Pilkada
di Lorong Gelap DPRD
Refly Harun ;
Pakar/Praktisi
Hukum Tata Negara dan Pemilu
|
KOMPAS,
09 September 2014
LAMA tidak terdengar nasibnya, kini RUU tentang
Pemilihan Kepala Daerah termasuk yang bakal disahkan pada akhir masa jabatan
anggota DPR periode 2009-2014. Namun, semakin mendekati pengesahan,
pembahasan malah terkesan mundur.
Salah
satu proposal yang diajukan adalah mengembalikan pemilihan kepala daerah
(pilkada) secara langsung oleh rakyat menjadi pemilihan oleh DPRD, baik untuk
provinsi maupun kabupaten/kota. Usul terakhir ini sangat kuat didukung oleh
Koalisi Merah Putih, aliansi baru dalam altar politik Indonesia yang awalnya
terbentuk untuk mengusung pasangan calon presiden-calon wakil presiden
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Isu
tentang cara pemilihan kepala daerah termasuk masalah yang telah memunculkan
pro kontra selama proses pembahasan RUU Pilkada. Awalnya, draf pemerintah
mengintroduksi dua hal: gubernur dipilih DPRD dan bupati/wali kota dipilih
langsung oleh rakyat. Alasan yang mengiringi proposal gubernur dipilih DPRD
antara lain biaya pemilihan gubernur terlalu mahal, padahal kewenangannya
terbatas. Ada pula alasan soal konflik horizontal yang dipicu oleh pilkada.
Usul
pemerintah tersebut mengundang kritik. Kalau soalnya biaya, mengapa bukan
bupati/wali kota saja yang dipilih DPRD, karena jumlah bupati/wali kota yang
harus dipilih hampir 500 orang, sedangkan gubernur hanya 33 (kini 34 setelah
Kalimantan Utara ditetapkan sebagai provinsi baru). Demikian pula soal
konflik horizontal, justru pemilihan bupati/wali kota yang lebih berpotensi
memicu konflik horizontal di masyarakat karena teritorial yang lebih sempit
serta jarak antara kandidat dan calon yang lebih dekat. Lalu soal terbatasnya
fungsi gubernur, bukankah jalan keluarnya dengan memperkuat kewenangannya
dalam revisi UU Pemerintahan Daerah, bukan meniadakan pemilihan langsung.
Merespons
kritik tersebut, haluan pun berbalik. Pemerintah merevisi usulan menjadi
gubernur yang dipilih langsung, sementara bupati/wali kota dipilih oleh DPRD.
Proposal ini juga didukung sebagian ahli yang berpendapat banyak
kabupaten/kota belum siap ber-pilkada. Bisa dikatakan, belum ada usul untuk
menghapuskan sama sekali pemilihan langsung kepala daerah.
Gugatan
konstitusionalitas
Kini,
dengan munculnya Koalisi Merah Putih, pemilihan langsung yang telah
diperjuangkan komponen masyarakat sejak 2002—saat itu Centre for Electoral Reform (Cetro) mengampanyekan pemilihan langsung
menjelang Pilkada DKI Jakarta—hendak dihapuskan sama sekali.
Imajinasi
Koalisi Merah Putih mudah ditebak. Dengan perkiraan penguasaan mayoritas di
DPRD-DPRD seluruh Indonesia, sangat mudah bagi aliansi yang terdiri dari
Partai Golkar, Gerindra, PPP, PAN, PKS, dan Demokrat ini untuk merenggut
posisi kepemimpinan daerah sepanjang koalisi solid. Pertanyaan tentang
soliditas itu penting dikemukakan karena PKS ternyata tidak ikut dalam
barisan penyokong pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Soalnya
bukan apakah Koalisi Merah Putih akan menyapu bersih pilkada, melainkan
pemilihan oleh DPRD itu akan memunculkan gugatan konstitusional. Bagi
sebagian ahli konstitusi, pemilihan oleh DPRD bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 memang menyatakan bahwa pemilihan dilakukan secara
demokratis, tidak eksplisit dipilih secara langsung.
Namun,
jangan lupa, pasal tersebut disepakati pada Perubahan Kedua (2000) UUD 1945,
sebelum kesepakatan pemilihan langsung presiden pada Perubahan Ketiga (2001).
Apabila kesepakatan pemilihan langsung presiden telah dirumuskan terlebih
dulu, ceritanya bisa lain.
Alotnya
perdebatan tentang pemilihan langsung presiden di antara fraksi-fraksi di MPR
telah membuat perumusan pemilihan kepala daerah sengaja digantung dengan frasa
”dipilih secara demokratis”. Padahal, kalau diperhadapkan mana yang lebih
demokratis antara pemilihan langsung dan pemilihan tidak langsung, tentu saja
yang pertama yang lebih demokratis.
Sejak
2004, melalui UU Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 telah
ditafsirkan sebagai pemilihan langsung. Hal itu merupakan perkembangan tafsir
yang bisa dipandang lebih sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial yang
kita anut.
Dalam
sistem pemerintahan presidensial, kepala pemerintahan di level nasional
dipilih melalui pemilu, tidak oleh parlemen seperti dalam sistem parlementer.
Hal yang sama tentu berlaku pula untuk pemilihan kepala pemerintahan di level
lokal.
Masa
jabatan anggota DPR periode 2009-2014 tinggal berbilang hari. Pada 1 Oktober
nanti para anggota DPR yang baru akan mengangkat sumpah.
Bisa
dikatakan ritme kerja anggota Dewan saat ini sudah memasuki masa
transisional. Mereka yang masih terpilih lagi mungkin akan memanfaatkan fase
sekarang untuk evaluasi diri. Mereka yang tidak terpilih, bisa jadi, mulai
melirik lahan lain pengabdian. Pada situasi seperti ini sangat tidak bijak
memaksakan pengesahan RUU Pemilihan Kepala Daerah. Terlebih masih ada hal
substansial dan krusial yang belum
disepakati.
Tolak pengesahan
Kalaupun
ingin dipaksakan pengesahan RUU Pilkada, lebih baik dilakukan perubahan
terbatas atas pasal-pasal pilkada dalam UU No 32/2004. Cukup disepakati
penyesuaian terhadap aturan-aturan pemilu yang sudah berkembang dan diterima
dalam praktik pemilu setelah disahkannya UU No 15/2011 tentang Penyelenggara
Pemilu dan UU No 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Pembentukan
undang-undang apa pun harus berada di ruang yang terang, tidak boleh di
lorong gelap sebagaimana kesan kejar tayang RUU Pemilihan Kepala Daerah.
Kemajuan demokrasi yang sudah dicapai hendaknya terus ditingkatkan dengan
memperbaiki pranata berpemilu dari waktu ke waktu, tidak lantas mundur alias
setback karena kepentingan jangka pendek untuk sekadar menguasai kursi kepala
daerah.
Oleh
karena itu, melalui mimbar ini, saya ingin mengajak kita semua untuk menolak
proposal pilkada oleh DPRD! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar