Teologi
Politik Pascasekuler
Zuly Qodir ; Sosiolog Fisipol Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta;
Peneliti Senior Maarif Institute
Jakarta
|
KOMPAS, 11 Maret 2017
Indonesia berbeda dengan Timur Tengah. Kekuatan mayoritas
agama adalah kaum moderat seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Politik
akomodatif dan kompromi atas kepentingan kelompok menjadi pilar berbangsa dan
bernegara sejak kemerdekaan republik ini.
Namun, kondisi lima tahun terakhir (2013-2017),
pertarungan ideologi politik di negeri ini, hemat saya, menunjukkan
intensitas yang terus terjadi. Pertarungan ideologi politik tersebut secara
khusus terjadi pada tiap kali kita hendak melangsungkan pemilu.
Baik pada pemilu legislatif, pemilu presiden, maupun
pilkada, terjadi ketegangan ideologi. Intensitas pertarungan ideologi politik
benar-benar tampak di sana. Pertarungan hanya sekitar tiga ideologi politik
saja, yakni ideologi politik agama, ideologi pasar, dan ideologi komunis.
Sejak 2013 sampai Pemilu Presiden 2014 dan pilkada
serentak 2017, pertarungan tiga kekuatan ideologi pun terus menjadi gelombang
yang seakan tak terbendung lewat ruang sosial dan media. Akibatnya, jika
masyarakat tidak berhati-hati dan kritis, bisa terpengaruh dengan kampanye
hitam masing-masing kekuatan tiga ideologi yang bertarung.
Kita bersyukur masyarakat kita gampang amnesia terhadap
perkembangan informasi yang beredar sehingga hanya sesaat saja kecemasan dan
ketakutan menghantui kehidupan sekeliling kita.
Namun, kecemasan dan ketakutan pertarungan ideologi
benar-benar menyita energi kita. Berbagai imbauan dari pemimpin agama (ormas
agama) saling dinegasikan. Ketaatan pada pemimpin organisasi arus utama
(mainstream) dinegasikan oleh jemaahnya sendiri.
Sementara kekuatan organisasi non mainstream seakan-akan
benar-benar menjadi referensi utama. Ini yang memang cukup mencemaskan
organisasi keagamaan mainstream karena imbauan yang keluar darinya ditanggapi
negatif sebagai bentuk pengadangan dan penggembosan kekuatan alternatif.
Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, antar-kekuatan
ideologi politik selalu menjadi penanda adanya perdebatan yang cukup serius
di antara mereka yang berbeda pandangan dan paham politik. Namun, di antara
mereka tetap saling menghormati dan menghargai satu sama lainnya. Tidak saling
"membunuh" sekalipun berkompetisi. Kompetisi bahkan dapat dikatakan
sangat keras untuk memenangi pertarungan.
Kondisi saling membunuh itu pernah terjadi di negeri ini
ketika rezim otoriter birokratik berkuasa selama 32 tahun. Akan tetapi,
sekarang, setelah reformasi politik berlangsung, dapat dikatakan ideologi
politik apa pun boleh berkembang di Indonesia. Ini sebenarnya berkah
demokrasi, tetapi sering kali diingkari oleh para penentang paham demokrasi.
Para penentang demokrasi berkehendak dengan ideologi politik yang lain karena
paham demokrasi dianggap bertentangan dengan agama (Islam).
Kebebasan ideologi politik itu tidak terjadi di Timur
Tengah. Kemunculan ideologi berbeda langsung dibunuh tanpa ampun sedikit pun.
Tidak bisa ada kekuatan ideologi politik berbeda dengan rezim politik
penguasa. Siapa berbeda paham dengan rezim politik akhirnya harus bertekuk
lutut dengan paksa. Dibubarkan atau harus eksodus dari negara di mana rezim
politik tidak berkenan.
Pertanyaannya, akankah Indonesia harus menjadi negara yang
melarang paham keragaman politik seperti di Timur Tengah dan zaman rezim
otoriter birokratik? Tentu tidak bisa demikian karena merupakan kemunduran
yang amat dahsyat jika hal itu terjadi di sini. Oleh sebab itu, diperlukan
semacam rumusan ataupun agenda ke depan yang lebih serius untuk orang-orang
yang beragama dalam berpolitik sehingga tidak sekadar menjadi agama sebagai
kendaraan untuk membenci kelompok yang berbeda paham dan ideologi politiknya.
Teologi realitas
Orang beragama tentu percaya dengan dogma teologi yang
diyakini. Hal ini tak bisa disalahkan karena semestinya demikian itulah orang
beragama meyakini dogma yang telah diterima dan disampaikan oleh para nabi.
Namun, bagaimana menghadirkan dogma di tengah masyarakat beragam agama,
etnis, suku, dan kelas sosial, merupakan hal yang jauh lebih penting.
Dogma hanya akan bermanfaat ketika mampu berdialog dengan
realitas sosial. Dogma hanya akan menjadi "berhala" ketika tidak
mampu memberikan respons terhadap realitas hidup masyarakat. Kehadiran para
nabi-rasul itu adalah untuk merespons kondisi sosial atau fakta sosial yang
obyektif sehingga para nabi-rasul kemudian sering berhadapan dengan realitas
yang ada. Salah satu realitas sosial sebagai fakta obyektif adalah adanya penguasa
dan pemilik kekuasaan yang pongah, otoriter, menzalimi masyarakat kemudian
nabi-rasul berjuang keras untuk mengadang penguasa pongah tersebut.
Realitas obyektif lainnya adalah keragaman masyarakat.
Indonesia sebagai sebuah negara merupakan negeri dengan realitas obyektif
keragaman suku, agama, etnis, dan golongan yang menjadi penghuninya. Realitas
obyektif ini tidak boleh diabaikan, apalagi disengsarakan penguasa atau
pemilik kekuasaan. Jika pemilik kekuasaan menegasikan keragaman suku, agama,
etnis, dan golongan, sebenarnya sebagai penguasa telah zalim terhadap
realitas obyektif yang telah Tuhan anugerahkan kepada bangsa ini.
Oleh sebab itu, jelas tidak bisa dibenarkan jika hadir di
negeri ini seorang penguasa yang hendak menghilangkan realitas obyektif
keragaman suku, agama, etnis, dan golongan sebagai kekuatan sosial dan
kekuatan obyektif bangsa ini. Kita harus dorong dan dukung pemimpin negara
dan pemimpin umat beragama, parpol, dan kekuatan sipil lain untuk terus
menjaga kekuatan majemuk suku, agama, etnis, dan golongan di Indonesia
sebagai realitas obyektif yang tidak bertentangan sama sekali dengan dogma
teologi.
Oleh karena itu, rumusan teologi yang mampu menyapa,
menghargai, dan mengayomi keragaman suku, agama, etnis, dan golongan
sangatlah diperlukan di Indonesia. Kita membutuhkan teologi yang mampu
berdialog dengan realitas obyektif keragaman, bukan teologi yang hendak
menghancurkan, merusak, apalagi membunuh realitas obyektif keragaman.
Kita, sebagai warga negara Indonesia, tentu harus segera
siuman, tidak bisa hanya berpangku tangan, berpayah-payah untuk terus
meratapi kekacauan teologi yang sedang berlangsung. Kekacauan teologi harus
segera diakhiri. Kita tak boleh lagi berpangku pada teologi kematian, tetapi
harus membangun teologi kehidupan. Kita juga harus membangun teologi
keragaman, ketimbang teologi monolitik.
Semua itu merupakan bagian dari keyakinan kita bahwa kita
semua memahami jika Indonesia itu memang masyarakat religius, bukan
masyarakat anti religius. Masyarakat religius itu sejatinya merupakan
karakteristik masyarakat pascasekuler yang oleh banyak orang dikhawatirkan
akan semakin banyak orang anti religiositas atau bahkan anti agama.
Benar bahwa karakteristik lain dari masyarakat
pascasekuler adalah masyarakat yang memiliki nalar kritis dalam beragama.
Nalar kritis dalam beragama lahir karena tidak ingin melihat agama hanya
sebagai kendaraan politik kepentingan kelompok tertentu.
Nalar kritis beragama juga hadir karena masyarakat bosan
dengan perilaku munafik dan zalim terhadap masyarakat beragama. Inilah
sebenarnya yang sering kali dikhawatirkan orang beragama, jika masyarakat
semakin kritis, maka menjadi tidak percaya atau mencintai agamanya. Padahal,
hal semacam ini tentu berbeda dengan karakteristik masyarakat pascasekuler.
Teologi pascasekuler
Lantas, rumusan teologi politik macam apa yang kita
harapkan dari masyarakat majemuk yang berada pada ranah pascasekuler? Jika
kita memperhatikan tanda-tanda yang muncul di banyak negara maju, semangat
merayakan keragaman, yang merupakan bentuk dari teologi kesalehan publik,
merupakan teologi yang tak bisa kita tinggalkan. Kita harus bersama membangun
sebuah kerangka teologi agar setiap orang beragama, mulai dari diri sendiri,
kelompok, dan jemaah, membudayakan penghormatan kepada mereka yang berbeda
dari kita.
Kita harus terus-menerus, secara simultan, mengampanyekan
perlunya perspektif teologi kesalehan dan keadaban publik. Tanpa lahirnya
teologi kesalehan dan keadaban publik, maka berharap agar Indonesia menjadi
negara yang oleh dunia internasional tidak dikategorikan negara intoleran dan
pro kekerasan pada kelompok agama akan terus bergema di seantero dunia.
Merayakan keragaman sebagai teologi kesalehan dan keadaban
publik merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi. Oleh sebab itu, membiarkan
kekerasan, ancaman, teror, penghakiman atas kelompok lain dengan predikat
yang kurang manusiawi, dan menghasut orang agar membenci kelompok agama lain
termasuk bukan dari gagasan orisinal karakteristik keagamaan masyarakat
majemuk Indonesia.
Mari kita rayakan keragaman sebagai bagian terpenting dari
teologi kesalehan dan keadaban publik. Inilah yang kita dapat katakan sebagai
bentuk teologi politik masyarakat pascasekuler. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar