|
MUNGKIN
tak pernah disadari Ruhut Sitompul bahwa wibawa begitu mudah dibangun. Yang
sulit adalah membangun wibawa asli. Yang mudah membangun wibawa palsu. Namun,
keduanya sama-sama memukau publik.
Hanya saja, wibawa palsu tak permanen. Suatu saat akan lekang. Wibawa asli sebaliknya. Wibawa asli dibangun dengan kebaikan hati, bukan semata karena ingin disanjung. Ruhut tak pernah memikirkan kedua jenis wibawa itu. Wataknya yang keras, tak coba ditutupi seperti “guru politik” yang selalu ia puji. Ruhut terlalu banyak memuji SBY, tapi tak belajar darinya. Tak belajar bagaimana membangun wibawa palsu.
Ruhut lebih sering membangun relasi antagonis dengan siapa saja yang tak sepaham. Ruhut jarang bertutur dengan adab. Yang kerap dikedepankan adalah sarkasme. Maka kemudian tercipta kebencian, permusuhan, saling hujat dengan orang-orang yang berbeda pandangan dengannya. Ruhut tak bisa dijadikan politikus panutan dari segi komunikasinya. Maka jadi aneh ketika Ruhut meminta Ahok tak berbahasa kasar, sedangkan ia sendiri lebih banyak mengumbar ucapan-ucapan yang tak enak didengar.
Cara bertuturnya yang tak beradab kemudian menjadi terpal yang menutup aneka status prestise yang dibangga-banggakannya. Ruhut lebih dikenal sebagai seorang politikus penghasut ketimbang seorang ahli hukum, lulusan salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia, dan seorang advokat kondang. Semakin sering perilaku buruk seorang ditonjolkan, semakin ia dipandang tak berwibawa.
Ruhut jelas tak disukai. Sebab itulah ia ditolak jadi Ketua Fraksi III DPR. Seorang tanpa wibawa tak pantas memimpin, meskipun yang akan dipimpinnya ternyata berwibawa palsu. Inilah yang luput dari pemahaman Ruhut. Bahkan Ruhut pernah ditolak di internal Demokrat sendiri. Dia diusir dari Silatnas Partai Demokrat pada 14 Desember 2012 lalu.
Ruhut lebih sering dihujat. Karena cara bicaranya jarang mengandung kebaikan pada orang-orang, maka mustahil pula bicara orang-orang terhadapnya mengandung kebaikan. Meski Ruhut memanggil Jusuf Kalla (JK) dengan sebutan “daeng”, tetapi dianggap sebagai ejekan. Ruhut juga pernah dengan sombong menyebut JK sebagai tokoh kadaluarsa yang tak mungkin diusung Demokrat sebagai capres 2014. Nyatanya, kemudian Demokrat mengundang JK ikut Konvensi. JK menolak tawaran itu.
Jika ejekan saja menyakitkan hati, apalagi ceplas-ceplos Ruhut yang menghujat. Pada 2011, Ruhut pernah digugat Rp 63 miliar karena menyebut orang-orang yang menolak pemberian gelar pahlawan pada Soeharto sebagai “anak PKI”. Ruhut lebih seiring memproduksi bahasa-bahasa yang berpotensi membangkitkan luka lama. Ruhut juga pernah nyaris baku hantam karena mengejek jenggot politikus PPP Ahmad Yanis.
Bedil Manusia
Ruhut ibarat sebuah bedil tanpa teropong. Mulut manusia adalah moncong bedil. Mulut tak bersalah jika peluru yang keluar melukai orang. Maka, peribahasa “mulutmu adalah harimaumu” jelas keliru. Sementara otak manusia adalah tempat amunisi. Di sana tersimpan berbagai rencana, pemahaman, pengetahuan, penilaian, dan sebagainya. Seseorang bebas mengeluarkan yang disimpan di otaknya. Yang acap kali digunakan adalah mulut dan otak.
Yang justru jarang digunakan adalah komponen terpenting, yakni hati. Hati adalah teropong yang sebenarnya menyatu dengan bedil manusia. Fungsinya untuk menyaring mana amunisi yang harus dikeluarkan dan mana yang harus dilenyapkan karena berpotensi merusak pemilik bedil itu sendiri.
Hati, sebagai teropong, juga membantu manusia mengeluarkan pernyataan dengan tepat, tidak melenceng, apalagi malah mengenai sasaran yang seharusnya tidak ditembak. Jadi, jika ada yang terlukai dengan suatu perkataan, bukan mulut yang harus disalahkan, tapi hati. Kita pun bisa mengubah peribahasanya menjadi: “Hatimu adalah harimaumu”. Tanpa menggunakan hati, seorang penutur sama saja seperti meminta seekor harimau kelaparan menerkamnya.
Namun, tak pernah juga Ruhut menyadari. Dia menganggap penolakannya sebagai sebuah kekeliruan. Mestinya Ruhut sadar setiap manusia akan menuai apa yang ditanam semasa hidupnya. Kini, dia merasakan sendiri penolakan terhadapnya. Ruhut tampaknya tak berpikir: mengapa dari sejumlah pos jabatan di DPR yang dirotasi Partai Demokrat, hanya pengangkatan dirinya yang dipermasalahkan? Pencopotan Pasek berjalan mulus. Tak ada protes. Namun, pengangkatan Ruhut tak mulus, muncul resistensi.
Dulu, saat Anas masih menjabat Ketua Umum Partai Demokrat, Ruhut dicopot dari Ketua Departemen Komunikasi dan Informasi. Pernyataan-pernyataan kotroversialnya punya andil semakin merusak citra Demokrat. Komunikasinya buruk. Namun, Ruhut tampak tak mempermasalahkan. Barangkali ia punya incaran jabatan yang lebih menggoda: Ketua Komisi III, atau bahkan posisi menteri. Ini artinya kehendak Ruhut sudah ada jauh-jauh hari.
Azab Ruhut
Kalau memang sudah lama mengincar jabatan Ketua Komisi III, mengapa Ruhut tak membangun kewibawaan saja, meski itu kewibawaan palsu. Yang dibangun justru bahasa-bahasa permusuhan, nada bicara yang membangkitkan kemarahan, kata-kata pemantik kebencian yang tak menghargai sesama. Seorang politikus yang terlibat dalam strategi tingkat tinggi dalam pendongkelan musuh politiknya, kadangkala lupa menerapkan strategi tingkat rendah untuk meraih simpati rekan-rekannya.
Sebab itulah Ruhut dipandang tidak layak memimpin. Rekan-rekan Ruhut di DPR tahu bahwa rakyat sering mencemooh mereka. Tentu akan lebih buruk jika Ruhut jadi ketua. Maka cemoohan rakyat makin menjadi-jadi. Saling “hantam” pun bisa lebih sering terjadi di Komisi III. Sebuah organisasi tidak dapat berjalan baik bila yang memimpin adalah orang yang tidak diterima oleh orang-orang yang dipimpin.
Setiap politikus dituntut punya kecakapan komunikasi politik. Setiap ucapan yang dilontarkan sebagai politikus adalah pesan-pesan politik. Segenap tanggapan terhadap pesan-pesan politik itu direspons dengan baik dan santun pula. Jika disindir sedikit saja cepat marah dan meledak-ledak, apalagi sampai memaki, itu komunikasi politik yang buruk.
Citra negatif seseorang yang muncul karena komunikasi politik yang buruk, lantas menjadi azab politik di kemudian hari. Kini Ruhut mendapat azab itu. Ruhut ibarat jasad yang ditolak Bumi. Ruhut, anggota Komisi III yang ditolak anggota Komisi III.
Ruhut memang keras. Mudah marah. Namun Ruhut tak membuat orang ketakutan. Justru ia tampak lucu. Kecuali kalau Ruhut bisa berubah jadi RuHulk. Sekujur tubuhnya berwarna hijau. Jika ada politikus yang menentangnya, RuHulk tinggal bilang: “Kau membuatku marah. Kau tidak akan suka kalau aku marah”. Ini hanya lelucon. Namun, bisa saja Ruhut mengambil inspirasi dari paragraf ini.
Ngomong-ngomong, Partai Demokrat punya usulan lain, tidak? ●
Hanya saja, wibawa palsu tak permanen. Suatu saat akan lekang. Wibawa asli sebaliknya. Wibawa asli dibangun dengan kebaikan hati, bukan semata karena ingin disanjung. Ruhut tak pernah memikirkan kedua jenis wibawa itu. Wataknya yang keras, tak coba ditutupi seperti “guru politik” yang selalu ia puji. Ruhut terlalu banyak memuji SBY, tapi tak belajar darinya. Tak belajar bagaimana membangun wibawa palsu.
Ruhut lebih sering membangun relasi antagonis dengan siapa saja yang tak sepaham. Ruhut jarang bertutur dengan adab. Yang kerap dikedepankan adalah sarkasme. Maka kemudian tercipta kebencian, permusuhan, saling hujat dengan orang-orang yang berbeda pandangan dengannya. Ruhut tak bisa dijadikan politikus panutan dari segi komunikasinya. Maka jadi aneh ketika Ruhut meminta Ahok tak berbahasa kasar, sedangkan ia sendiri lebih banyak mengumbar ucapan-ucapan yang tak enak didengar.
Cara bertuturnya yang tak beradab kemudian menjadi terpal yang menutup aneka status prestise yang dibangga-banggakannya. Ruhut lebih dikenal sebagai seorang politikus penghasut ketimbang seorang ahli hukum, lulusan salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia, dan seorang advokat kondang. Semakin sering perilaku buruk seorang ditonjolkan, semakin ia dipandang tak berwibawa.
Ruhut jelas tak disukai. Sebab itulah ia ditolak jadi Ketua Fraksi III DPR. Seorang tanpa wibawa tak pantas memimpin, meskipun yang akan dipimpinnya ternyata berwibawa palsu. Inilah yang luput dari pemahaman Ruhut. Bahkan Ruhut pernah ditolak di internal Demokrat sendiri. Dia diusir dari Silatnas Partai Demokrat pada 14 Desember 2012 lalu.
Ruhut lebih sering dihujat. Karena cara bicaranya jarang mengandung kebaikan pada orang-orang, maka mustahil pula bicara orang-orang terhadapnya mengandung kebaikan. Meski Ruhut memanggil Jusuf Kalla (JK) dengan sebutan “daeng”, tetapi dianggap sebagai ejekan. Ruhut juga pernah dengan sombong menyebut JK sebagai tokoh kadaluarsa yang tak mungkin diusung Demokrat sebagai capres 2014. Nyatanya, kemudian Demokrat mengundang JK ikut Konvensi. JK menolak tawaran itu.
Jika ejekan saja menyakitkan hati, apalagi ceplas-ceplos Ruhut yang menghujat. Pada 2011, Ruhut pernah digugat Rp 63 miliar karena menyebut orang-orang yang menolak pemberian gelar pahlawan pada Soeharto sebagai “anak PKI”. Ruhut lebih seiring memproduksi bahasa-bahasa yang berpotensi membangkitkan luka lama. Ruhut juga pernah nyaris baku hantam karena mengejek jenggot politikus PPP Ahmad Yanis.
Bedil Manusia
Ruhut ibarat sebuah bedil tanpa teropong. Mulut manusia adalah moncong bedil. Mulut tak bersalah jika peluru yang keluar melukai orang. Maka, peribahasa “mulutmu adalah harimaumu” jelas keliru. Sementara otak manusia adalah tempat amunisi. Di sana tersimpan berbagai rencana, pemahaman, pengetahuan, penilaian, dan sebagainya. Seseorang bebas mengeluarkan yang disimpan di otaknya. Yang acap kali digunakan adalah mulut dan otak.
Yang justru jarang digunakan adalah komponen terpenting, yakni hati. Hati adalah teropong yang sebenarnya menyatu dengan bedil manusia. Fungsinya untuk menyaring mana amunisi yang harus dikeluarkan dan mana yang harus dilenyapkan karena berpotensi merusak pemilik bedil itu sendiri.
Hati, sebagai teropong, juga membantu manusia mengeluarkan pernyataan dengan tepat, tidak melenceng, apalagi malah mengenai sasaran yang seharusnya tidak ditembak. Jadi, jika ada yang terlukai dengan suatu perkataan, bukan mulut yang harus disalahkan, tapi hati. Kita pun bisa mengubah peribahasanya menjadi: “Hatimu adalah harimaumu”. Tanpa menggunakan hati, seorang penutur sama saja seperti meminta seekor harimau kelaparan menerkamnya.
Namun, tak pernah juga Ruhut menyadari. Dia menganggap penolakannya sebagai sebuah kekeliruan. Mestinya Ruhut sadar setiap manusia akan menuai apa yang ditanam semasa hidupnya. Kini, dia merasakan sendiri penolakan terhadapnya. Ruhut tampaknya tak berpikir: mengapa dari sejumlah pos jabatan di DPR yang dirotasi Partai Demokrat, hanya pengangkatan dirinya yang dipermasalahkan? Pencopotan Pasek berjalan mulus. Tak ada protes. Namun, pengangkatan Ruhut tak mulus, muncul resistensi.
Dulu, saat Anas masih menjabat Ketua Umum Partai Demokrat, Ruhut dicopot dari Ketua Departemen Komunikasi dan Informasi. Pernyataan-pernyataan kotroversialnya punya andil semakin merusak citra Demokrat. Komunikasinya buruk. Namun, Ruhut tampak tak mempermasalahkan. Barangkali ia punya incaran jabatan yang lebih menggoda: Ketua Komisi III, atau bahkan posisi menteri. Ini artinya kehendak Ruhut sudah ada jauh-jauh hari.
Azab Ruhut
Kalau memang sudah lama mengincar jabatan Ketua Komisi III, mengapa Ruhut tak membangun kewibawaan saja, meski itu kewibawaan palsu. Yang dibangun justru bahasa-bahasa permusuhan, nada bicara yang membangkitkan kemarahan, kata-kata pemantik kebencian yang tak menghargai sesama. Seorang politikus yang terlibat dalam strategi tingkat tinggi dalam pendongkelan musuh politiknya, kadangkala lupa menerapkan strategi tingkat rendah untuk meraih simpati rekan-rekannya.
Sebab itulah Ruhut dipandang tidak layak memimpin. Rekan-rekan Ruhut di DPR tahu bahwa rakyat sering mencemooh mereka. Tentu akan lebih buruk jika Ruhut jadi ketua. Maka cemoohan rakyat makin menjadi-jadi. Saling “hantam” pun bisa lebih sering terjadi di Komisi III. Sebuah organisasi tidak dapat berjalan baik bila yang memimpin adalah orang yang tidak diterima oleh orang-orang yang dipimpin.
Setiap politikus dituntut punya kecakapan komunikasi politik. Setiap ucapan yang dilontarkan sebagai politikus adalah pesan-pesan politik. Segenap tanggapan terhadap pesan-pesan politik itu direspons dengan baik dan santun pula. Jika disindir sedikit saja cepat marah dan meledak-ledak, apalagi sampai memaki, itu komunikasi politik yang buruk.
Citra negatif seseorang yang muncul karena komunikasi politik yang buruk, lantas menjadi azab politik di kemudian hari. Kini Ruhut mendapat azab itu. Ruhut ibarat jasad yang ditolak Bumi. Ruhut, anggota Komisi III yang ditolak anggota Komisi III.
Ruhut memang keras. Mudah marah. Namun Ruhut tak membuat orang ketakutan. Justru ia tampak lucu. Kecuali kalau Ruhut bisa berubah jadi RuHulk. Sekujur tubuhnya berwarna hijau. Jika ada politikus yang menentangnya, RuHulk tinggal bilang: “Kau membuatku marah. Kau tidak akan suka kalau aku marah”. Ini hanya lelucon. Namun, bisa saja Ruhut mengambil inspirasi dari paragraf ini.
Ngomong-ngomong, Partai Demokrat punya usulan lain, tidak? ●