Menilai
Kiprah Partai Islam
Biyanto ; Dosen UIN Sunan Ampel;
Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah Jatim
|
KORAN
SINDO, 01
Maret 2017
Pengertian partai Islam dalam tulisan ini sepenuhnya
merujuk pada kategori yang dibuat Saiful Mujani. Akademikus Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga konsultan politik ini
membagi partai Islam menjadi dua kelompok.
Pertama, partai berbasis organisasi kemasyarakatan (ormas)
keislaman seperti PKB dan PAN. Kedua, partai yang menegaskan diri berplatform
Islam seperti PKS, PPP, dan PBB. Harus diakui, sejauh ini partai-partai Islam
belum menunjukkan kiprah yang menggembirakan. Bahkan ada kecenderungan
perolehan suara partai Islam dalam pemilu sepanjang era Reformasi terus
tergerus.
Pertanyaannya, mengapa partai Islam belum menunjukkan
perkembangan signifikan? Padahal selalu dikatakan mayoritas penduduk negeri
ini muslim. Data statistik juga menunjukkan jumlah umat Islam Indonesia
mencapai 87%. Umat Islam Indonesia adalah yang terbesar jumlahnya bila
dibandingkan dengan negara lain.
Itu berarti partai-partai Islam sejatinya memiliki modal
sosial untuk menjadi kekuatan penentu. Realitasnya hingga kini partai- partai
Islam masih kalah dari partai berideologi nasionalis. Setidaknya ada empat
faktor yang menyebabkan partai Islam belum menjadi kekuatan penentu.
Faktor pertama, umat Islam yang diperebutkan suaranya oleh
partaipartai Islam adalah mereka yang tergabung dalam berbagai ormas
keagamaan. Polarisasi umat Islam dalam berbagai ormas keagamaan secara tidak
langsung mengakibatkan terjadinya penyebaran suara sehingga tidak bisa
dimobilisasi untuk memilih partai Islam tertentu. Selalu ada alasan yang
bersifat emosional dan ideologis sehingga suara umat terbelah. Kebijakan
multipartai juga memberi peluang umat menyalurkan aspirasi di sejumlah
partai.
Faktor kedua, perjalanan sejarah umat Islam Indonesia
diwarnai munculnya kecenderungan militerisasi. Dampaknya umat mengalami
trauma politik yang luar biasa karena harus berhadapan dengan kekuasaan dan
militer sekaligus. Fenomena ini dapat diamati pada awal era Orde Baru hingga
pertengahan 1980-an.
Pada masa itu banyak elite muslim menjadi korban politik
melalui isu “komando jihad”. Kondisi ini menjadi pemicu munculnya kelompok
kosmopolitan di kalangan umat. Dampaknya, elite muslim tidak lagi menempatkan
politik dan kekuasaan sebagai satu-satunya orientasi perjuangan.
Sebagian elite muslim mulai merambah perjuangan melalui
jalur kultural. Misalnya mengembangkan institusi pendidikan, ekonomi- bisnis,
dan berbagai jenis pelayanan sosial. Perjuangan melalui jalur kultural
ternyata menunjukkan hasil yang memuaskan. Tengoklah berbagai lembaga
pendidikan berkualitas yang siap mencetak generasi masa depan bangsa;
lembaga ekonomi-bisnis yang mampu menjadi tumpuan dan
memberdayakan potensi sosial- ekonomi umat; serta lembaga sosial seperti
rumah sakit dan panti asuhan yang siap memberikan pelayanan. Tanpa disadari,
ternyata pilihan berjuang melalui jalur kultural telah menghadirkan blessing
in disguise (rahmat tersembunyi).
Itu karena tidak semua potensi umat tersedot untuk
kepentingan politik. Faktor ketiga, tematema yang diwacanakan elite partai
berplatform Islam dan berbasis ormas keislaman banyak yang tidak relevan
dengan persoalan riil rakyat. Tema pemberlakuan syariat Islam, khilafah, dan
pembentukan negara Islam mestinya tidak dikedepankan karena bertentangan
dengan semangat merawat ideologi Pancasila dan negara kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Pandangan sebagian elite muslim sering kali juga masih
bernada romantisme sejarah kejayaan umat masa silam. Padahal problem yang
dihadapi umat kini lebih banyak berkaitan dengan persoalan praktis-pragmatis.
Faktor keempat, berkaitan dengan performansi elite partai Islam.
Rasanya sudah banyak elite partai berplatform Islam dan
berbasis ormas keislaman yang tidak menunjukkan karakter sebagai politisi
muslim yang sesungguhnya. Sebagian bahkan menampilkan diri sebagai “politisi
busuk” karena terlibat kasus suap, korupsi, dan perempuan. Padahal semestinya
mereka menjadi politisi berkarakter yang mampu menunjukkan satunya kata
dengan perbuatan.
Saat ini terasa sangat sulit menemukan politisi muslim
berkarakter layaknya M Natsir (Masyumi). Natsir pernah dengan tegas menolak
bergabung dalam kabinet pemerintahan Mr Ali Sastroamijoyo (PNI) pada masa
demokrasi liberal karena merasa ada perbedaan prinsipil dengan kebijakan
pemerintah.
Coba bandingkan keteguhan Natsir dengan sikap politik yang
ditunjukkan elite partai Islam sekarang. Mereka yang pada saat kampanye
menjanjikan akan memperjuangkan sesuatu yang dipandang ideal menurut ajaran
Islam ternyata tunduk pada proses tawar-menawar politik. Sebagian politisi
muslim juga tampak ragu dalam menentukan sikap terhadap pemerintah.
Terkadang mereka ingin memosisikan diri sebagai oposisi
kritis. Sementara pada saat bersamaan mereka juga berkeinginan untuk menjadi
bagian dari kekuasaan. Sikap mendua ini jelas menunjukkan buruknya
performansi elite partai Islam. Dengan bersikap seperti ini berarti mereka
sejatinya telah kehilangan idealisme dalam berpolitik. Pertanyaannya, dengan
realitas seperti itu bisakah partaipartai Islam memperluas basis
konstituennya sehingga menjadi partai besar?
Dengan begitu berarti ada peluang partai Islam menjadi
kekuatan yang menentukan proses-proses politik di negeri ini? Termasuk yang
terdekat adalah Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta. Jawabannya tentu
berpulang pada elite partai, legislator, dan eksekutif dari partai-partai
Islam.
Mampukah mereka memperbaiki citranya dari politisi yang
hanya berorientasi politik-kekuasaan menjadi politisi berkarakter? Untuk
menjadi partai besar, elite partai Islam juga harus mengubah tema yang selama
ini diwacanakan. Tema yang menonjolkan simbol-simbol keagamaan sudah saatnya
diganti karena bisa memicu resistensi kelompok masyarakat lain.
Elite muslim juga harus terlibat aktif dalam proses
pembumian wajah Islam yang moderat, inklusif, dan pluralis. Langkah ini
penting karena sejalan dengan semangat semua elemen untuk merawat kebinekaan
di tengah kehidupan yang majemuk.
Terakhir, yang juga tidak kalah penting adalah elite
partai Islam harus mengusung persoalan sosial, ekonomi, dan program riil yang
bermanfaat bagi umat. Jika beberapa strategi ini dilakukan, peluang partai
Islam menjadi kekuatan yang diperhitungkan dalam percaturan politik nasional
masih terbuka lebar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar