al-Qayyim di atas itu, menurut saya, adalah salah satu contoh teks yang kurang begitu relevan dengan keadaan saat ini. Kita perlu mengembangkan teks atau tradisi baru yang lebih terbuka dan dialogis.

Kenapa tradisi yang terbuka seperti ini lebih kita butuhkan? Sebab tradisi seperti inilah yang lebih sesuai dengan masyarakat informasi saat ini yang salah satu ciri pokoknya adalah ketebukaan, transparency, serta sikap terbuka dan menghargai perbedaan, bukan sikap yang menonjolkan superioritas keagamaan yang akan gampang menyulut ketegangan dan konflik sosial. Wa ‘l-Lahu a’lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar