Mengkloning Ahok-Risma
Tri Marhaeni P Astuti ;
Guru Besar Antropologi Unnes
Semarang;
Pengamat Pendidikan dan Sosial
Politik
|
SUARA MERDEKA, 23
Agustus 2016
”Ibu, kalau orang Jakarta tidak mau memilih Ahok, kirim saja ke
sini, kami siap memilihnya…”
DARI sisi kepentingan
personal, saya tidak punya hak pilih dan tak terkait apa pun dengan Pemilihan
Gubernur DKI Jakarta 2017. Maka sebenarnya boleh saja saya tidak peduli,
namun ternyata hati dan tangan ini terasa gatal, tak bisa untuk tidak peduli.
Tiap hari membaca dan mendengar pemberitaan tentang hiruk pikuk Pilgub DKI,
suka tidak suka akhirnya menyita perhatian saya sebagai anak bangsa.
Tanpa bermaksud
membela siapa pun, menghakimi siapa pun atau kelompok mana pun, tulisan ini
hanyalah ungkapan suara hati sebagai rakyat yang merasa heran. Ketika
sebagian besar masyarakat Jakarta menjagokan Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok selaku petahana, semakin kuat pulalah gelombang tekanan dari berbagai
pihak untuk menghentikan langkahnya.
Suatu hari saya datang
ke sebuah daerah di Sumatera — yang jelas bukan Bangka Belitung daerah asal
Ahok –, sopir taksi yang mengantar dengan bersemangat bertanya apakah saya
orang Jakarta? Saya jawab saja sekenanya, ”Iya”.
Dan, dengan berapi-
api dia bilang, ”Ibu, kalau orang Jakarta tidak mau memilih Ahok, kirim saja
ke sini, kami siap memilihnya…” Itu tentu logika sederhana dari representasi
rakyat yang merindukan pemimpin seperti Ahok.
Tak hanya sekali itu
saya mendengar ungkapan yang sama dari beberapa orang meskipun dengan bahasa
yang berbeda. Ternyata, di tataran elite politik dan penentu kebijakan,
suasananya lebih hiruk pikuk. Bukan ramai mendukung, melainkan sibuk
mencarikan musuh untuk Basuki Tjahaja, sampai pada kesibukan mencari celah
menghentikan langkahnya.
Mulai dari pernyataan
bahwa tidak ada partai yang bersedia mengusung, sampai gerakan ”pokokya bukan
Ahok”. Keriuhan tarik ulur kepentingan sampai pada inventarisasi sejumlah
nama kepala daerah yang dinilai sukses secara politik, dicintai rakyat,
berhasil membangun daerah, dan mempunyai ”nilai jual” tinggi.
Mereka diseret masuk
ke pusaran arus Pilgub DKI. Manajemen konflik dijalankan. Ahok ”dibentur-
benturkan” dengan tokoh-tokoh ”yang dianggap baik dan berhasil”, misalnya
dengan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Seolah-olah terekomendasikan bahwa
untuk mengalahkan Ahok, harus ”dicarikan lawan yang seimbang”.
Elite politik lupa,
ketika mereka sibuk mencarikan lawan tanding, dan yang muncul adalah
tokohtokoh baik, berhasil memimpin wilayah, dicintai rakyat, dan mampu
membawa perubahan, mereka secara tidak sadar mengakui bahwa kelas Ahok setara
dengan para tokoh tersebut. Mungkin mereka tidak menyadari, atau sebenarnya
paham, namun kepentingan politiklah yang membuat tidak sadar.
Pilihan Rasional
Logikanya, kalau Ahok
dianggap setara dengan para tokoh yang diusung untuk jadi tandingan, hal itu
berarti ”salah satu dari mereka harus dimatikan”. Dan, boleh jadi ini bukan
logika politik para elite, bahwa Indonesia akan menjadi lebih baik ketika
banyak pemimpin yang baik, berhasil, dan dicintai rakyat seperti Risma,
Ridwan Kamil, dan Ahok.
Dalam logika berpikir
umum, sebuah pilihan tentu didasari oleh pikiran rasional. Ukuran
rasionalitas adalah norma umum yang berlaku tentang baik buruk, benar salah,
indah tidak indah, atau etis tidak etis. Ukuran-ukuran ini, secara universal
disepakai oleh sebagian besar masyarakat. Secara sederhana, meminjam istilah Weber,
tindakan rasional berhubungan dengan pertimbangan yang sadar dan pilihan
bahwa tindakan itu dinyatakan.
Tindakan ini, dalam
ranah Sosiologi dikembangkan oleh Coleman (1989) yang menyatakan bahwa
pilihan rasional merupakan tindakan rasional dari individu atau aktor untuk
melakukan suatu tindakan berdasarkan tujuan tertentu, dan tujuan itu
ditentukan oleh nilai atau pilihan rasionalnya.
Kalaulah pilihan
rasional rakyat adalah pemimpin- pemimpin seperti Ahok, Risma, atau Ridwan
Kamil, mengapa justru hal itu dianggap tidak rasional dengan cara menciptakan
konflik di antara tokoh yang dipilih itu? Rasionalitas rakyat sungguh
sederhana, mereka hanya ingin negara yang sudah 71 tahun merdeka ini menjadi
lebih baik dalam segala bidang.
Masyarakat sudah mulai
pandai memilih mana pemimpin yang membawa kemaslahatan dan mana yang tidak.
Jangan sampai kecerdasan itu dibodohkan dengan klaim stereotipe bahwa
”masyarakat belum siap berdemokrasi”. Masyarakat sudah siap berdemokrasi
dengan pilihan-pilihan rasionalnya. Justru yang tampak tidak siap adalah
elite politik, dengan pilihan yang semuanya berasionalisasi politis.
Sebenarnya, pilihan
rasional antara rakyat dan penggawa negara akan sejalan manakala muara
pilihan politik itu rasional, demi kemaslahatan rakyat, bukan pilihan yang
hanya dipolitisasi untuk tujuan sekelompok orang atau golongan. Betapa indah
apabila justru berlangsung ”kloning” agar muncul banyak Ahok dan Risma yang
lain di bumi Indonesia sebagai aliran-aliran atrinak sungai yang akan bertemu
dalam satu muara kemaslahatan umat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar