Senin, 15 September 2014

Teguh Pegang Prinsip

Teguh Pegang Prinsip

Moh Ilham A Hamudy  ;   Peneliti
di Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendagri
REPUBLIKA, 13 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

"Ahok tidak Punya Etika Politik". Demikian judul headline surat kabar nasional, Kamis (11/9), yang mewartakan keluarnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), sang wakil gubernur DKI Jakarta, dari Partai Gerindra. Partai tempatnya bernaung, dianggap Ahok, sudah tidak sejalan dengan visi-misinya dalam mengurus kepentingan rakyat.

Ahok juga menilai, Partai Gerindra tidak memperjuangkan kepentingan rakyat karena berniat mengubah pemilihan kepala daerah (pemilukada) secara langsung oleh rakyat menjadi pemilukada oleh DPRD. Pengunduran diri Ahok yang dilakukan tanpa komunikasi dengan partai itu, oleh beberapa pihak, di nilai kurang tepat dalam etika berpolitik.

Penilaian seperti itu wajar diberikan kepada Ahok oleh beberapa pihak yang tidak begitu suka dengannya dan sebuah surat kabar nasional yang pemiliknya memang menjadi bagian Koalisi Merah Putih (KMP) gagasan Partai Gerindra.

Apa pun yang dibuat Ahok, karena berseberangan dengan pemilik media ataupun KMP, tentu akan dinilai negatif. Namun, bagi sebagian besar orang, langkah Ahok patut diapresiasi. Di era sekarang, sedikit sekali pejabat publik atau politisi yang berani bersikap karena mempertahankan prinsip dan idealisme yang baik dan benar. Meski dihujat oleh partainya, Ahok tidak bergeming. Ketika dicap sebagai politisi kutu loncat bila merasa tidak cocok, dengan tegas Ahok menjawab, "Mending jadi kutu loncat ketimbang jadi kutu busuk."

Langkah Ahok belakangan diikuti Wali Kota Singkawang Awang Ishak yang menyatakan mundur dari Partai Amanat Nasional. Awang mundur karena keputusan partainya yang mendukung RUU mengenai pemilukada.

Mundurnya Awang menambah daftar kepala daerah yang mundur dari partai karena berseberangan dengan partainya. Ahok dan Awang memang bukan orang pertama yang berani bersikap. Beberapa waktu sebelumnya, Direktur Pertamina Karen Agustiawan juga mengundurkan diri dari jabatannya. Alasannya pun serupa dengan Ahok. Karen merasa sudah tidak sejalan dengan pimpinan dan mitra kerjanya dalam mengurus kepentingan rakyat.

Meski tidak secara vulgar menyatakan, Karen pernah mengaku saat diperiksa sebagai saksi oleh KPK dan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor bahwa ia diperas. Merujuk pada fakta persidangan kasus suap mantan kepala SKK Migas Rudi Rubiandini, Karen memang pernah mengaku diancam akan dilaporkan kepada menteri.

Namun, berbeda dengan Karen, Awang, dan Ahok, salah satu pemimpin partai politik di negeri ini malah menolak mundur. Padahal, statusnya sudah menjadi tersangka oleh KPK. Karena tidak kunjung mundur, akhirnya ia dipecat oleh kawan-kawannya sendiri.

Akan tetapi, sang pemimpin partai tidak terima pemecatan itu. Ia malah melawan dan mengadukan nasibnya ke Ketua Majelis Syariah.

Petinggi partai seperti itu jelas tidak punya malu dan etika. Ia tidak bisa disamakan dengan Ahok, Awang, atau pun Karen yang teguh memegang prinsip. Secara moral, seorang pejabat me mang sudah selayaknya mundur kalau terindikasi terlibat pelanggaran hukum.

Apalagi jika sudah ditetapkan sebagai tersangka. Kalau tidak mundur, paling tidak nonaktif agar proses hu kumnya bisa steril. Jadi, nantinya ke kuasaan yang ada tidak mengganggu proses hukum. Yang bersangkutan tidak memanfaatkan linkkekuasaannya untuk mengacaukan proses hukum.

Belum tradisi Harus diakui, mundur belum menjadi tradisi di kalangan pejabat. Banyak anggota DPR/DPRD, petinggi partai, dan pejabat publik lainnya yang tidak mundur kendati telah ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan, sejumlah calon kepala daerah tidak merasa rikuh dilantik meski sudah berstatus tersangka.

Celakanya, aturan yang ada di negeri ini selalu memberi kenyamanan bagi para pejabat. Mereka baru diberhentikan sementara setelah menjadi terdakwa. Adapun pemberhentian permanen baru dilakukan setelah si pejabat dinyatakan bersalah lewat vonis yang berekuatan hukum tetap.

Padahal, rakyat sangat malu memiliki pemimpin yang tidak berkarakter. Sangatlah penting bagi seorang pejabat dalam menjalankan kepemimpinannya benar-benar bersih dari sangkutan kasus hukum. Bukan hanya itu, para pejabat dan pemimpin haruslah dapat menjaga sikap dan perilakunya dari hal-hal tercela dan tidak patut dicontoh oleh rakyat.

Seyogianya kita bisa mengambil pelajaran dari kasus Ahok, Awang, atau pun Karen. Sebagai pemimpin haruslah selalu memegang teguh prinsip kejujuran dan berani menjunjung kebenaran, tidak korup dalam berpolitik. Mereka adalah sosok pemimpin yang idealis, yang selalu memegang teguh prinsipprinsip itu tanpa pandang bulu dan tanpa kompromi. Semua yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan rakyat.

Mereka telah menjadi service provider bagi rakyat dan negara. Setidaknya, dua hal telah ditunjukkan oleh mereka. Pertama, mereka memegang teguh kebenaran dan berusaha terusmenerus memperjuangkannya, betapa pun pahitnya. Kedua, menerapkan kebajikan tanpa memperhitungkan kepentingan sendiri atau golongan.

Pejabat atau pemimpin seperti itu wajib diberi kesempatan untuk memimpin karena bisa memberikan harapan dan optimisme untuk mengubah kondisi bangsa. Keberadaan pemimpin yang baik dan selalu mengawal kepentingan rakyat menjadi strategis ketika suatu negara berada dalam era transisi demokrasi seperti saat ini. Mudah-mudahan pemimpin yang seperti itu senantiasa diberikan kesehatan dan keteguhan hati dalam menjalankan amanah rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar